Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pada 26 April 1983, masyarakat Porsea di pinggiran Danau Toba, sebuah kota kecil di Sumatra Utara yang berjarak 215 kilometer di selatan Medan, bergolak. Mereka kedatangan “tamu” dari pemerintah pusat yang akan membuat hari-hari mereka berubah drastis hingga hari ini. “Tamu” itu adalah PT Inti Indorayon Utama, sebuah perusahaan pabrik yang memproduksi pulp (bubur kertas) dan rayon (bahan untuk membuat serat kain). Tahun-tahun itu adalah saat orde baru gencar-gencarnya memeratakan pembangunan hingga ke daerah-daerah.
Indorayon di awal kehadirannya sudah memunculkan kontroversi sekaligus mendapat penolakan dari warga Porsea. Tiga tahun setelah berdiri, perusahaan ini mulai beroperasi dengan menebangi pohon-pohon pinus di pinggir Danau Toba. Namun, hasil tebangan itu tidak dimaksudkan sebagai bahan-bahan produksi pulp, melainkan untuk dijual kepada perusahaan-perusahaan korek api, sumpit, dan tusuk gigi di Pematang Siantar. Indorayon meraup laba Rp 10,79 miliar pada 1988 dari hasil penebangan itu. Tentu saja masyarakat curiga dan protes. Mengapa Indorayon diizinkan menebang dan menjual kayu-kayu pinus yang tidak ditanaminya sendiri?
Kontroversi lain adalah tentang pemberian izin pendirian perusahaan. Beberapa pejabat yang berwenang dengan itu sebenarnya sangat menolak pendirian Indorayon. Penolakan ini karena letak Indorayon tertelak di kawasan hulu Sungai Asahan di Desa Sosorladang. Alasan yang disampaikan pejabat itu adalah desa itu tidak cocok tempat berdiri Indorayon karena fasilitas yang dibutuhkan sebuah pabrik tidak memenuhi. Desa Sosorladang belum dilalui jalan yang bisa digunakan untuk mengangkut bahan baku yang terletak di kawasan hulu desa itu. Opsi yang ditawarkan kemudian adalah memindahkan Indorayon ke hilir sungai.
Pejabat lain juga tidak sepakat. Menurut mereka limbah buangan Indorayon dipandang bisa mengancam kelestarian Dam Siruar Sigura-gura dan Tangga. Dam ini dibangun dan difungsikan oleh PLTA milik PT Inalum. Limbah itu akan membuat korosi baling-baling yang digunakan untuk memutar turbin PLTA. Namun, pemerintah tetap melanjutkan pembangunan.
Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie bersikukuh untuk tetap membangun Indorayon karena memang proyek besar ini sudah mendapat persetujuan dari Presiden Suharto. Kemudian Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan Surat PersetujuanTetap Nomor 269/PMDN/1983 kepada Indorayon, disusul dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara Raja Inal Siregar Nomor 593/3085/1984 tentang penetapan lokasi dan luas tanah untuk keperluan pembangunan PT Inti Indorayon Utama.
Surat persetujuan itu dikeluarkan bahkan sebelum berbagai persayaratan lingkungan yang harus dipenuhi Indorayon belum memenuhi syarat. Inilah awal malapetaka bagi warga Porsea. Aksi korporasi Indorayon pertama adalah penyediaan lahan. Tanah Porsea adalah tanah adat yang dimiliki tidak oleh perseorangan, tetapi dimiliki secara komunal. Protes pun terjadi oleh sepuluh orang inang-inang (ibu-ibu). Mereka menolak tanah adat diserahkan ke Indorayon.
Kasus ini bermula ketika Indorayon, lewat perantaraan kepala desa dan camat berhasil membujuk beberapa warga untuk menyerahkan tanah adat seluas 51, 36 hektare untuk dijadikan areal PIR, perkebunan inti rakyat, yang akan ditanami eucalyptus. Penyerahan tanah adat itu oleh Indorayon dianggap sudah sesuai prosedur, karena kepala desa dan camat sudah menerima uang pago-pago (uang damai) dari Indorayon. Namun, beberapa warga desa yang merupakan keturunan langsung dari raja pendiri kampung tempat tanah adat itu berada tidak pernah merasa memberikan persetujuan untuk menyerahkan tanah itu. Kesepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman eucalyptus sebagai bentuk protes. Mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, Pengadilan Negeri Tarutung memvonis mereka enam bulan penjara.
BACA JUGA: Peristiwa Mei 1998, Dian Purba : Tidak Ada Tragedi 'Clara' di Medan
Beberapa titik resistensi terus bermunculan. Masyarakat adat menolak kehadiran Indorayon. Mereka terus berlawan hingga memasuki dekade 1990-an. Bahkan gerakan mereka semakin membesar dan juga semakin terjalin dengan jaringan yang lebih besar dan luas. Sesaat setelah Soeharto mundur dari posisinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998, masyarakat Porsea mendapatkan hasil dari perjuangan keras mereka. Pengganti Soeharto, BJ Habibie, pada 19 Maret 1999, menghentikan sementara kegiatan operasional Indorayon seraya menunggu hasil audit.
Dampak Indorayon
Masyarakat Porsea mayoritas petani. Mereka menanam padi untuk kebutuhan rumah tangga, dan juga untuk dijual ke pasar. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan di Danau Toba.
Danau terbesar di Asia Tenggara itu menjadi ladang penghidupan utama karena ikan di sana sangat melimpah. Kehadiran Indorayon membawa perubahan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dampak paling terlihat dan terasa dari kehadiran pabrik bubur kertas itu adalah menurunnya debit air di Danau Toba. Kemudian, sungai-sungai tempat mereka selama ini melakukan aktivitas mandi, bahkan dari sungai itu pula mereka mengambil air untuk dijadikan air minum, kini tak jernih lagi. Hujan asam menyerbu atap rumah mereka sehingga yang dulunya atap rumah bisa bertahan puluhan tahun, setelah kehadiran perusahaan itu hanya bertahan beberapa tahun saja.
Dampak lain adalah berkurangnya ikan di danau. Dengan demikian nelayan danau berganti profesi menjadi petani di darat. Namun, rupa-rupanya, kesuburan tanah juga sangat berkurang karena hujan asam itu.
Bukan Gerakan Elitis
Saat itu orde baru masih berkuasa. Atas nama pembangunan, siapa saja yang tidak berjalan pada rel pembangunan itu akan dianggap membangkang pada negara. Akibatnya bermacam-macam. Yang kerap terjadi adalah penghancuran “para pembangkang” dengan mengerahkan kekuatan negara. Masyarakat Porsea sadar betul akan hal itu. Sepuluh inang-inang itu juga demikian. Saat mencabuti tanaman hutan Indorayon mereka sadar akibat yang akan mereka terima setelah itu.
Aktivitas Indorayon menghancurkan kehidupan pertanian mereka. Namun, hal pokok yang menyebabkan sepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman hutan Indorayon adalah karena tanah itu adalah tanah adat. Kepemilikan tanah di sana adalah kepemilikan komunal. Bagi mereka, tanah adalah bagian dari identitas kebatakan.
Di samping itu, bagi masyarakat Batak, bertani bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan subsistensi. Mereka menghubungkan tanah dan perjuangan menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, sehingga melahirkan satu perumpamaan boleh disebut sebagai ideologi orang Batak: anakhon hido hamoraon di au (anak adalah sumber kekayaan). Artinya, mereka bekerja siang dan malam di tanah mereka untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Karena itulah, kehilangan tanah bagi mereka tak sekadar kehilangan tanah semata tapi juga kehilangan ideologi kebatakan.
Di samping itu juga, kehadiran Indorayon ikut menghancurkan salah satu bidang perkerabatan. Berbagai jenis ikan mas, yang bagi orang Batak menjadi sumber protein hewani yang bebas kolesterol, maupun untuk pesta adat, pesta pernikahan, kematian, atau pesta memindahkan tulang-belulang leluhur, hampir punah.
Yang menarik dari kasus ini, seperti ditulis oleh George Junus Aditjondro (2006), adalah gerakan ini berbeda dengan kebanyakan perlawanan rakyat pada umumnya. Gerakan perlawanan rakyat menghadapi perusahaan Indorayon selama periode 1983-2000 adalah gerakan yang lahir bukan dari para intelektual kota. Atau juga oleh laki-laki, tetapi petani perempuan.
Keunikan berikutnya adalah gerakan ini menciptakan jaringan solidaritas se-Sumatera Utara—bahkan nasional—untuk mendukung pembebasan kesepuluh inang-inang itu dari penjara. Keunikan terakhir adalah gerakan rakyat di Porsea didukung oleh tokoh-tokoh gereja di Sumatera Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan, gereja Protestan terbesar di Indonesia. Mereka memandang dirinya tidak terpisah dari umatnya. Karena itulah, gereja menunjukkan tempatnya dalam masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat. Selama masa-masa protes massif masyarakat menolak Indorayon, banyak pendeta dan pastor ditahan polisi karena ikut membantu masyarakat.
====
Penulis Dosen Sosiologi Agama IAKN Tarutung
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]