Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 17 daerah Pilkada Serentak 2020. Ia menilai amar dalam putusan tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru yang berujung pada ketidakpastian hukum.
Menurut Yusril, putusan MK dalam perselisihan hasil Pilkada tahun 2020 ini, berbeda dengan dengan putusan PSU sebelumnya. Jika dalam putusan sebelumnya MK memerintahkan PSU dalam putusan sela, maka kini MK memerintahkan PSU sebagai putusan akhir.
"Kalau sebelumnya MK hanya membuat putusan sela dalam memerintahkan PSU dan KPU melaporkan hasil PSU lalu MK memutuskan dalam putusan akhir, kini MK tidak lagi mengeluarkan putusan sela tetapi mengeluarkan putusan akhir," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/5/2021).
Putusan yang disebutnya sebagai putusan gaya baru ini, dinilai Yusril berpotensi menimbulkan masalah yang serius. Hal ini karena putusan MK tersebut tidak diikuti dengan perubahan regulasi yang seharusnya mengikuti.
Yusril mencontohkan ketentuan Pasal 54 PKPU No 19 Tahun 2020 yang menjadi acuan KPU dalam proses penetapan pasangan calon terpilih. Pasal 54 ini, khususnya ayat 4, 5, 6 dan 7, menurut Yusril hanya mengatur tentang PSU yang hasilnya harus dilaporkan ke MK.
Sedangkan untuk PSU seperti sekarang ini dimana hasilnya diumumkan oleh KPU, ketentuan pasal 54 tersebut dianggap masih belum mengakomodir seluruh kemungkinan. Yang mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran seperti sekarang ini.
"Putusan MK terkait PSU di Pilkada 2020, sudah bersifat final dan mengikat. MK tidak memerintahkan hasil PSU dilaporkan ke MK. KPU diberi kewenangan untuk melanjutkan ke tahapan berikutnya. Permasalahannya adalah bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh paslon lain, apakah KPU tetap berhak melanjutkan tahapan sampai penetapan calon terpilih? Tentu harus ada regulasi yang mengaturnya,"
Menurut Yusril, KPU seharusnya mengantisipasi hal tersebut dengan membuat peraturan tambahan. Namun faktanya, KPU dinilainya terlambat mengantisipasi kondisi ini.
"Saya melihat ada kelemahan KPU dalam mengantisipasi hal di atas pasca putusan gaya baru MK. KPU tidak segera mengubah dan/atau menambah ketentuan Pasal 54 PKPU No 19 Tahun 2020 pasca munculnya putusan gaya baru itu," sesalnya.
Lambatnya KPU mengantisipasi putusan gaya baru MK tersebut, menurut Yusril mengakibatkan adanya ketidakpastian dan bahkan kevakuman hukum. Contohnya seperti kasus dalam Pilkada Labuhanbatu.
"Permasalahannya adalah bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh paslon lain, misalnya karena kecurangan kembali terjadi dalam PSU. Apakah mereka tidak berhak mengajukan permohonan pembatalan hasil PSU ke MK?" tanyanya.
Selain mengkritisi KPU, Yusril juga meminta MK untuk turut memikirkan persoalan baru ini. Menurutnya putusan gaya baru MK ini tidak membawa iklim konstitusi dan demokrasi ke arah yang lebih baik.
Yusril mengaku ingin melihat sikap MK dengan adanya putusan gaya baru ini. Apakah akan menerima atau menolak permohonan perselisihan pasca pelaksanaan PSU.
"Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana sikap MK dengan adanya putusan gaya baru ini? Apakah MK akan menolak registrasi permohonan perselisihan PSU ini karena tidak ada peraturan yang mengaturnya? Atau MK akan menolak meregistrasi permohonan karena putusan gaya baru PSU itu sudah final dan mengikat?" tanya Yusril.
Karena itu, Yusril mengajak sembilan hakim MK, untuk mengeluarkan pandangan akademis mengenai permasalahan ini. Hal ini, kata dia, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral Hakim MK dalam melaksanakan amanah sebagai penegak keadilan, demokrasi dan konstitusi.