Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Proses penanganan perkara dugaan penggunaan surat palsu dengan tersangka Exsan Fensury yang berkasnya masih dikembalikan jaksa peneliti dari Kejati Sumut ke penyidik Polda Sumut yang dianggap belum cukup bukti, membuat pihak korban, geram.
C Suhadi selaku kuasa hukum korban Alexleo Fensury mengatakan sikap jaksa yang hingga saat ini masih berkeyakinan bahwa tindakan tersangka yang menandatangani dokumen RUPS yang belum disahkan itu belum menimbulkan kerugian kepada korban, itu adalah pemikiran salah.
Menurut Suhadi yang juga Ketua Umum (Ketum) Negeriku Indonesia Jaya (Ninja) yang merupakan salah satu Relawan Kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019 ini, frasa dalam Pasal 263 ayat 2 KUHPidana yang disangkakan kepada tersangka Exsan mengandung kata 'baru akan'. Kata 'baru akan' menurut Suhadi sudah bagian menimbulkan kerugian.
"Jadi gini, dari hasil gelar perkara terakhir dilakukan, JPU atau katakanlah Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejatisu masih mencari dimana letak kerugiannya dan apa salahnya penandatangan itu. Itu menurut saya adalah pemikiran yang kurang tepat. Kenapa, karena menandatangani itu sudah mendatangkan kerugian kok. Kerugian dalam hukum pidana itu, prasa 'baru akan' itu sudah masuk kerugian," ucap Suhadi, Jumat (26/11/2021) petang.
Advokat senior asal Jakarta ini menilai dengan menandatangani dokumen itu, sudah ada kerugian yang terjadi dalam konteks hukum. Tetapi, tolak ukurnya bukan seperti kerugian benda misal uang yang hilang.
"Jadi harus dibedakan antara kerugian dalam perkara perdata serta pidana," ucapnya.
Kemudian, kata dia, kasus ini jangan dilihat dalam perspektif pada hukum perdata apa kerugiannya, pastinya tidak akan nyambung.
"Maka Jangan dilihat dari hukum perdata apa kerugiannya, bisa tidak diuraikan, gak boleh, tidak benar itu. Karena hukum pidana adalah kebenarannya materiil, sebab dalam hukum pidana bukan mencari kerugian yang nyata seperti asumsi Aspidum, akan tetapi mencari unsur dari perbuatan pidananya dan kerugian bagian dari unsur. Dan oleh karenanya, seperti kita ketahui kasus pidana hanya mengutamakan hukuman badan, bukan hukuman ganti rugi uang," ungkapnya.
Ia mengatakan, berkaitan dengan penandatanganan, tidak bisa begitu saja dikatakan bahwa penandatanganannya sah.
"Sebab, dokumen yang ditandatangani oleh tersangka adalah bukan dokumen asli, melainkan masih dalam bentuk foto copy. Yang aslinya hingga sekarang belum ditanda tangani," terang Suhadi, juga menyebut kasus yang menjerat tersangka tersebut, tidak boleh dipandang dari perspektif hukum perdata.
Dalam kasus ini, lanjutnya, perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka ditentukan dalam hukum pidana, yaitu Pasal 263 Ayat 2 berkaitan dengan dugaan penggunaan surat palsu. sebab dokumen yang digunakan tersangka bukanlah dokumen yang sah.
"Atas dasar alasan itulah, saya minta Kejati agar hukum harus ditegakkan, dan untuk kepentingan itu, sekarang saya sedang mengajukan perlindungan hukum ke semua instansi, karena saya juga tidak mau bila kasus ini dibiarkan, persoalan ini menjadi preseden buruk kedepannya," tegasnya.
Terpisah, Aspidum Kejati Sumut Sugeng Riyanta ketika dikonfirmasi mengatakan agar menanyakan langsung perkara tersebut ke Kasi Penkum Kejati Sumut.
"Silahkan konfirmasi ke Kasi Penkum ya, satu pintu lewat Humas Kejatisu," jawab Aspidum Kejatisu Sugeng Riyanta via WhatsApp, Jumat malam.
Sementara itu, Kasi Penkum Yos Arnold Tarigan mengatakan bahwa berkas perkara tersebut sudah dikembalikan ke penyidik Polda Sumut.
"Informasi tadi kita tanyakan ke bidang Pidum Kejatisu, kita ketahui bahwasanya terhadap perkara tersebut sudah di kembalikan yakni P19, dan penyidik diberikan petunjuk oleh jaksa peneliti untuk dilengkapi formil dan materiilnya untuk dilengkapi oleh penyidik, sehingga berkas perkara dikembalikan ke penyidik Polri yakni Polda Sumut," pungkasnya.