Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA banyak kelompok rentan terhadap pelanggaran HAM di negara ini, salah satunya adalah masyarakat hukum adat. Masyarakat yang masih mempertahankan nilai nilai budaya dan warisan leluhur sampai saat ini.
masyarakat hukum adat merupakan kesatuan masyarakat yang berkembang bersama kehidupan masyarakat, namun rentan dan beresiko terhadap pelanggaran HAM. Merujuk data AMAN, tahun 2019 terdapat 125 komunitas adat yang menjadi korban konflik sumberdaya dan tersebar di hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sebagian besar konflik terjadi karena sumber daya alam yang hendak dikuasai oleh perusahaan untuk dijadikan industri, padahal masyarakat adat sangat bergantung kepada sumber daya alam atau hasil hutan. Lantas, bagaimana peran negara dalam memenuhi hak masyarakat hukum adat?
Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat adat masyarakat hukum adat secara yuridis konstitusional tersirat dalam Pasal 18 Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 18 B ayat (2) tersebut ditegaskan bahwa “negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang dalam kenyataan masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diatur dalam undang undang”.
Dalam UUD 45 dapat dimaknai secara fisiologis dan yuridis. Secara yuridis pengakuan dan penghormatan ini memberikan landasan konstitusional sedangkan secara filosofis pengakuan ini sebagai bentuk penghargaan juga terhadap nilai-nilai kemanusian ,kebersamaan dan keadilan yang ada pada pembukaan UUD 45 alinea ke IV . Namun , sekali lagi UUD NKRI 1945 tidaklah cukup untuk menjadi bukti yang sahih untuk mengimplementasikan kebijakan agar hak-hak masyarakat adat dapat terjamin harus ada UU turunannya untuk memperkuat implementasinya . Hal ini dapat dinilai sebagai suatu kelemahan karena akan menimbulkan berbagai penafsiran baik oleh negara maupun oleh masyarakat hukum adat sendiri.
Hak tradisional masyarakat hukum adat yang sekaligus menjadi identitas budaya dari hukum adat dan menjadi prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat adalah hak otonomi (Zen Zanibar, 2008:7). Hak otonomi masyarakat hukum adat adalah hak masyarakat hukum adat untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Masayarakat Hukum adat punya otoritas penuh dalam mengelola tanah dan peraturan-peraturan di wilayahnya sesuai dengan hukum adat yang berlaku
BACA JUGA: Negarawan, Politikus, Kampus dan Ongkos Politik
Pemeritah kurang serius dalam memenuhi hak masyarakat hukum adat. Dalam periode waktu 55 tahun (1950-2005), undang-undang yang diterbitkan pemerintah pusat sebanyak 1137 buah.
Berbicara tentang peraturan daerah (Perda), dalam jangka waktu tujuh tahun sudah diterbitkan 13.530 Perda hasil kerjasama Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ironisnya, dari 2.639 Perda itu, hanya terdapat sekitar 29 Perda yang berurusan dengan lembaga adat dan hanya tiga Perda yang secara langsung berkaitan dengan masyarakat hukum adat (Firdaus, 2007).
Perkembangan perumusan hukum/legislasi dan komitmen pemerintah daerah untuk kurang menganggap isu masyarakat adat sebagai bagian penting bahkan dapat dikatakan bahwa hingga saat ini keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat masih sangat minim
Namun, semua UU tersebut belum secara operasional memberikan jaminan bagi kelangsungan dan pelestarian masyarakat hukum adat. Tumpang tindihnya peraturan tentang hak hak masyarakat adat memungkinkan masyarakat adat kehilangan hak-haknya terutama dalam penguasaan tanah ulayat atau wilayah adatnya.
Kelemahan implementasi pengakuan dan penghormatan negara atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat membuat masyarakat hukum adat harus melaksanakan negosiasi kepada negara atas keberadaan dan hak-haknya. Kelemahan lain dalam perumusan norma pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat yang bersifat sektoral dan fakultatif hanya bersifat mengatur.
Konsekuensi hukumnya yaitu hanya bersifat sukarela (voluntary) tanpa adanya paksaan yang ditandai dengan adanya sanksi maka dalam pelaksanaannya potensial terjadi penyimpangan. Bahkan, beberapa rumusan norma hukum tersebut cenderung bersifat retorika yaitu mengulang/menuliskan lagi ketentuan dalam pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Atas dasar itu, maka diperlukan terobosan untuk mengatasi sektoralisasi pengaturan dalam berbagai undang-undang yang sudah ada selama ini.
Pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan masyarakat adat adalah tanggung jawab negara maka sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap masyarakat Hukum adat pemeritah harus mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang memungkinkan masyarakat adat secara yuridis untuk mengelola tanahnya dan mengambil hasil dari hutan adat mereka. Selain itu akan mempermudah pemerintah daerah di masing-masing kabupaten menerbitkan Perda sebagai aturan turunan untuk masyarakat hukum adat yang telah mengidentifikasi dirinya.
Dengan adanya kebijakan tersebut tak dapat dipungkiri akan menghasilkan kesejahteraan pada masyarakat hukum adat dan menghindarkan dari pelanggaran maupun konflik yang terjadi di wilayah adatnya.
====
Penulis Aktif di Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) Medan dan Mahasiswa Administrasi Publik USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]