Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
GONJANG-ganjing calon presiden di Pemilu 2024 sudah mulai dikumandangkan di negeri kita, padahal masih ada kurun waktu 3 tahun lagi bagi rezim saat ini untuk melanjutkan pembangunan, Pihak oposisi pun masih memiliki cukup waktu untuk mengawasi kebijakan pemerintah sekaligus mengkritisinya, namun yang terjadi malah partai-partai memperkenalkan calonnya masing masing kepada publik. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa kebanyakan para petinggi negara saat ini politikus, bukan negarawan.
Beda politikus dengan negarawan itu cukup jelas. Politikus menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan politik berupa jabatan, eletabilitas, pengaruh kekuasaan. Tentunya pertimbangan seorang politikus dalam berbuat adalah kepentigan dirinya sendiri, kelompoknya ataupun partainya.
Hal ini berkebalikan dengan seorang negarawan, yang bertindak atas kepentingan publik atau kesejateraan orang banyak. Seorang politikus ketika memimpin akan melakukan setiap kebijakan agar dapat dipilih kembali dalam suatu perhelatan pemilu, sedangkan seorang negarawan rela meninggalkan kekuasaan ketika gagal dalam kepemimpinannya.
Perdana Menteri Britania Raya, David Lloid George, berkata, “A politician is a person with whose politics you don't agree; if you agree with him he's a statesman”. (Negarawan akan mengambil suatu kebijakan dengan memperhatikan kepentingan umum bahkan akan cenderung cepat memperbaiki kebijakan ketika ada kritik terhadapnya).
Para politikus juga cenderung sangat pragmatis, yaitu kepentingan diri sendiri ataupun partainya. Karena itu banyak politikus yang terjerat kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Di tubuh pemerintah yang saat ini kita lihat banyak lelang jabatan atau kontrak politik yang terjadi. Para pendukung atau relawan dalam proses pemilu akan diberikan jabatan sebagai imbalan walaupun bukan ahli pada bidangnya.
Kericuhan politik saat ini disebabkan kita miskin negarawan, baik di tingkat daerah maupun pusat. Negeri kekurangan sosok-sosok yang menjadi ayah bagi anaknya. Mengelola negara sama dengan membangun rumah tangga. Peran ayah sangat dominan. Ayah yang selalu berkorban bagi keluarganya. Rela bekerja sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kita kehilangan sosok seperti Soekarno, Hatta, Tan malaka, beserta para faunding fathers kita yang rela turun di medan juang, dibuang di pengasingan, berulang kali ditawan oleh Belanda. Kepentingan mereka saat itu hanya satu: kemerdekaan.
BACA JUGA: Urgensi Gerakan Mahasiswa Saat Ini
Bahkan setelah kemerdekaan kita melihat sosok seperti Hatta yang rela turun dari jabatan wakil presiden karena berseberangan dengan kebijakan Soekarno, Dia kawatir ada perpecahan dalam masyarakat dan pemerintahan. Sosok Gus Dur juga bisa terlihat kenegaraannya ketika menerima pelengserannya dan memerintahkan pendukungnya untuk tidak protes demi melindungi pemerintah dari perpecahaan yang lebih serius.
Sosok-sosok seperti itu sangat sulit ditemukan di masa ini. Terjadi kelangkaan pada negerawan, tetapi banyak sekali politikus yang menjamur. Sangat sulit ditemukan pemimpin yang menerima kritik dan membuat kebijakan sesuai dengan kritikan yang disampaikan.
Kampus Penghasil Politikus
Sejatinya proses demokrasi sudah ada di sekolah menengah atas (SMA), bahkan secara lebih jelas dipraktikkan di kampus oleh mahasiswa. Proses pemilu sudah kita ketahui sejak lama dan menjadi hal yang lumrah bagi kita dan praktik-praktik curang juga sudah dimulai sejak itu juga. Di dalam kampus mahasiswa sudah melakukan praktik-praktik tersebut ketika melakukan proses demokrasi dalam pemilihan ketua BEM atau pemerintahan mahasiswa.
Mahasiswa sudah diajarkan melalui lingkungannya untuk memperoleh kekuasaan dengan cara seperti apapun bahkan lebih parahnya lagi setelah mendapat kekuasaan tidak peduli terhadap hak-hak mahasiswa yang diwakilkan olehnya. Tak jarang kita lihat BEM mahasiswa yang pasif terhadap permasalahan mahasiswa, bahkan ada yang berpihak kepada pihak-pihak yang menindas mahasiswa melalui kebijakannya.
Demokrasi di kampus masih menjadi contoh kecil bagaimana kita melahirkan politikus. yang tidak menjadi negarawan. Keseluruhannya sebenarnya ada pada proses pendidikan kita yang kurang mengajarkan untuk mencintai negara ini lebih dari apapun. Pendidikan seharusnya mengajarkan kita untuk menjadi sosok yang melindungi kepentingan umum dibandingkan kepentingan kelompoknya.
Selain dari proses pendidikan, hal yang menjadi perhatian penulis dalam melihat menjamurnya politikus daripada negarawan ini adalah mahalnya ongkos politik yang ada dalam demokrasi kita. Hampir di setiap pemilu kita mendengar ada politik uang dan berbagai kecurangan kecurangan lain yang dilakukan.
Mahalnya ongkos politik kemudian akan menghasilkan orang-orang yang punya kemampuan dalam hal finansial bukan berdasarkan kecakapan dalam proses pengambilan keputusan atau berdasarkan prestasi yang telah diraih untuk kesejahteraan masyarakat. Maka wajar saja sebenarnya ketika sistem pemilihan yang seperti ini menghasilkan output yang hanya mengabdikan diri untuk kepentingannya sendiri.
Akhirnya sebagai masyarakat kita harus melihat ini sebagai fenomena yang kompleks dan harus diperbaiki demi menciptakan masyarakat yang sejahtera dan pemerintah yang mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat.
====
Penulis Aktif dalam Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial dan Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]