Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Dairi. Komisi Nasional Hak Azaasi Manusia (Komnas HAM) akan turun ke Kabupaten Dairi, Sumatra Utara mengusut dugaan pelanggaran HAM di areal konsesi perusahaan pertambangan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik saat jadi pembicara dalam dialog publik yang digelar Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) dan Petrasa, bersama pemuda dan warga sekitar areal tambang PT DPM, di aula Hotel Mutiara, Jalan Parluasan, Sidikalang, Dairi, Selasa, (14/12/ 2021).
Dialog publik yang bertema “Pelanggaran HAM di Areal Konsesi PT Dairi Prima Mineral" itu digelar dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember. Juga dihadiri warga Sileu-leu Parsaoran, Kecamatan Sumbul yang saat ini sedang berjuang atas kehadiran PT Gruti (Gunung Raya Utama Timber Industries).
Kata Ahmad Taufan Damanik, Komnas HAM sudah memanggil pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait laporan dugaan pelanggaran HAM yang disampaikan warga.
"Juga akan menurunkan tim untuk melakukan investigasi untuk mengusut pelanggaran HAM di areal konsesi PT DPM pada bulan Januari 2022," kata Ahmad Taufan yang hadir secara zoom.
Dalam paparannya, Ahmad Taufan mengatakan, Komnas HAM menerima ratusan pengaduan pelanggaran HAM di berbagai sektor, di antaranya perkebunan baik milik pemerintah dan swasta, infrastruktur yang dikerjakan oleh Kementerian PUPR dan BUMN, dan sektor pertambangan.
"Banyak pengaduan dari warga atas klaim konflik sumber daya alam dan kasus pencemaran lingkungan yang mengakibatkan hilangnya ruang hidup warga," kata Ahmad.
Disebutkannya, penegakan, penghormatan dan perlindungan HAM di Indonesia terkait konflik sumber daya alam masih menjadi persoalan yang belum tuntas. Kerap sekali aparat penegak hukum justru digunakan memukul balik masyarakat yang melakukan penolakan atas investasi.
Masyarakat ditangkap, digusur, dikriminalisasi dan diintimidasi karena mempertahankan ruang hidupnya, walau sebenarnya hal itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Karena apa yang dilakukan masyarakat memiliki sebab akibat untuk mempertahankan hak dan ruang hidupnya.
"Seharusnya aparat keamanan menempatkan diri dengan prinsip imparsial atau tidak memihak dan mengendepankan prinsip-prinsip penegakan dan perlindungan HAM," ucapnya.
Turun ke Lapangan
Narasumber lainnya, Koordinator Jatamnas, Merah Johansyah menyampaikan, sebaiknya Komnas HAM tidak hanya melakukan pendekatan sektoral dan harus turun ke lapangan melakukan invetigasi langsung, serta mendesak KLHK untuk tidak melanjutkan proyek ini, karena berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat.
Lebih lanjut dijelaskannya, ekspansi tambang semakin besar dan meluas demi memenuhi gaya hidup kapitalistik dan didukung penuh oleh "perkawinan" mesra antara negara dengan korporasi. Misalnya kebijakan yang dianggap sia-sia dengan status hutan lindung, tetapi justru di peruntukkan untuk kawasan konsesi tambang.
Pelanggaran HAM dalam Industri ekstraktif dimensinya luas, karena akan mengancam ruang sosial, budaya, ekologi, sumber air, sungai, tanah dan hutan disekitar masyarakat yang merupakan bagian hak dasar atau HAM.
"Hampir 44 persen daratan di Indonesia saat ini sudah dikapling menjadi areal konsensi tambang. Hal ini adalah kejahatan atau pelanggaran HAM berat yang akan kita hadapi ke depan di seluruh pelosok nusantara," sebutnya.
Veryanto Sitohang dari Komnas Perempuan menyebutkan, pengaduan warga atas pelanggaran HAM di areal konsesi tambang PT DPM sudah masuk daftar pengaduan Komnas Perempuan yang akan segera ditindaklanjuti.
"Saat ini kami sedang menyelesaikan laporan kunjungan lapangan pada bulan November lalu di beberapa desa di sekitar areal tambang PT. DPM," kata Veryanto.
Dijelaskannya, Komnas perempuan menemukan ada beberapa catatan, di antaranya masyarakat tidak mendapatkan ganti rugi yang adil, informasi kegiatan tambang yang sangat minim, hilangnya ruang hidup warga yang menimbulkan kemiskinan baru, kekerasan dan keterlibatan aparat keamanan dan juga sikap Pemda yang apatis terhadap kasus PT DPM dan menganggap tidak ada persoalan dengan hadirnya pertambangan.
Perempuan menjadi kelompok yang sangat rentan menjadi korban konflik sumber daya alam dengan potensi hilangnya sumber air, misalnya juga yang merupakan hak dasar perempuan dan keterlibatan perempuan yang tinggi di dalam ranah domestik dan kedekatannya dengan sumber daya alam.
:Temuan ini akan menjadi catatan akhir tahun Komnas perempuan di tahun 2022. Komnas Perempuan akan melakukan beberapa kajian termasuk Undang-undang Cipta Kerja, kajian perampasan SDA, dan mengawal rancangan Undang-undang masyarakat adat," paparnya.
Dalam dialog tersbeut, beberapa pelanggaran HAM disampaikan warga dan pemuda masyarakat lingkar tambang. Ramadhan Sidabutar, pemuda Desa Bonian menyampaikan, saat sosialisasi PT DPM di desanya pada 2-3 November lalu, ia mengalami intimidasi dari pihak perusahaan an aparat desa. Dirinya disebut sebagai provokator, karena mempertanyakan apa dampak kerugian yang ditimbulkan oleh PT DPM ke depan.
Rinawati Sinaga dari Desa Bongkaras juga mengalami intimidasi dari kepala desa dengan mengatakan bahwa dirinya belum tertera di buku besar Kabupaten Dairi. Lolo Boangmanalu menyampaikan, dia dan salah satu adiknya dituduh mencuri mobil PT DPM, dimana mobil tersebut, justru menabrak dinding rumah mereka.
Mereka ditangkap dan diperlakukan seperti pengedar narkoba. Ibunya boru Bako mengaku bahwa lahan mereka juga diserobot dan sampai hari belum ada kejelasan penyelesaiannya.
Kasus pelanggaran HAM lainnya dialami salah satu warga Desa Longkotan, Dusun Sopokomil, yang melakukan aksi protes atas pembangunan TSF yang hanya berjarak 10 meter dari rumah orang tuanya. Dia mengaku mengalami kekerasan fisik saat mencoba menghentikan aktivitas alat berat di lokasi TSF yang sangat mengganggu kenyamanan keluarga mereka dan menyebabkan rumah mereka sampai retak.
Tidak cukup sampai di situ, keluarga Nia Sihaloho juga diadukan oleh pihak perusahaan ke Polsek Parongil dengan tuduhan memasuki kawasan perusahaan PT DPM.
Persoalaan yang di hadapi keluarga ini sudah berungkali di sampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Dairi, namun sampai saat ini tidak ada respon sama sekali.
Sarah Naibaho dari YDPK menceritakan bahwa mereka juga mengalami intimidasi dan upaya-upaya pembungkaman bahkan pengusiran oleh sekelompok OKP pendukung tambang PT DPM pada 29 November 2021.