Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan putusan MK kerap meminta DPR untuk merevisi sebuah UU. Meski tidak diatur secara tegas dalam hukum acara MK, namun hal itu terpaksa dilakukan untuk melindungi hak-hak konstitusional warga Indonesia.
"Bahkan ada pula Putusan MK yang dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk untuk mengubahnya," ucap Anwar sebagaimana dikutip dari website MK, Minggu (7/11/2021).
Hal itu disampaikan dalam peresmian Unej Law Integrated Legal Edu dan Pemanfaatan Smartboard Mini Courtroom di Universitas Jember, Sabtu (6/11) kemarin. Di Indonesia, perkembangan Hukum Acara MK melalui praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan oleh MK. Hal ini, telah dilakukan oleh hakim konstitusi pada generasi awal hingga saat ini.
"Perkembangan tentang Hukum Acara MK melalui praktik dan putusan, sesungguhnya bukan merupakan kehendak MK, melainkan untuk mengisi kekosongan hukum di dalam praktik, dan bahkan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara," kata Anwar Usman.
Anwar memberikan contoh saat pertama kali MK berdiri. Terdapat satu norma yang melarang bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dilaksanakan (Perubahan UUD 1945 pada 1999-2002). Ketentuan norma ini tentu berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif.
"Namun, ketentuan norma ini bertentangan dengan semangat dibentuknya MK yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara dari berlakunya suatu UU yang bertentangan dengan UUD," ujar Anwar.
Padahal, UU yang lahir sebelum dilakukannya Perubahan UUD 1945, tidak tertutup kemungkinan juga melanggar hak konstitusional warga negara.
"Jika keberlakuan norma ini tetap ada, tentu saja dalam hukum acara pengujian undang-undang, ketentuan ini menjadi syarat formil bagi Pemohon untuk melakukan pengujian undang-undang. Oleh karena itu, sejak 2004 norma ketentuan pasal ini telah dibatalkan oleh MK, melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004," tegas Anwar.
Hal lain yang cukup penting dalam proses hukum acara pengujian undang-undang (PUU) di MK adalah menyangkut kedudukan hukum Pemohon. Meski Pasal 51 UU MK telah diatur siapa saja pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam perkara PUU, namun perkembangan syarat konstitusional bagi Pemohon berkembang dalam Putusan-Putusan MK.
"Sejak 2004 MK telah mengembangkan syarat konstitusional Pemohon tersebut, sebagai terjemahan dari Pasal 51 UU MK," ucap Anwar.
Setidaknya, ada tiga yurisprudensi MK yang menjadi sumber rujukan bagi putusan menyangkut syarat konstitusional bagi Pemohon. Yaitu Putusan 003/PUU-I/2003, Putusan 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007. Begitu pula halnya terhadap format putusan MK. Meski UU MK hanya mengatur tiga varian bentuk amar putusan MK yakni tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan.
"Namun dalam perkembangannya terdapat Putusan MK yang bersifat bersyarat yakni putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional," beber Anwar.
"Bahkan ada pula Putusan MK yang dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya memberikan pesan kepada pembentuk UU untuk untuk mengubahnya. Juga masih banyak varian lain dalam hukum acara PUU lainnya yang merupakan perkembangan dari Putusan MK. Termasuk Hukum Acara MK tentang PUU yang baru, sebagaimana diatur di dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021," ucap Anwar menegaskan.
Untuk diketahui, beberapa putusan MK yang meminta DPR merevisi UU adalah batas usia pernikahan dalam UU Perkawinan. Pada putusan yang diketok pad 2018, MK menyatakan batas pernikahan anak perempuan 16 tahun adalah inkonstitusional. MK memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan paling lama 3 tahun sejak hari ini.
"Memerintahkan kepada pembentuk UU untuk dalam jangka waktu paling lama tiga tahun, melakukan perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khusus yang berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi anak," ujar Ketua MK Anwar Usman.
Belum sampai 3 tahun, DPR sudah merevisi UU Perkawinan dan membuat syarat minimal menikah adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam kesempatan itu, Anwar Usman juga meresmikan kompleks Unej Law Integrated Legal Edu. Fasilitas yang ada di kompleks itu adalah Ruang Peradilan Semu baik MA maupun MK, Kantor Mini Law Office, Mini Court Room MK, Ruang Konferensi, Ruang Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi), Ruang Pusat Kajian Hukum Perbankan (Pukatbank). Dan menyusul ruang laboratorium cyber law, ruang mediasi dan arbitrase, ruang penyelesaian perkara persaingan usaha, dan ruang pusat kajian edukasi anti korupsi dan pencucian uang.
"Seluruh fasilitas ini tidak hanya dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh mahasiswa, dosen dan Tendik namun juga oleh para profesional hukum/masyarakat umum mengingat di fasilitas ini berbagai Pendidikan kemahiran hukum akan diselenggarakan tentunya kerjasama dengan Lembaga negara/pemerintah maupun asosiasi profesi," kata Dekan FH Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono.(dtc)