Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SIAPA yang tak kenal Danau Toba? Tak berlebihan bila keindahannya bak sejumput tanah surga yang jatuh ke bumi. Apalagi di kawasan lingkar memang ada hutan dengan nama Taman Eden 100. Tapi siapa sangka, kawasan tersebut dulunya pernah terancam tandus.
Mengawali kesehariannya, pagi itu, Marandus Sirait (54) mulai menata tepian Sungai Lumban Rang. Di genggamannya, sejumlah bibit pohon siap ditanamkan sepanjang tepi sungai yang membelah kawasan Desa Si Onggang Utara, Lumban Julu, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Sesekali, rambut peraknya memantulkan cahaya mentari pagi, asri berpadu jernih aliran sungai yang berhulu beberapa air terjun dan bermuara ke Danau Toba.
Jernihnya air Sungai Lumban Rang mencerminkan kawasan hulunya pasti terawat. Adalah Taman Eden 100, areal seluas kurang lebih 50 hektar yang dipenuhi ratusan jenis flora, sebagai daerah aliran sungai.
Hutan taman di Desa Si Onggang Utara, Kecamatan Lumban Julu ini, sebenarnya berimpit dengan kawasan hutan negara. Namun hijaunya beda, hingga yang merawatnya pernah dianugerahi Piala Kalpataru pada 2005.
Siapa dia kalau bukan pria, yang saat dijumpai di pengujung tahun lalu, hanya bercelana pendek. "Senang saja menanam pohon. Senang karena terbebani dengan lingkungan, bahwa penebangan hutan di kawasan Danau Toba sangat tajam, tetapi sangat sedikit yang menanam. Melihat kondisi itu, pada awal 1996 saya harus bertindak nyata untuk Danau Toba. Saya memutuskan untuk memulai menanam pohon secara kontinyu sejak 1999," kisah Marandus Sirait , sesekali membetulkan letak kacamatanya.
Marsipature Hutanabe
Ya, sekitar 25 tahun lalu, kampung halamannya hanyalah kawasan gersang nan tandus. Dulu itu, jangan membayangkan rimbunnya hutan, untuk bercocok tanam palawija saja, sedikit sekali warga yang mau melakukannya. Bahkan, ilalang pun seolah enggan hidup di sana.
Jauh dari Danau Toba yang tengah meratap itu, seperti kebanyakan Orang Batak, Marandus hidup di perantauan. Sama sekali tak salah, jika ia mencoba peruntungan jauh dari kampung halaman. Hingga suatu saat, ia tergugah akan program pemerintah di masa kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar. Marsipature Hutanabe, adalah seruan Sang Gubsu mengajak para perantau untuk membenahi kampung halaman.
"Seruan itu sangat inspiratif, termasuk bagi saya sendiri yang saat itu masih merantau dan sudah memiliki pekerjaan tetap. Saya ikuti seruan itu, karena saya yakini merupakan peta jalan mengatasi kemiskinan dan memerangi kerusakan alam,” ujar pria yang pernah tinggal di Jakarta itu.
Tekadnya kembali membangun kampung halaman bukan tanpa aral. Banyak cemoohan diterimanya, tatkala ia meninggalkan pekerjaan tetapnya di ibukota. Ia bahkan sempat stres dan masuk rumah sakit.
Hal paling menyakitkan baginya ketika usahanya malah dituding menyalahgunakan hutan negara. Padahal, Marandus semata ingin melestarikan hutan dan tetap bekerjasama dengan pemangku amanah hutan negara.
Tak hanya cemoohan, tantangan terberat sebenarnya adalah mencocokkan tekstur tanah dengan tanaman agar ideal.
"Menyiasatinya harus terus belajar dari pengalaman dan langsung turun ke lapangan," kenang penerima Pin Emas Wana Lestari sebagai kader konservasi alam pada perayaan HUT ke-64 RI.
Aksi nyata Marandus telah menyelamatkan lingkungan di Lumban Julu, yang termasuk daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba. Renungannya adalah Firman Tuhan dari Nats Kejadian 2:15, usahakan dan lestarikanlah bumi!
Ia tak peduli dianggap gila, karena mencoba menanam pohon di kawasan yang palawija pun susah tumbuh.
Tahun 1996 menjadi awal yang sulit. Singkat kisah, pada 2007, 11 tahun berlalu, malah tak ada lagi ruang yang cukup untuk ditanami beragam spesies pohon kayu khas Toba.
Kini, di Taman Eden 100 ada Sampinur Bunga, Sampinur Tali, Jior, Pokki, Anturmangan (Cemara Toba) dan kayu alam lainnya mulai berkembang secara alami. Ada pula tumbuhan bunga, antara lain Tahu-tahul (Nephenthes), Bunga Batak (Macodes Petola), Soripada (Malakis SP) dan berbagai jenis anggrek langka.
Karena kawasan Taman Eden 100 sudah penuh, bersama teman-teman sevisi, Marandus juga menyasar lingkungan sekolah, gereja, masjid, dan jalan-jalan untuk ditanami. Aksi sejak 2015 ini kini sudah terlihat manfaatnya. Apalagi, masyarakat sekitar juga ikut terdorong mencintai lingkungan dengan rajin merawat dan menanam pohon.
Agrowisata
Lantas, dari mana nama Taman Eden 100 berasal? Menurut suami Yohana Sitepu ini, nama tersebut mengadopsi Program Taman eden yang ia gencarkan pada 1998. Maknanya, manusia, tanaman dan makhluk hidup lainnya hidup rukun dan tidak berkonflik.
Nah, tambahan angka 100 mengartikan ada seratus jenis tanaman pohon berbuah di taman hutan tersebut.
Filosofis penamaan yang cukup sederhana menjadikan Taman Eden 100 pada 1999 diusulkan sebagai destinasi agrowisata. Tak butuh waktu lama, Mei 2000 mulai uji coba (go public) dan berhasil dijadikan destinasi agrowisata.
Tidak berhenti di situ, Marandus juga menginisiasi untuk membuat desa percontohan di bidang pertanian, peternakan dan pariwisata. Penelitian secara integratif digerakkan dan Taman Eden 100 sebagai home base-nya.
Sebelum ada Taman Eden, banyak tulisan menyebut Danau Toba sudah rusak parah. Marandus meyakini langkahnya adalah bagian dari kesaksian akan kebesaran Tuhan kepada semua orang melalui ciptaan-Nya.
Sepenggal kebesaran Tuhan di kawasan Danau Toba ini direkomendasikan menjadi situs yang merefleksikan manusia dan bumi ikhlas dalam upaya pemulihan, pelestarian, perlindungan dan pengawasan integritas ekosistem.
Misi besar kemanusiaan ini digerakkan dari posko, yang merupakan bangunan induk sekaligus rumah tinggal Marandus dan keluarga.
Ada sejumlah homestay di Taman Eden 100 yang bisa disewa wisatawan untuk memaknai kebesaran Sang Maha Pencipta.
Taman Eden 100 ideal untuk berkemah, mendaki gunung, atau sekadar ingin mengenal lebih jauh fauna dan flora yang ada. Fasilitas homestay cukup lengkap, termasuk restoran dan toko yang menjual berbagai buah tangan.
Tak jauh dari lokasi homestay, terdapat beberapa air terjun. Yang terdekat berjarak hanya 500 meter, ada air terjun dua tingkat. Jika ingin yang lebih menarik tujuh tingkat ada Air Terjun Jantung Rimba. Jaraknya sekitar 1,1 km dari posko. Lalu, ada lagi air terjun yang tumpah persis di mulut Gua Kelelawar, tapi spot eksotik ini cukup jauh sekitar 5 km dari posko.
Tak hanya air terjun, wisatawan yang suka hiking bisa memilih Bukit Manja yang bisa memanjakan mata dengan latar Danau Toba serta Pulau Samosir. Waktu tempuh ke sana sekitar 2,5 jam.
Ingin lebih tinggi, ada Gunung Pangulubao 2.150 MDPL, sekitar 3,5 jam berjalan kaki dari posko.
Lelah bertualang, wisatawan dapat melepas lelah di Cafe Binanga diatas Sungai Lumban Rang, yang hanya berjarak 300 meter dari Taman Eden. Dalam Bahasa Batak Toba, binanga berarti sungai. Dulunya, di atas cafe itu hanya selokan. Seiring waktu, semakin asrinya kawasan, selokan itu kini mengalirkan air yang jernih. Berbagai menu khas setempat menjadi andalan Cafe Binanga.
Dan, Taman Eden 100 pun tak lupa menawarkan kepada siapa saja untuk berinvestasi di Bank Pohon. Sejak 29 Desember 2007, Bank Pohon didirikan di Taman Eden 100 untuk menyuplai bibit-bibit ke kawasan Danau Toba dalam rangka penghijauan dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Yang paling penting, Taman Eden 100 sangat menjaga persahabatan fauna dan flora. “Kita pesankan pengunjung menjaga kebersihan untuk memelihara lingkungan. Satwa di sini kan perlu juga makan, kita harus bersahabat, kita bantu menanam apa yang mereka butuhkan,” ucap Marandus sambil menunjuk satu pohon yang sedang berbuah.