Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Komite Nasional Pemuda Demokrat Sumatra Utara (DPD KNPD Sumut), organisasi sayap Partai Demokrat, Suryani Paskah Naiborhu, menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi di Sumut yang berlaku mulai 1 April 2021. Suryani Paskah Naiborhu meminta Gubernur Sumatra Utara (Gubsu), Edy Rahmayadi, melakukan optimalisasi penerimaan dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) berdasarkan sektor dibandingkan dengan menaikkan PBBKB dari 5% menjadi 7,5% untuk BBM non subsidi.
Hal itu disampaikan Suryani Paskah Naiborhu dalam keterangannya, Jumat (2/4/2021), menyikapi langkah Pertamina yang menaikkan harga jual BBM non subsidi karena Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Pemprovsu) menaikkan PBBKB BBM non subsidi dari 5% menjadi 7,5%. Kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Sumut Nomor 01 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Suryani Paskah Naiborhu yang juga senioren Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sumut ini mengatakan bahwa kenaikan harga BBM non subsidi seperti Pertalite dari Rp 7.650 menjadi Rp 7.850, Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp 9.200, Turbo dari Rp 9.850 menjadi Rp 10.050, Dex dari Rp 10.200 menjadi Rp 10.400, Dexlite dari Rp 9.500 menjadi Rp 9.700, Solar NPSO dari Rp 9.400 menjadi R0 9.600 ini akan membuat konsumen beralih ke BBM subsidi seperti Premium.
"Hal itu akan berdampak kepada lonjakan permintaan BBM subsidi. Anggaran subsidi BBM yang harus disediakan pemerintah pusat turut bertambah. Akibatnya, beban pengeluaran pemerintah dalam APBN semakin berat. Di samping itu, kenaikan harga BBM non subsidi di tengah suasana pandemi COVID-19 juga tidak tepat, karena ekonomi masyarakat saat ini sedang turun," ujarnya.
Daripada menaikkan PBBKB non-subsidi, Suryani Paskah Naiborhu mengusulkan agar Gubsu, Edy Rahmayadi, dapat menugaskan jajaran BPPRD (Dispenda) Sumut untuk melakukan optimalisasi penerimaan PBBKB berdasarkan sektor.
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, dalam Pergub Sumut Nomor 01 Tahun 2021 dan juga pergub sebelumnya, tertulis pengklasifikasian penghitungan pemungutan PBBKB berdasarkan sektor. "Dalam pergub yang lama maupun yang baru, disebutkan bahwa pemungutan PBBKB dilakukan berdasarkan klasifikasi. Pertama, untuk sektor Industri sebesar 17,17% X tarif PBBKB X Harga dasar jual BBM. Kedua, untuk usaha pertambangan, kehutanan dan perkebunan
sebesar 90% X tarif PBBKB X Harga dasar Jual BBM dan klasifikasi ketiga adalah untuk usaha transportasi sebesar 100%
X tarif PBBKB X Harga Jual BBM," ujarnya.
Di Sumut, ujarnya, banyak beroperasi perusahaan tambang, kehutanan, perkebunan, pesawat, kapal laut. Ada PTPN , Pelindo 1, perusahaan airline/angkut udara, perkapalan, alat berat dan banyak perusahaan lain yang dalam kategori sektor tinggi (90% dan 100%). Semuanya itu membutuhkan BBM non-subsidi yang besar volumenya.
Suryani Paskah Naiborhu mengatakan, BPPRD/ Dispenda Sumut harus turun ke masing-masing perusahaan ini untuk mendapat data kebutuhan, baik itu jenis BBM kebutuhan mereka, harga pembelian BBM dan supplier BBM, agar transaksi pembelian BBM mereka tidak menggunakan perkalian di sektor industri 17,17%, melainkan menggunakan angka perkalian 90% atau 100%.
"Perbedaan hasil pajak PBBKB yang didapat sangat signifikan. Contoh pada sektor kapal laut, kita asumsikan harga dasar beli BBM untuk kapal yang dioperasikan Pelindo 1 atau Inalum atau perusahaan kapal laut lainnya sebesar Rp 8.000 per liter. Dengan asumsi nilai PBBKB 5%, maka pajak daerah Sumut yang di dapat adalah 100% x 5% x Rp.8.000 per liter = Rp 400 per liter. Tinggal dikali saja jumlah volume BBM yang digunakan masing-masing perusahan tersebut per bulan nya. Begitu juga contoh perusahaan pertambangan di Mandailing Natal ataupun perkebunan PTPN dengan asumsi nilai yang sama maka nilai pajak PBBKB yang didapat Pemprov Sumut adalah 90% x 5% Rp 8.000 per liter = Rp 360 per liter. Berdasar data yang diterima BPPRD/ Dispenda Sumut ini dapat ditindaklanjuti dengan melakukan rekonsiliasi / pencocokan data dengan pihak Pertamina ataupun badan-badan usaha penyedia BBM, badan usaha pemilik izin niaga umum BBM dari BKPM/Migas terkait per 3 bulan sekali. Hal ini pasti akan meningkatkan nilai pendapatan PBBKB Pemprov Sumut," tuturnya.
Contoh lainnya adalah, jika ada kendaraan minibus di STNK nya tertulis milik perusahaan perkebunan, pertambangan, maka mobil minibus ini seyogyanya dikenakan PBBKB 90% x 5% x harga dasar beli BBM. Tidak boleh minibus ini disamakan dengan minibus milik pribadi yang menggunakan pola perkalian PBBKB 17,17% × 5% × harga dasar beli BBM. BPPRD / Dispenda Sumut dapat mulai melakukan pengumpulan data kendaraan melalui data kepemilikan kendaraan yang terdaftar di Samsat BPRD / Dispenda Sumut.
Suryani Paskah Naiborhu juga mengatakan bahwa Gubernur Sumut dapat bekerjasama dengan regulator seperti pihak KSOP/ syahbandar perihal data kapal yang melakukan pembelian BBM di laut untuk kebutuhan operasional mereka , dengan pihak otoritas bandara/ Kementerian Perhubungan terkait transaksi pembelian BBM avtur di dalam bandara. Petugas BPPRD/ Dispenda dapat turun ke lapangan untuk memeriksa langsung kebutuhan BBM non-subsidi di wilayah kerja masing-masing regulator pemerintah ini.
BPPRD / Dispenda Sumut juga dapat mencheck ke Angkasa Pura II selaku pengelola bandara perihal pesawat apa saja yang melakukan pengisian BBM Avtur di Sumut, baik itu pesawat komersial, helikopter, ataupun jet pribadi. Jika mengisi BBM avtur di bandara yang berlokasi di Sumut, maka wajib dikenakan pola perhitungan PBBKB 100% x 5% x harga dasar pembelian Avtur pesawat per liter.
"Saya yakin bahwa potensi tersebut masih cukup besar sehingga Pemprov Sumut tidak perlu menaikkan tarif PBBKB," ujar Suryani Paskah Naiborhu.