Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Wamenkumham Prof Dr Eddy OS Hiariej SH MH ternyata setuju agar konsumen prostitusi artis juga dipidana. Hal itu disampaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum ia menjadi Wamenkumham.
Pendapat itu diutarakan saat Eddy menjadi ahli untuk muncikari artis Robby Abbas. Di mana Robby dihukum 16 bulan penjara di kasus muncikari artis dengan dikenakan pasal 296 KUHP pada 2015 lalu.
Robby tidak mau masuk penjara sendirian. Ia juga berharap konsumen yang menikmati artis yang ia jajakan juga masuk penjara. Namun, Robby terbentur pasal 296 KUHP dan Pasal 506 yang hanya memidanakan muncikari, penikmatnya tidak bisa dipenjara. Pasal itu berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 506:
Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Robby kemudian meminta Eddy menjadi ahli untuk mendukung idenya. Eddy setuju dengan isu yang diajukan Robby.
"Berdasarkan hal-hal yang telah ahli uraikan di atas, adapun kesimpulannya bahwa Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP bertentangan dengan kepastian hukum dan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, kecuali pasal-pasal a quo juga dimaksudkan untuk menjerat mereka yang berbuat cabul," demikian bunyi pendapat Eddy yang dikutip dari putusan MK, Minggu (2/1/2022).
"Pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP) selain bersifat diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum, pasal-pasal ini juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan secara sosiologis bertentangan dengan adat ketimuran maupun norma-norma yang ada dalam agama-agama yang dianut di Indonesia, dan oleh karenanya pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP) harus dinyatakan tidak berlaku atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," sambung Eddy.
Berikut penjelasan Eddy selengkapnya:
Pertama, bahwa hukum pidana pada dasarnya memiliki 2 fungsi, yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana adalah untuk menjaga ketertiban umum, sedangkan fungsi khusus hukum pidana, selain melindungi kepentingan hukum juga memberi keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum. Terkait fungsi khusus hukum pidana (pertama) yaitu melindungi kepentingan hukum, maka yang dilindungi tidak hanya kepentingan individu tetapi juga kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Oleh sebab itu, dalam KUHP ada pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan negara. Demikian juga dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang berhubungan dengan kejahatan terhadap kepentingan umum sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat.
Selanjutnya fungsi khusus hukum pidana yang kedua yaitu memberi keabsahan kepada negara dalam rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum. Jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan hukum negara, masyarakat dan atau individu, maka dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, negara dapat menjalankan alat-alat kekuasaannya untuk memberi perlindungan terhadap kepentingan hukum yang dilanggar. Dapat dikatakan bahwa fungsi khusus hukum pidana yang memberi keabsahan kepada negara untuk menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum adalah dalam konteks hukum pidana formil.
Kedua, dalam rangka menjalankan salah satu fungsinya, yaitu untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat, maka hukum pidana harus sesuai dengan norma dan keadaan setempat. Ahli memandang perlu menjelaskan perihal interpretasi. Every legal norm needs interpretation. Demikian pernyataan Macteld Boot yang berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan interpretasi. Senada dengan Boot adalah van Bemmelen dan van Hattum yang secara tegas menyatakan, "Elke gesch revenwet geving behoeft interpretatie" (Setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan interpretasi). Demikian pula Remmelink yang berpendapat bahwa sekalipun rangkaian kata-kata yang ditemukan dalam hukum pidana diberi bobot lebih berat dibandingkan dengan hukum keperdataan dan penerapan analogi tidak diterima dalam hukum pidana, pakar hukum pidana, terutama hakim pidana, tidak mungkin menerapkan perundang-undangan tanpa menggunakan penafsiran. Sementara Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.
Salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang-undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum. Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau. Dalam konteks hukum pidana, interpretasi historis atau historia legis memiliki peranan yang penting. Konsekuensinya, travaux preparatories menjadi urgen dalam penemuan hukum.
Dengan berdasarkan interpretasi historis, harus diakui, bahwa pasal- pasal yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut disusun dalam suasana kebatinan kolonialisme dan penjajahan Belanda. Sehingga, pasal- pasal dalam KUHP tersebut lebih ditujukan untuk melindungi kepentingan kolonial. Berkaitan dengan Pasal 296 KUHP yang berada di bawah Bab "Kejahatan Terhadap Kesusilaan", di sini tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Menurut sejarahnya, ketentuan Pasal 296 KUHP ini digolongkan sebagai delik gabungan atau yang disebut dengan istilah samengestelde. Disebut sebagai samengestelde delic atau yang menurut van Hamel disebut dengan kolektief delict, oleh karena pasal tersebut menghendaki bukan hanya satu perbuatan yang harus terjadi melainkan beberapa perbuatan, atau setidaknya satu perbuatan yang terjadi berulang kali. Secara objektif, delik gabungan ini terlihat dari perbuatan-perbuatan pelaku yang relevan satu sama lain, sedangkan secara subjektif delik gabungan tersebut memperlihatkan motivasi dari pelaku van Hamel menyebutkan samengestelde delic sebagai collectieve delict.
Ketentuan Pasal 296 KUHP ini secara ekplisit berbunyi bahwa Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah". Dengan konstruksi pasal yang demikian, maka memudahkan perbuatan cabul, jika hanya sekali dilakukan, bukanlah suatu perbuatan pidana. Tindakan tersebut baru merupakan perbuatan pidana jika dilakukan terus-menerus dan menjadikannya suatu kebiasaan. Berdasarkan pasal tersebut ada beberapa catatan Penulis: Pertama. delik gabungan membutuhkan lebih dari satu kali perbuatan. Kedua, sekali perbuatan saja dalam delik gabungan belum dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Ketiga, jika perbuatan-perbuatan tersebut sering atau selalu dilakukan sebagai suatu kebiasaan barulah merupakan delik gabungan yang dijatuhi pidana.
Kembali kepada analisis yuridis ahli, yaitu yang ketiga, ketentuan Pasal 296 KUHP ini dapat dikualifikasikan sebagai suatu rumusan delik yang bersifat diskriminatif. Mengapa demikian? dasar argumentasinya adalah karena pasal a quo hanya mempidanakan orang yang "memudahkan" perbuatan cabul, sedangkan terhadap orang yang "melakukan" pencabulan itu sendiri tidak diancam dengan Pasal 296 KUHP. Sedangkan, dalam hubungan tanpa perkawinan yang sah di mana terjadi suatu hubungan intim antara dua orang atau lebih, selama mereka (pelaku perbuatan hubungan intim tersebut) tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan (baik salah satu pelaku maupun seluruh pelaku hubungan intim tersebut) maka juga tidak dapat diancam dengan pidana. Hal yang demikian memperlihatkan kebudayaan barat sangat terlihat jelas dalam pasal 296 KUHP.
Keempat, bahwa berdasarkan interpretasi tradisional yakni suatu interpreter menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku dalam tradisi hukum Terkait pencabulan, bahwa perbuatan cabul yang dilakukan tanpa ikatan perkawinan yang sah, pada dasarnya tidak sesuai dengan adat-adat ketimuran, apalagi jika dilihat dalam kcnteks Bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat setempat sebagai suatu hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya ketentuan Pasal 296 KUHP ini dapat dikatakan sebagai ketentuan yang out of date atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman, atau tidak sesuai lagi dengan tatanan kehidupan masyarakat setempat, karena ancaman pasal 296 KUHP ini hanya terhadap orang yang mempermudah perbuatan cabul itu saja, tidak termasuk terhadap pelaku pencabulan itu sendiri.
Kelima, senada dengan ketentuan Pasal 296 adalah Pasal 506 KUHP, yang menyatakan:
Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun".
Dengan konstruksi pasal yang demikian, menurut Ahli konstruksi Pasal 506 KUHP ini memiliki konstruksi yang hampir sama dengan Pasal 296 KUHP di atas, yaitu sebagai delik gabungan. Perbedaan kedua rumusan pasal tersebut adalah: Jika Pasal 296 KUHP, orang yang diancam pidana adalah orang menyebabkan atau sebagai perantara atau sebagai yang memudahkan terjadinya perbuatan cabul, sedangkan pada Pasal 506 KUHP, orang yang diancam pidana adalah orang yang mendapat keuntungan dari terjadinya perbuatan cabul tersebut, baik keuntungan itu didapatkannya secara langsung maupun tidak langsung. Namun pada intinya, baik substansi Pasal 296 KUHP maupun Pasal 506 KUHP tidak sesuai dengan adat-adat ketimuran, di mana orang yang melakukan pencabulan (baik perempuan ataupun laki-laki) tidak dipidana, sedangkan orang yang memudahkan perbuatan cabul itu justru yang dipidana.
Pada dasarnya, sebagaimana interpretasi tradisional tersebut di atas, hakikatnya perbuatan yang dilarang tersebut adalah perbuatan cabulnya. Adapun ketentuan Pasal 296 KUHP ini justru sebaliknya, yang memudahkan terjadinya perbuatan cabul dipidana, sedangkan yang melakukan perbuatan cabul itu sendiri tidak dipidana. Oleh karenanya dapat dikatakan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP ini tidak sesuai atau tidak memberikan pemenuhan terhadap asas equality before the law, karena telah secara diskriminatif. Orang yang melakukan perbuatan cabul sebagai suatu perbuatan terlarang secara norma yang berlaku di masyarakat Indonesia itu tidak dipidana, sedangkan orang yang hanya memudahkan terjadinya perbuatan cabul atau menarik keuntungan dari terjadinya perbuatan cabul tersebut justru dipidana.
Keenam, berdasarkan interpretasi menyelaraskan atau harmoniserende interpretatie (Interpretasi ini digunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang- undangan lainnya yaitu suatu interpretasi yang menyesuaikan bunyi suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya, atau peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum lainnya menyelaraskan atau harmoniserende interpretatie. Interpretasi ini digunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang- undangan lainnya.
Ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP ini pada dasarnya dapat dikatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dasar argumentasinya adalah karena dalam undang-undang pornografi telah mengatur adanya larangan tidak hanya terhadap mereka yang berbuat cabul dan ditampilkan di depan umum, tetapi juga orang yang mempermudah perbuatan cabul, hanya saja berdasakan undang-undang ini perbuatan mempermudah tersebut harus melalui suatu media, misalnya media sosial atau sarana elektronik. Jadi, ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP ini selain secara hirearkhis bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945, khususnya karena tidak menjamin kepastian hukum dan bersifat diskriminatif (bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang harus hidup dalam suatu ketentuan hukum), juga bertentangan dengan undang-undang lainnya yang sederajat, yaitu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 temang Pornografi.
Ketujuh, berdasarkan argumentasi-argumentasi ahli di atas, maka menurut ahli, ketentuan Pasal 296 KUHP dan ketentuan Pasal 506 KUHP ini tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip yang hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran, sehingga kedua ketentuan layak untuk dibatalkan. Jika tidak dibatalkan, paling tidak harus diterjemahkan bahwa yang dapat diancam pidana tidak hanya orang yang mempermudah dan menarik keuntungan dari perbuatan cabul, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan cabul itu sendiri, dengan menggunakan pidana yang sama.
Bahwa apabila menggunakan interpretasi sistematis, yaitu interpretasi yang melihat satu ketentuan perundang-undangan dengan ketentuan perundang- undangan lainnya, maka apabila kita menggunakan perspektif hukum Islam, perbuatan cabul itu adalah suatu perbuatan yang dilarang dan ada ancaman dosa bagi yang melakukannya. Sehingga dapat dinilai bahwa dalam perspektif hukum islam (dengan menggunakan metode perbandingan hukum atau metode komparatif), hal ini (perbuatan cabul) jelas dilarang dan diancam dengan pidana bagi pelakunya.
Tidak dipungkiri, bahwa konsep perzinahan antara hukum Islam dengan hukum Barat sungguh jauh berbeda secara prinsip. Dalam perspektif hukum Islam, orang yang melakukan suatu hubungan intim dengan orang lain yang bukan merupakan pasangannya yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, maka perbuatan yang demikian sudah dapat dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan. Berbeda dengan perspektif hukum Barat, yang jauh dari adat ketimuran, yang mana seseorang baru dapat dikatakan melakukan kejahatan zina. apabila seseorang tersebut melakukan suatu hubungan intim dengan orang lain yang bukan merupakan pasangannya yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, dan ditambah dengan syarat bahwa pada saat yang sama, seseorang atau pasangan hubungan intimnya tersebut harus terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah. Artinya, orang yang melakukan suatu hubungan intim dengan orang lain yang bukan merupakan pasangannya yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, bukan merupakan kejahatan apabila salah satu atau keduanya dari kedua orang yang melakukan hubungan intim tersebut tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.
Tapi harapan itu kandas. MK menolak permohonan itu seluruhnya. MK beralasan apa yang dikehendaki Robby bukanlah kewenangan MK untuk memutuskan, tetapi hak DPR untuk merumuskan delik tersebut.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Persoalan hukum yang dipermasalahkan Pemohon adalah kebijakan kriminal dalam arti menjadikan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana dimana kebijakan demikian adalah politik hukum pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," beber 9 hakim konstitusi dengan bulat.(dtc)