Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Co-Founder Jakarta Defence Studies (JDS) Edna Caroline mengungkapkan pandangannya soal modernisasi militer Indonesia lewat pembelian alat utama sistem pertahanan (alutsista). Ia pun menyoroti kehebohan terkait anggaran pengadaan alutsista mencapai Rp 1.700 triliun dengan membeberkan aspek positif dan negatif dari rencana tersebut.
"Ada beberapa positive sides, kalau kita lihat secara sense of priorities ada perspektif strategis dari Kementerian Pertahanan itu kelihatan banget. Walaupun beberapa kali sudah dikatakan juga kalau fokus itu ke pertahanan laut dan udara," ungkap Edna dalam Webinar Urgensi Modernisasi Tentara Nasional Indonesia, Kamis (24/6/2021).
Ia menyebutkan berdasarkan perspektif strategis tersebut diketahui adanya rencana untuk pengadaan sejumlah alat untuk memperkuat pertahanan Indonesia seperti radar, pesawat tempur, hingga kapal perang.
Selain itu, ia juga menyinggung soal draf rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024. Menurutnya, dari rancangan draf tersebut terlihat adanya long term perspective yang dituju.
"Ada keinginan untuk menguatkan industri pertahanan kemudian menurunkan problem inkoheren dan inkonsistensi yang selama ini ada," terangnya.
Ia menyebutkan beberapa poin positif lain yang tampak dari rencana ini seperti masalah anggaran yang telah dipikirkan, pengadaan alat berkualitas (high facilities), adanya civilian supremacy, serta G-to-G/direct line.
Sementara untuk poin negatifnya, Edna menilai kurangnya diskusi terkait rencana ini. Menurutnya, meski Kementerian Pertahanan memiliki otoritas, perlu juga untuk melibatkan seluruh stakeholder terkait untuk membuat inovasi terkait modernisasi kekuatan pertahanan di Indonesia.
Ia mengatakan, ada masalah trust issue/isu kepercayaan akibat diskusi yang tidak terbuka. Poin negatif lain yang juga ada dalam rencana ini ialah unclear cascading strategy.
"Kemudian poin keempat, fokusnya tuh terlalu di pembelian senjata padahal banyak masalah yang harus diselesaikan kalau kita mau memodernisasi TNI. Bukan cuma menambah alat-alat yang canggih," ujarnya.
Ia pun menilai ada masalah lain terkait dengan konflik interest, terlebih dengan munculnya nama PT TMI terkait monopoli pengadaan alutsista.
Ia menekankan, Indonesia memang memerlukan modernisasi kekuatan pertahanan untuk membangun otot dalam bentuk persenjataan. Akan tetapi, perlu dibahas lebih lanjut mengenai sejauh apa pengadaan alutsista ini akan dilakukan.
"Memang penting untuk kita membeli senjata tapi pertanyaannya kita mau beli senjata ini untuk apa saja? Terus mau beli senjata sebanyak apa sih? Karena perang ke depan itu kan technology based banget, high tech banget. Itu yang negara kita nggak punya," tutur Edna.
Edna mengatakan selain pengadaan alutsista, upaya modernisasi kekuatan pertahanan perlu dimulai dari konsep yang matang. Sebab menurutnya, modernisasi sendiri selalu dimulai dengan pemikiran.
"Jadi, inovasi itu selalu menjadi inti dari modernisasi militer. Kita lihat dari Perang Napoleon, Perang Dunia ke-2, itu selalu mulai dari konsep dulu. Bukan kita kemudian mendahulukan beli alat, atau list belanja. Tapi pertanyaannya, kita mau ngapain sih? Perang seperti apa yang mau kita hadapi? Dan bagaimana kita menghadapinya?" pungkasnya.dtc