Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Langkat. Pemkab Langkat masih menemui 'jalan buntu' untuk menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Masyarakat Hukum Adat. Karena itu, hingga kini aturan pelaksana Perda, yakni berupa peraturan bupati (Perbub) belum diterbitkan. Harus ada revisi Perda terlebih dahulu terhadap beberapa pasal di DPRD Langkat dengan melibatkan pihak terkait. Pasalnya, Langkat memiliki sejarah kerajaan/kesultanan sendiri, yakni Kerajaan Melayu.
Seperti pada Bab I di Perda Masyarakat Hukum Adat dituliskan pada pasal 1 poin 6 'Kerapatan Adat adalah Lembaga Adat yang memiliki struktur kewilayahan Kedatukan dan Kejuruan'. Ini bermakna hanya untuk satu lembaga adat saja (Melayu). Karena, adat dan budaya yang ada di Kabupaten Langkat tidak memiliki struktur kewilayahan kedatukan, kejuruan, selain Melayu.
"Memang Perda ini merupakan Perda Inisiatif DPRD. Semula Ranperda ini produk ekskutif, tapi sudah lama tidak terselesaikan, sehingga diselesaikan DPRD menjadi Perda Inisiatif DPRD Langkat, dan harus direvisi lagi sebagian pasal-pasalnya dalam waktu dekat," kata anggota DPRD Langkat dari Fraksi Keadilan Pembangunan Kebangsaan (KPK). Fatimah kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (14/10/2021).
Disinggung menemui jalan buntu, Fatimah mengaku harus melibatkan sejarawan/pewaris adat, pakar adat atau yang mengetahui tentang Kerajaan Melayau Langkat.
"Memang Perbub-nya belum terbit, dan Sutrisuanto selaku Kadis PMD Langkat yang menangani Perda ini, atau pihak lain juga belum mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan kerapatan adat, sehingga kita harus duduk bersama kepada siapa-siapa yang mengetahui dan bisa menjelaskan kerapatan adat," kata Fatimah.
Datuk Sri Djohar Arifin Husin, putra Langkat ketika ditemui di Medan menjelaskan, revisi Perda Masyarakat Hukum Adat tidak harus tergesa-gesa. Ini harus juga dimusyawarahkan pada ahli hukum adat yang ada di USU (Universitas Sumatra Utara).
"Tentang kerapatan adat, diambil dari fakta sejarah. Saya sudah menulis tentang susunan pemerintahan Kesultanan Langkat untuk menghidupkan adat istiadat agar masyarakat kembali berakhlak mulia. Artinya bukan menghidupkan klas di masyarakat, apalagi feodal. Karena, feodal tidak dikenal di masyarakat Melayu, feodal hanya ada di Eropa. Namun untuk menyatukan rakyat Melayu," jelas anggota DPR-RI ini.
Karena, lanjut Djohar, musyawarah zuriat, kejuruan dan kedatukan di tahun 1999 sepakat menghidupkan kembali jabatan Kepala Masyarakat Adat Langkat atas desakan keinginan masyarakat adat negeri Langkat. Karena adat bersendikan syarak dan kitabullah. Malu orang Langkat bodoh, malu melanggar hukum dan malu dihukum.
Lembaga-lembaga pemerintahan di Kesultanan Langkat, papar Djohar, yakni tuanku sulthan, raja muda, majelis zuriat, majelis tinggi, majelis adat, pengetua wazir, wazir-wazir, pangeran tiap luhak, tengku tiap kejuruan, datuk tiap kedatukan, kepala balai, penghulu adat dan bentara.
Dalam Kesulthanan Langkat ada pembagian wilayah. Ada Luhak Langkat Hulu di Binjai, Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura dan Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan. Seorang luhak itu berpangkat pangeran, karena ia adalah wakil sulthan di wilayah luhaknya. Ada Kejuruan Bahorok, Kejuruan Bingai, Kejuruan Punggai, Kejuruan Selesai dan Kejuruan Stabat. Kejuruan ini berpangkat tengku kejuruan yang diangkat oleh Sulthan Langkat.
Kemudian di Langkat ada Kedatukan Besitang, Kedatukan Cempa, Kedatukan Hinai, Kedatukan Padang Cermin, Kedatukan Padang Tualang, Kedatukan Pulau Kampai, Kedatukan Lepan dan Kedatukan Secanggang. Seorang Datuk berpangkat Kedatukan yang diangkat oleh Sulthan atas pilihan zuriat dari dasar keturunan datuk kedatukannya.
Kemudian ada perangkat kejuruan dan datuk, yakni qadi, setia usaha, bendahara, kepala balai (tiap kampung), penghulu adat (tiap kampung), satuan bentara (tiap kampung).
"Dan ada sejarah/adat sebutan dalam keluarga Langkat, yakni ulong/yung, ngah, slang, utih, andak, uda, anjang/entam, uncu dan cik," papar mantan Ketua PSSI ini.