Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Upaya pemerintah mendorong pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap akan berdampak pada keuangan PT PLN (Persero). Jika pengembangan PLTS atap tembus 3,6 giga watt (GW), maka PLN berpotensi kehilangan pendapatan Rp 5,7 triliun per tahun.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, pemanfaatan PLTS atap tersebut akan berdampak para pengurangan penggunaan batu bara sebesar 2.978.813 ton. Dampak selanjutnya ialah pendapatan PLN akan berpotensi berkurang sebanyak Rp 5,7 triliun atau sebesar 2,21% per tahun.
"Kemudian dari sisi pengusahaan listrik betul, bahwa nanti akan berpotensi mengurangi pendapatan PLN. Kalau kita hitungnya angka 3,6 GW ini berkurangnya Rp 5,7 triliun. Kalau 1 GW ya Rp 5,7 triliun di bagi 3,6 angkanya sekitar barangkali Rp 1,2 triliun atau Rp 1,3 triliun," katanya dalam konferensi pers, Jumat (27/8/2021).
"Tidak bisa dipungkiri bahwa karena terjadi produksi sendiri ya konsumsi ke PLN-nya akan berkurang tapi ini adalah bukan kerugian. Ini adalah potensi berkurangnya pendapatan PLN dari konsumen yang memanfaatkan PLTS atap," tambahnya.
Dampak lainnya adalah penambahan tenaga kerja. Menurutnya, pembangunan PLTS atap ini berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja. Lalu, peningkatan investasi dengan potensi Rp 45 triliun sampai Rp 63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04 triliun sampai dengan Rp 4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor impor.
Tak cuma itu, pemanfaatan PLTS atap juga berpotensi menurunkan subsidi dan kompensasi dengan rincian subsidi Rp 0,9 triliun dan kompensasi Rp 2,7 triliun.
Sementara, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menuturkan, proyeksi pemanfaatan PLTS 3,6 GW ini tidak terjadi dalam waktu dekat, melainkan beberapa tahun ke depan.
"3,6 GW dalam hal ini tentu saja tidak hari ini atau besok lusa, tapi mungkin ini diproyeksikan akan tumbuh secara bertahap hingga tahun 2024 atau 2025 paling lambat," ujarnya.(dtf)