Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Rehab tahap kedua Kantor Gubernur Sumatera Utara tahun 2021 yang menelan anggaran hingga Rp 69,9 miliar dari APBD Sumut, dinilai tidak memiliki urgensi alias tidak mendesak.
Pengamat Anggaran Pemerintah, Elfenda Ananda, mengatakan hal tersebut, Selasa (06/07/2021), mengingat pekerjaan rehab tersebut dilaksanakan saat pandemi covid-19 yang masih memerlukan penanganan serius.
Menurut Elfenda, banyak kegiatan prioritas yang seharusnya dilaksanakan Pemprov Sumut, seperti menggenjot produktivitas usaha masyarakat di tengah kesulitas ekonomi imbas dari pandemi daripada rehab kantor.
Ia mengatakan dampak pandemi mengakibatkan sebagian besar rakyat, utamanya kelas menengah ke bawah, hidup dalam situasi kesulitan. "Kita tahu betapa sulitnya kehidupan supir angkot, beca bermotor, buruh PHK dalam memperoleh penghasilan," ujar Elfenda.
Karena kesulitan itu pula, pemerintah terus menggulirkan regulasi dan kebijakan yang mengutamakan skala prioritas dalam mengatasi bidang kesehatan, bidang ekonomi, bidang sosial utamanya untuk orang miskin, korban PHK dan sebagainya.
Ia menyebutkan pemerintah pusat hingga daerah, mengutamakan anggaran penanganan covid-19 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Perppu tersebut secara garis besar membahas 2 hal, yang pertama kebijakan keuangan negara dan keuangan daerah, yaitu mengatur kebijakan pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Kedua adalah kebijakan stabilitas sistem keuangan yang meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan negara.
Dan pandemi covid-19 sampai saat ini belum usai. Sehingga regulasi dan kebijakan yang dibuat, menjadi landasan pemerintah pusat dan daerah, dan kementerian sebagai pedoman dalam hal prioritas belanja pemerintah.
Memang, ujar Elfenda lebih lanjut, dipahami bahwa pembangunan rehab Kantor Gubsu sudah direncanakan jauh-jauh hari. Kegiatan tidak muncul tiba tiba di tahun anggaran 2020 maupun tahun 2021. Perencanaan sudah menghitung berbagai aspek termasuk teknis dan non teknis.
Adapun alasan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, bahwa rehab tahap kedua tidak bisa dihentikan karena sudah dianggarkan dan sudah pula keluar uang negara, menurut Elfenda, kurang tepat karena rehab itu tetap saja bisa ditunda.
"Tetap saja ada regulasi yang bisa menunda pelaksanaan pembangunan rehab Gedung pemerintah di tahun berikutnya dimana kondisi ekonomi sudah membaik," ujarnya.
Karena tidak mendesak, lanjut Elfenda lagi, maka sebenarnya publik patut mempertanyakan rehab kedua kantor gubernur itu.
Apalagi bahwa dalam setiap pengalokasian anggaran pemerintah, sesuai ketentuannya harus menganut prinsip efisien, efektif, dan transparan, serta akuntabel. "Prinsip ini tidak dijalankan," katanya.
Dan anggaran rehab Rp 69,9 miliar itu, menurut Elfenda, secara nominal tidaklah sedikit pada situasi penerimaan daerah yang lagi seret. Bahkan karena seretnya penerimaan dan tidak adanya alternatif lain, menaikkan harga BBM non subsidi pun menjadi pilihan Gubernur Edy.
"Tentu saja menaikkan harga BBM non subsidi di SUMUT adalah kebijakan paling gampang untuk cari uang. Pemprov Sumut tidak punya kreasi yang baik dalam memperoleh PAD sehingga ambil jalan mudah," sebutnya.
Elfenda menambahkan pada hakekatnya, uang yang diperoleh dari rakyat lewat pajak daerah dan sebagainya bersumber dari rakyat. Untuk itu, tidaklah pantas uang yang berasal dari pajak rakyat itu, dalam konteks rehab kantor gubernur saat ini, dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan yang dampaknya tidak langsung rakyat.
Ia kembali menggarisbawahi perlunya memahami prinsip pembangunan yang harus transparan, efesien dan efektif. Oleh karena itu, sebaiknya Gubernur Edy Rahmayadi lebih bijak dalam tata Kelola keuangan daerah di masa pandemi.