Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Simalungun. Laporan aksi tindak kekerasan terhadap MTA pada 16 September 2019 lalu di Nagori Sihaporhas, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun yang dituduhkan kepada Humas PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk, Bahara Sibuea ternyata adalah rekayasa alias palsu.
"Saya Marudut Ambarita sebagai orang tua dari MTA sangat menyesal dan minta maaf atas kepada seluruh masyarakat dan media baik cetak maupun digital,dimana laporan yang saya buat ke Polres Simalungun bahwa anak saya dipukuli oleh Humas PT TPL Bahara Sibuea dan sempat buming dan viral adalah tidak benar alias palsu," ujar Marudut Ambarita, melalui vidionya Minggu(20/6/2021).
Ia mengatakan, membuat laporan dugaan kekerasan terhadap anaknya bukanlah atas kehendak keluarga namun dikarenakan adanya desakan dari sekelompok orang (LSM-red) sekaligus membuat kata-kata yang tidak sesuai dengan fakta sebagai bahan pelaporan ke polisi.
“Pada saat itu saya bersama anak saya MTA berada di lokasi TPL kurang lebih jam 09.00 WIB. Kami menanam jagung lalu datanglah Humas TPL, bapak Bahara Sibuea ke lokasi. Di situ terjadi perbincangan mengenai lahan tersebut, mereka (TPL-red) melarang masyarakat agar jangan menanam jagung, tapi masyarakat tetap menanam jagung,” ujarnya.
Disebutkan oleh Marudut Ambarita bahwa larangan dari Bahara Sibuea justru memicu amarah warga, sehingga terjadi keributan dan bentrok yang tidak bisa dihindari dan saat itu juga Marudut Ambarita bersama anaknya MTA pergi menjauh.
“Terjadilah bentrok sekira pukul 11.00 WIB. Kami (saya dan anak) lari dari lokasi bentrok tersebut sekitar 15 meter, agar tidak kena bentrokan pada anak saya. Selesai bentrok, kami pun pulang ke kampung. Saya bonceng anak saya, tapi bukan ke rumah melainkan dibawa dibawa oleh Pimpinan LSM LA ke rumah tukang obat, lalu dibuatlah sirih ke punggung anak saya,” bebernya.
Ia mengaku tidak mengetahui maksud atau tujuan diberikan obat tersebut kepada anaknya karena obat yang diberikan berupa semburan sirih berwarna merah dengan tujuan supaya terkesan menyerupai luka lebam.
"Atas instruksi pimpinan LSM tersebut, seluruh warga berkumpul di rumah tukang obat. Saat itu, tiba-tiba si dukun mengaku kedatangan arwah leluhurnya dan meminta agar anaknya dijadikan alat untuk memenangkan kasus berdarah tersebut dengan tujuan, agar orang yang ikut dalam bentrok itu tidak dipenjarakan polisi,"ungkapnya.
Lanjut Marudut Ambarita, keesokan harinya, dia diminta pimpinan lembaga itu untuk melaporkan ke polisi bahwa anak Marudut ini dipukul Humas TPL dan tidak diterima polisi karena belum ada visum.
“Saat dibawa visum, ternyata tidak ada hasil visumnya. Keesokan harinya kami diminta untuk pergi ke Polres Simalungun untuk melaporkan kasus pemukulan terhadap anak saya MTA. Mereka mengajari bagaimana kronologinya, bagaimana pelaporan agar kasus MTA ini ditanggapi Polisi,” akunya.
Sampai di Polres Simalungun, Marudut bingung saat ditanyai polisi, karena laporan penganiayaan itu tidaklah benar.
“Sebenarnya MTA itu tidak ada dipukul Humas TPL. Saat diproses kepolisian, saya sangat takut karena pengaduan saya itu bohong,” terangnya.
Sesudah Marudut melaporkan kasus pemukulan MTA ke Polres Simalungun, dua hari kemudian Marudut dipanggil polisi. Ia mengaku tidak mau menghadiri panggilan karena menyadari telah membuat laporan palsu.
“Saya tidak mau lagi datang karena berita tentang anak saya MTA itu bohong, itu tipuan, saya disuruh. Dibuat kami ibaratnya jadi alat untuk lembaga tersebut. Kalau kami tidak mau mengikuti omongan mereka itu, kami dibenci, dikeluarkan dari kampung dan dari serikat,” katanya.
Kekhawatiran dan rasa bersalahnya semakin menjadi, bahkan saat panggilan kedua dari Polisi lewat telpon datang, karena merasa bersalah Marudut semakin takut dan memilih selama 1 itahun melarikan diri ke Jambi.
Verawati Silalahi(Istri Marudut Ambarita) juga angkat bicara, Ia mengakui, gegara pengaduan palsu tersebut selama setahun tiga minggu, dirinya beserta tiga orang anaknya ditinggal suami dan menderita. "Saya dan tiga orang anak ditinggal selama setahun tiga minggu," dengan linangan air mata.