Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Sekularisme di Turki terus berproses dari tahun ke tahun. Mahkamah Konstitusi (MK) setempat mengambil peran untuk mengontrol dan menilai kebebasan beragama di ranah publik.
"Berbicara sekularisme berarti berkaitan dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam konstitusi Turki. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pembukaan Konstitusi dan sejumlah pasal dalam konstitusi," kata peneliti MK Turki, Engin Y?ld?r?m.
Hal itu sebagaimana dikutip dari webite MK, Kamis (16/9/2021). Engin memaparkan hal di atas pada simposium internasional 'The 4thIndonesian Constitutional Court International Symposium(ICCIS 2021)' yang digelar di Bandung. Simposium digelar secara daring dan luring. Simposium itu menghadirkan 28 pemakalah dari berbagai negara, di antaranya Australia, India, Indonesia, Malaysia, Palestina, Singapura, Turki, dan Vietnam.
Awalnya sekularisme militan hanya mengakui ekspresi keagamaan dalam ruang terbatas. Kemudian berubah hingga memberikan ruang yang lebih luas untuk kebebasan beragama dalam domain publik.Engin Y?ld?r?m, Peneliti MK Turki
Sejak 1937, kata Engin, makna, isi dan implementasi dari sekularisme ini telah diperdebatkan di kalangan politik dan hukum di Turki, khususnya dalam konteks kebebasan beragama. MK Turki telah mengeluarkan 27 putusan dalam permohonan perseorangan dalam rentang waktu 2012-Juni 2021 dan 121 putusan dalam perkara uji konstitusionalitas tentang kebebasan beragama pada masa 1962 - Juni 2021.
Engin menguraikan beberapa contoh kasus hukum yang diterima Mahkamah Konstitusi Turki yang berhubungan dengan kebebasan beragama.
"Kasus-kasus ini melibatkan berbagai isu di antaranya larangan jilbab di universitas dan pegawai negeri, kursus agama wajib di pendidikan dasar dan menengah, kotak agama pada kartu identitas nasional, tingginya volume adzan, dan pembubaran partai politik Islam," ujar Engin.
"Atas perkembangan kasus-kasus ini terlihat bahwa pengadilan telah mengalami transformasi substansial dalam pendekatannya terhadap kasus kebebasan beragama dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya sekularisme militan hanya mengakui ekspresi keagamaan dalam ruang terbatas seperti pada pendidikan tinggi atau pekerjaan di pegawai negeri. Kemudian berubah hingga memberikan ruang yang lebih luas untuk kebebasan beragama dalam domain publik," sambung Engin dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Luthfi Widagdo Eddyono dari MK Republik Indonesia.
Adapun dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, M Ali Safa'at dari dengan pemaparan makalah berjudul 'The Role of the ICC on Determining the Differentiation and Relationship Between State and Religion' mengulas tentang peran dari MK Indonesia dalam pembedaan hubungan antara negara dan agama serta hubungan antara bidang agama dan sekuler.
Menurutnya, agama dapat mempengaruhi dan menjadi substansi hukum negara. Ketika menjadi hukum negara, maka agama menjadi wilayah sekuler sehingga negara dapat memilih atau membatasi hukum agama. Hal ini, sambung Ali, terlihat dari pembatasan kewenangan dari pengadilan agama, pembatasan poligami, dan pengaturan zakat.
"Kewenangan negara untuk membatasi hukum agama yang telah menjadi hukum negara ini diperkuat dengan Putusan MK RI dalam pengujian UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, dan UU Pengelolaan Zakat. Bahwa putusan MKRI tersebut mempertajam pembedaan dan relasi antara negara dan agama yang harus berpedoman pada Pancasila sebagai perwujudan dari simbiosis antara keduanya," terang Ali.
ICCIS merupakan forum akademik global tahunan untuk diskusi gagasan dalam hukum tata negara. Pada 2021 ini, diskusi yang dipilih berfokus pada isu-isu tentang agama dalam konteks hak konstitusional. Sebelum presentasi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Perpustakaan (P4) membuka kesempatan bagi para akademisi untuk mengirimkan artikel sesuai tema. Artikel yang terpilih dari ICCIS ke-4 ini nantinya akan diterbitkan oleh jurnal akademik Mahkamah Konstitusi,Constitutional Review.(dtc)