Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BEBERAPA hari belakangan ini, media sosial (facebook) dihebohkan oleh pernyataan salah seorang putra Indonesia dari etnis Batak, Condrat Sinaga (selanjutnya CS). Setidaknya pernyataan CS yang melukai perasaan masyarakat Nias di seantero nusantara, yaitu masih berlaku hukum yang menghormati orang tua yang memberikan kepada orang tua yang terbesar ketika anak laki-laki menikah, istrinya perawannya dikasih sama bapaknya. Budaya Nias ini juga sangat rentan terhadap masuknya intervensi iblis, termasuk tari perang. Informasi ini diperolehnya dari salah seorang perempuan yang berprofesi sebagai “pendeta” di Kota Medan. Tidak ada yang memastikan apakah informasi tersebut benar dari sang “pendeta”, hanya CS yang tahu dan Sang Khalik.
Beberapa saat setelah pernyataan CS ini beredar di media sosial, masyarakat Nias, baik komunitas maupun individu melaporkan kepada pihak yang berwajib serta melakukan klarifikasi di berbagai media. Tidak sedikit yang mencela dengan umpatan dan sejenisnya. Juga banyak yang meneduhkan suasana dengan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Hingga tulisan ini diterbitkan, CS belum berani buka suara.
Stigma Lama
Tudingan seperti yang dilakukan CS telah berlangsung lama. Pada tahun 80-an ( 41 tahun) yang lalu, beberapa teman saya dari etnis Batak menanyakan tentang asal-usul orang Nias serta tradisi pernikahan. Ketika itu masih melekat dalam benak teman-teman di daratan Sumut bahwa orang Nias itu adalah keturunan “anjing”.
Entah dari mana mereka mendapatkan kisah semacam itu, saya pun tidak tahu persis. Saya pun teringat cerita orang tua bahwa pernah terjadi insiden di Gunungsitoli sekitar tahun 60-an berupa pengusiran etnis pendatang gara-gara ungkapan “keturunan anjing” kepada orang Nias. Untuk menghilangkan stigma tersebut, saya menyodorkan sejumlah catatan berupa pendapat para antropolog tentang asal usul orang Nias, termasuk mitos asal-usul orang Nias. Mereka pun memahami akan kekeliruan selama ini.
Hal berikut yang agak menggelikan kala itu adalah soal tradisi pernikahan masyarakat Nias. Tentu saja hal yang melekat dalam benak mereka adalah besaran jujuran yang identik dengan ratusan ekor babi. Perihal jujuran ini pun hingga sekarang masih tetap tersimpan dalam memori mereka.
Pengalaman, ketika saya istrahat pada salah satu rumah makan di Kota Balige pada pertengahan September 2021 ini, salah seorang yang sudah berusia sekitar 70-an tahun menanyakan, “Apakah besaran jujuran di Nias masih ratusan ekor babi?” Kala itu saya berusaha memberikan pemahaman tentang esensi jujuran (Nias: bõwõ). Orang tua itu pun mengaguk-aguk, pertanda mengerti (setidaknya menurut saya).
Selain besaran jujuran, yang mengejutkan adalah pernyataan teman-teman, yang kala itu masih berusia 19-20 tahun, persis seperti pernyataan CS. Dalam memori para sahabat saya ini masih tersimpan rapi bahwa pengantin perempuan (istri dari anak laki-laki) dipersembahkan kepada mertua laki-laki pada malam pertama.
Saya pun ingin tahu dari mana mereka mendapatkan informasi tersebut. Ternyata, dari cerita orang-orang tua mereka di kampung. Dugaan ini pun masih tetap melekat dalam memori sebagian teman-teman dari Tanah Batak. Hanya saja, kala itu media penyaluran sebatas “bisik-bisik”. Dapat dipastikan bahwa apabila kemajuan teknologi komunikasi seperti saat ini, tudingan semacam ini akan menghiasi media sosial.
Kasus MH Terulang Lagi
Pada tahun 2017, salah satu akun facebook dengan inisial MH menuliskan dalam statusnya bahwa terdapat ritual aneh dalam proses penikahan suku Nias, yaitu ayah pengantin pria yang menjalani malam pertama dengan pengantin wanita. Untuk menepis dugaan yang tidak beralasan tersebut, Pemuda Peduli Nias (PPN) Jakarta melaksanakan diskusi publik dengan mengundang narasumber (Dirjen Kebudayaan Kemdikbud, Prof Dr Hilmar Farid; Tokoh Masyarakat Nias di Jakarta, Firman Jaya Daeli SH MSi; Pendiri Musem Pusaka Nias, Pastor Johannes Hammerle OFM Cap; Akademisi Dr Sadieli Telaumbanua MPd MA; Praktisi Hukum yang juga menantu salah satu keluarga Nias, Dr Nuri Anita Sinaga SH MH).
Diskusi yang diikuti oleh tokoh masyarakat Nias dan beberapa undangan lainnya menghasilkan sebuah simpulan bahwa penyataan MH tersebut tidak dikenal dalam prosesi/tahapan adat pernikahan masyarakat Nias. Bahkan di wilayah Nias Barat, misalnya, pengantin wanita justru diantar ke rumah pengantin/orang tua laki-laki satu hari setelah pesta pernikahan.
Dalam acara pengantaran pengantin ini, masih terdapat acara adat sebagai ucapan syukur terselenggaranya pesta penikahan. Bahkan sebelum lancarnya transportasi darat di wilayah Kepulauan Nias, para pengantar ini menginap di rumah pengantin laki-laki.
Pada wilayah lain di Nias, terdapat acara pengantaran “roti/kue-kuean” kepada pengantin satu hari setelah pesta pernikahan. Beberapa hari kemudian (sesuai kesepakatan), orang tua perempuan berserta keluarga datang ke rumah besannya (rumah kedua pengantin) yang disebut (Nias: mame gõ) dengan membawa makanan lengkap dengan jambar (Nias: molõwõ).
Acara adat pun masih berlanjut dengan jamuan makan dan pemberian beberapa ekor babi (Nias: orifitõ) dan sejumlah uang sebagai penghormatan kepada ibu pengantin perempuan dan rombongannya. Setelah itu, beberapa hari kemudian pengantin laki-laki dan perempuan ditemani oleh keluarga berkunjung ke rumah pengantin perempuan dengan acara adat (Nias: famuli nukha; femanga gahe; dan istilah lainnya). Jadi, tahap pernikahan menurut adat Nias tidak berhenti pada pesta adat. Masih ada beberapa tahapan lagi yang wajib dilaksanakan oleh keluarga kedua pengantin.
Bertemali dengan dimensi religiusitas, setiap pengantin yang telah menyelenggarakan pesta adat, wajib diberkati di gereja yang disaksikan oleh warga jemaat dan keluarga kedua mempelai. Pemberkatan ini dapat dilaksanakan sebelum dan/atau sesudah pesta adat.
Dewasa ini, pemberkatan ini dilaksanakan sebelum pesta adat. Hal yang menarik lagi yaitu, kewajiban kedua mempelai beribadah ke gereja pengantin laki-laki (biasanya dua minggu berturut-turut) dan ke gereja pengantin perempuan. Kebiasaan ini masih berlangsung hingga saat ini, kendati ada beberapa penyesuaian menurut keadaan/kondisi kedua belah pihak.
Mencermati tahapan proses penyelenggaraan pesta adat pernikahan etnis Nias ini, masih adakah orang atau masyarakat, terutama saudara-saudara dari etnis lain, yang mengklaim bahwa terdapat ritual aneh dalam pernikahan suku Nias?
Apabila masih ada Saudara-saudara yang masih ragu dengan paparan para narasumber sebagaimana simpulan di atas dan/atau klarifikasi dari sejumlah elemen masyarakat Nias, sebaiknya lakukan kajian etnografis seperti JA Sonjaya (dosen UGM) yang menelurkan sebuah novel yang berjudul, Manusia Langit. Atau sebagaimana yang dilakukan oleh penelitian lain dari berbagai negara di dunia termasuk peneliti di Indonesia. Teman-teman yang menekuni ilmu humaniora dapat menggunakan pendekatan etnografi komunikasi sebagai paradigma penelitian.
Luapan Kesesatan Berpikir
Sepanjang usia ini tidak pernah saya menemukan kasus seperti tuduhan MH dan CS tersebut. Juga, dari hasil wawancara dengan sejumlah orang tua yang dilakukan sejak tahun 80-an, tiada satu pun terungkap dari mereka fenomena yang telah lama tersimpan dalam benak teman-teman dari etnis lain.
Etnis yang telah lama tinggal di Nias, seperti Aceh, Minangkabau, dan Cina dan telah berbaur dengan etnis Nias tidak pernah terdengar dari mereka tuduhan sebagaimana teman-teman dari luar Nias terkait pernikahan masyarakat Nias. Agak mengherankan apabila ada di antara kelompok masyarakat yang tidak pernah mengenal pernikahan adat Nias dan kebudayaan Nias lalu dengan penuh keyakinan mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan keadaan sesungguhnya. Bahkan mengarah pada penodaan budaya Nias.
Lalu, apa yang menyebabkan munculnya tudingan yang mendiskreditkan tatanan budaya etnis Nias seperti ungkapan MH dan CS tersebut?
Setidaknya ada beberapa penyebab sehingga munculnya kekeliruan persepsi. Pertama, gejala kesesatan berpikir yang merasuki sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Kesesatan ini ditandai dengan mudahnya mempercayai informasi yang belum terbukti kebenarannya. Sebagian masyarakat meyakini cerita atau narasi yang bertebaran di media sosial, termasuk informasi dari seseorang (pengakuan CS: mendapatkan informasi berupa tuturan seorang “pendeta” perempuan di Kota Medan).
Dampak dari kesesatan berpikir ini menghasilkan pernyataan yang sesat pula, yang bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya. Bahkan bermuaran pada penggeneralisasian kasus.
Kedua, ketidakhamonisan komunikasi di antara komunitas. Tidak dapat dimungkiri bahwa diskomunikasi di antara masyarakat semakin intens belakangan ini. Pertikaian kecil saja dapat merembes ke berbagai hal.
Kita masih ingat pertikaian antara Ibu Gea (pedagang sayuran di Pasar Gambir Medan) dengan Beny (preman pasar) di Pasar Gambir, Tembung yang diawali dengan tagihan atau setoran berlanjut pada penyebutan nama suku (Nias) lalu bermuara pada pertengkaran yang tidak seimbang (pria melawan wanita). Alhasil berdampak pada ketidakobjektifan bertindak.
Aparat penegak hukum pun mendapat ganjaran dari atasannya. Dan masih banyak kasus lain di negeri ini yang berawal dari komunikasi yang buruk di antara kelompok masyarakat.
BACA JUGA: Mengintip Capaian Pembangunan Manusia di Kepulauan Nias
Ketiga, endapan memori jangka panjang yang berisikan informasi sesat. Tudingan atau tuduhan etnis lain terhadap prosesi pernikahan etnis Nias sebagaimana digemakan lagi oleh MH dan CS telah lama berembus. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi sesat ini telah mengendap lama dalam memori jangka panjang masyarakat non-Nias.
Ketika komunitas masyarakat Nias menjadi objek atau subjek perselisihan/pertikaian, informasi sesat tersebut muncul ke permukaan. Oleh karena telah dicengkram oleh emosi ditambah lagi dengan rangkulan sesat pikir dan diskomunikasi, semua hal-hal yang tergolong negatif termasuk informasi sesat pun bermunculan. Mulut pun bergerak membunyikannya.
Soal dampak, yah tidak lagi jadi pertimbangan. Tentu saja masih banyak penyebab lainnya. Dalam kasus tudingan MH dan CS ini perlu dilakukan penelusuran yang memadai. Dengan adanya informasi yang akurat, kita dapat menghadirkan solusi agar tidak ada lagi MH dan CS lain yang menuduh sembarangan tanpa bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebuah Refleksi
Berdasarkan analisis sementara (boleh saja saya keliru), banyak masyarakat Nias yang merantau di daerah lain di Indonesia dengan bekal pengetahuan seadanya. Pada saat mereka dihadapkan pada persoalan budaya atau tradisi, sering terjadi kemacetan bertutur. Alhasil, mereka pun kadang tidak mampu menjelaskan budaya nenek moyangnya sendiri. Hal ini dapat menambah kerunyaman endapan informasi sesat yang pernah dimiliki oleh etnis lain tentang Nias.
Para pemuda Nias yang merantau dan menekuni pekerjaan pada sektor informal, sering berkisah tentang Nias agar mendapatkan belas kasihan. Tidak sedikit di antara mereka yang bercerita tentang budaya dan tradisi Nias yang bertolak belakang dengan keadaan sebenarnya.
Selain sebagai upaya memelas juga karena ketidaktahuan akan hakikat budaya dan tradisi nenek moyang orang Nias. Informasi tentang prosesi pernikahan suku Nias, misalnya, diduga didapatkan oleh etnis lain berdasarkan tuturan orang Nias sendiri. Kemungkinan besar puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu salah seorang atau beberapa orang dari suku Nias bercerita yang aneh-aneh tentang tradisi pernikahan di Nias.
Biasanya, hal-hal yang sifatnya nyeleneh mudah diendapkan bahkan juga akan diteruskan dari generasi ke generasi. Informasi inilah yang kemungkinan mengendap dalam memori saudara-saudara kita di daratan Sumut.
Penutup
Oleh karena itu, agar informasi sesat ini dapat terhapus dalam ingatan jangka panjang etnis lain perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, perlu dihangatkan kembali dalam ingatan masyarakat tata cara pernikahan suku Nias dengan berbagai variannya. Peran Dinas Pendidikan atau yang menangani kebudayaan perlu melakukan berbagai program dan kegiatan tentang ini.
Kedua, masyarakat atau pemuda yang sedang merantau di luar Nias agar memberi informasi yang benar tentang Nias dan spektrumnya. Perlu menghindari gaga-gagahan pemberian informasi tentang tradisi nenek moyang Nias jika hal tersebut tidak dipahami dengan pasti.
Ketiga, perlu dibina keharmonisan dengan komunitas lain di mana pun kita berdomisili. Dengan demikian stigma negatif tentang Nias berangsur-angsur terkikis dalam memori komunitas lain.
Apabila hal ini dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh, dapat dipastikan bahwa ungkapan yang menyesatkan serta menodai budaya leluhur etnis Nias tidak akan terulang.
Semoga saudara-saudara kita yang beretnis lain tidak gampang bertutur tentang tradisi atau budaya orang lain, termasuk Nias jika tidak ada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, moral, sosial, dan spiritual.
====
Penulis Dosen LLDikti Wilayah I dpk pada Universitas Prima Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]