Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Usulan untuk melakukan lockdown kembali ramai diperbincangkan setelah kasus virus Corona melonjak. Bahkan baru-baru ini muncul petisi online yang meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil keputusan lockdown, petisi itu sudah diteken ribuan orang.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal secara instan lockdown akan membatasi mobilitas publik. Otomatis dampaknya bisa menimbulkan kontraksi ekonomi.
Dampaknya paling berasa adalah masyarakat yang bekerja di sektor informal. Kemungkinan mereka akan kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan.
"Kalau lockdown diberlakukan, mobilitas dibatasi akan berdampak terhadap kontraksi ekonomi. Khususnya masyarakat kalangan menengah bawah, apalagi yang bekerja di sektor informal, mereka akan terkena dampak paling besar," ungkap Faisal kepada detikcom, Senin (21/6/2021).
Secara makro, jelas kontraksi ekonomi akan menghampiri Indonesia bila lockdown dilakukan. Faisal menjabarkan, untuk kuartal II hingga bulan ini, kemungkinan ekonomi akan di rentang positif, melihat perkembangan konsumsi yang memang terjadi sejak awal tahun.
Namun, bila lockdown dilakukan sekarang, kemungkinan ekonomi kuartal III, tepatnya di bulan Juli-September akan kembali negatif pertumbuhannya.
"Kalau kita asumsikan lockdown dilakukan meluas selama satu kuartal, misalnya di kuartal III, dari Juli sampai September. Maka ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi di kuartal III akan kembali negatif," ungkap Faisal.
Secara mikro, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan selama lockdown semua sektor ekonomi yang bertumpu pada pergerakan manusia akan anjlok. Misalnya toko ritel, transportasi, hotel, hingga restoran. Dia memastikan sektor ini akan turun tajam omzetnya.
Kemudian, ada juga sektor yang bertumbuh pesat, misalnya e-commerce, jasa pesan antar, hingga bisnis logistik. Masyarakat akan bergeser pola konsumsinya.
"Bisnis yang menunjang kebutuhan selama di rumah saja atau WFH itu yang tumbuhnya cepat," kata Bhima kepada detikcom.
Menurutnya, pertumbuhan ataupun anjloknya ekonomi tidak imbang dirasakan semua sektor. "Memang jadi tidak imbang ya, ada yang rugi sekali," katanya.
Namun yang jelas, gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK berpotensi bakal terjadi bila lockdown dilakukan. Apalagi kalau pemerintah tidak memberikan kompensasi yang tepat jumlah dan waktunya kepada sektor usaha yang terdampak.
"Gelombang PHK diperkirakan meningkat apabila pemerintah terlambat berikan kompensasi ke usaha yang rugi selama lockdown," tegas Bhima.
Sebelumnya, petisi online yang mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera melakukan karantina wilayah muncul dan ramai diperbincangkan. Petisi online itu diajukan lantaran kasus COVID-19 di Indonesia yang terus melonjak.
Petisi online itu dibuat melalui Google Document oleh beberapa pihak yang menyebut dirinya Lapor COVID-19 pada Jumat pekan lalu. Petisi itu disertai surat terbuka yang ditujukan kepada Jokowi. Hingga kini sudah ada hampir 2.500 orang yang meneken petisi tersebut.
"Mengeluarkan keputusan untuk karantina wilayah dan mempertegas pembatasan pergerakan fisik, dengan sanksi yang tegas, serta memberi dukungan kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial," bunyi surat terbuka petisi tersebut.
Di sisi lain, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X juga bicara soal kemungkinan lockdown sebagai solusi atas kenaikan kasus virus Corona atau COVID-19 di wilayahnya.
Sultan menyebut lockdown sebagai salah satunya jalan setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) tak efektif di lapangan.
"PPKM ini kan sudah bicara nangani RT/RW (mengatur masyarakat paling bawah). Kalau realitasnya masih seperti ini mau apa lagi, ya lockdown," tegas Sultan diwawancarai wartawan di Kantor Gubernur DIY, kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kemantren Danurejan, Jumat (18/6/2021).
Pakar kesehatan juga buka suara soal usulan lockdown. Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra menilai situasi COVID-19 usai 15 bulan berjalan tak kunjung terkendali di tengah penanganan Corona yang tak efektif.
Dia meminta pemerintah melakukan PSBB ketat secara nasional. Ataupun yang ekstrem melakukan lockdown secara regional.
"Pemerintah harus berani radikal opsinya cuma dua, PSBB nasional pada bentuk semula atau pun lockdown regional, terbatas pada pulau besar seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dilakukan secara berkala. Usul yang paling radikal tentu lockdown regional ya, artinya ini bentuk paling logis," tegas Hermawan dalam diskusi bersama CISDI, Minggu (20/6/2021).(dtf)