Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DALAM bincang-bincang sederhana di Desa Meat, yang difasilitasi BPNB Aceh, kebetulan fasilitatornya adalah karib saya berkesenian selama ini (Bang Thompson Hs dari PLOt dan Octavianus Matondang dari Sitopaksada), kami berbicara tentang nasib Tanah Batak. Kami mengingat cerita heroik Sisingamangaraja XII mengusir penjajah. Kami pun membahas tentang PT TPL yang sudah puluhan tahun berdiri di Tanah Batak.
Dalam pembicaraan itu, semangatnya sama: PT TPL ditutup. Paling tidak, jika harus berdiri, pengawasan lingkungan yang ketat harus menjadi perhatian pokok. Sebab, tak mudah untuk menutup sebuah perusahaan besar.
Pasalnya, perusahaan besar sudah pasti menyangkut kehidupan dengan jumlah yang besar. Berapa ribu orang yang akan jadi pengangguran jika PT TPL ditutup?
Namun, pertimbangan lebih matang pun bisa disandingkan. Jika PT TPL ditutup, itu hanya akan berpengaruh pada karyawannya saja. Sementara itu, jika tetap dibuka, pengaruhnya justru sangat buruk bagi hampir seluruh masyarakat di Kawasan Danau Toba, baik yang hidup, bahkan yang masih dalam kandungan. Dan, tragisnya, konon ada yang justru "menganggu" yang mati dengan semacam perusakan makam leluhur. Artinya, jika harus dilihat dari angka sebagai perwujudan demokratis, penutupan PT TPL justru jauh lebih menguntungkan daripada tetap dibuka.
Perkara banyak pengangguran karena PT TPL ditutup, semestinya manusia punya akal. Orang Batak tak hidup dari TPL saja, atau kata Sang Mesias: manusia tak hidup dari roti saja. Ada jutaan warga di Kawasan Danau Toba (KDT) yang hidup tanpa TPL. Artinya, tanpa TPL, karyawan masih bisa hidup dengan bergantung pada pertanian, perkebunan, dan pekerjaan lainnya.
Persoalannya, maukah karyawan TPL hidup dengan cara masyarakat lainnya? Sampai di sini rasanya sudah jelas: ini masalah kemauan. Sama seperti ketika Sisingamangaraja XII melawan penjajah. Jika Sisingamangaraja XII hanya memikirkan dirinya dan keluarganya, mustahil ia melawan. Ia bisa santai bersanding dengan kolonial.
Namun, Sisingamangaraja XII berpikir lebih luas. Ia hidup untuk warga. Maka, pilihan mematikan pun ia pilih. Banyak warga yang menjadi pengkhianat. Tetapi, jalan pengabdian Sisingamangaraja XII tetap lurus: ia tetap melawan. Untuk apa masa sekarang berjaya, jika masa depan merana? Kurang lebih demikian hitung-hitungannya. Barangkali apa yang saya sampaikan ini terlalu mengada-ada. Sebab, nyatanya, bagi beberapa orang, TPL sangat menguntungkan. Pasalnya, mereka membangun jalan-jalan kecil, mereka menyumbang tong sampah, mereka menyumbang bibit, mereka konon juga menyumbang gereja, konon bahkan dengan anonim....
BACA JUGA: Mengapa Uang Terima Kasih pada Guru (Tidak) Tergolong Pungli?
Namun, jika disadari, semua sumbangan itu berasal dari perut bumi KDT kok. Lagipula, itu adalah sebuah kewajiban dari sebuah perusahaan. Entah mengapa. Tiba-tiba saja saya teringat pada meme dengan kalimat ini: "Inspiratif: anak ini berhasil bertani bawang dengan modal Rp 2 juta. Tiga bulan kemudian, ia mendapatkan Rp 200 juta setelah menjual bawang dan tanahnya".
Ibaratnya, begitulah kita dengan PT TPL. Kita memang mendapatkan banyak uang saat ini. Tetapi, uang itu bukan dari bawang, namun dari tanah yang sudah turut kita jual. Kita melimpah uang, tapi itu hanya sementara dan tak menjamin masa depan sama sekali.
Saya katakan demikian karena saya mengingat betul, ketika saya masih SD, perusahaan yang menjadi cikal bakal TPL membawa kayu-kayu dengan iring-iringan truk. Bukan tak mustahil sehari ada 100 buah truk dari daerah kami saja. Jika setahun saja, berarti sudah 36.500 truk kayu. Dari mana kayu itu? Apakah kayu itu hasil tanaman dari perusahaan? Kayu itu berasal dari pohon yang dulu dijaga leluhur kita. Pohon itu dulu sangat asri. Pohon itu menjaga alam kita dari kebanjiran dan longsor. Pohon itu dulu alami. Lalu kini, pohon yang dirawat leluhur kita itu sudah habis dan bertukar menjadi pohon-pohon produksi. Lalu, darimana jalannya PT TPL yang tak tahu-menahu dan tak pernah jangankan menanam, merawat saja tidak, namun justru seakan yang paling berhak untuk menikmati hasil hutan yang dijaga nenek moyang kita?
Karena itu, dengan modal membaca beberapa data bahwa PT TPL merugikan masyarakat, tidak saja hari ini, namun untuk masa depan, sudah sebaiknya kita berkemauan keras untuk mengevaluasi PT TPL ini di Tanah Batak. Adalah memang sangat kasar jika kita berkata begini: PT TPL hanya menguntungkan karyawan, bahkan mungkin para pejabat saja. Namun, kata-kata kasar itu tak seberapa jika dibandingkan dengan kenyataan pahit ini: bahwa 90 persen warga di KDT tak mendapat keuntungan dari PT TPL, justru malah merugikan beberapa petani kecil dan desa adat. Atau, supaya realistis: apakah PT TPL ini lebih banyak menguntungkan orang di KDT atau orang di luar KDT? Orang Batak atau non-Batak?
Saya bermimpi, kita punya semangat yang jauh. Mustahil memang rakyat bisa menang melawan korporasi. Mustahil orang miskin menang melawan orang kaya. Mustahil orang kecil bisa melawan orang besar. Namun, setidaknya kita jangan dikecilkan, apalagi dimiskinkan. Lagipula, jika kalah, dengan bangga kita bisa mengutip Mas Pram: kita telah melawan Nak. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Hanya perjuangan yang bisa membedakan kita dari spesies lain di bumi ini. Karena itu, lantaran ini menyangkut Tanah Batak, melalui tulisan ini saya sangat berharap, ormas-ormas yang menggunakan kata "Batak" sebagai namanya, mungkin juga gereja, untuk mengambil peran.
Perannya bisa saja kecil. Tak perlu jalan kaki dari Tanah Batak ke Jakarta. Cukup mengambil peran kecil, tetapi justru sangat menentukan: sambut Bang Togu Simorangkir dan tim di Jakarta dengan budaya kita, yaitu gondang dan tortor. Antar mereka dengan iring-iringan ke Istana. Selama ini, kita merinding melihat kiprah PBB (Pemuda Batak Bersatu) melawan ketidakadilan dan intoleransi. Niscaya, jika hal yang sama dilakukan, apalagi jika ormas-ormas Batak bergabung, seperti PBB, HBB, HBN, FBI, dan sebagainya, seluruh masyarakat di KDT akan jauh lebih merinding. Paling tidak, saya sendiri.
Oh, iya, di akhir, saya sampaikan selentingan yang sayup-sayup saya dengar: "X sudah diam karena mereka sudah mendapat bagian dari PT TPL". Saya sangat yakin, kita semua bukan bagian dari X itu. Entahlah saya salah. Atau...?
====
Penulis Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]