Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DINAMIKA politik Indonesia ngeri-ngeri sedap. Membuat dahi kita sering kali berkerut kala memperhatikannya. Malahan, dramanya kadang memicu adrenalin. Sebut saja di era reformasi saat ini. Mulai dari konflik agraria, sengketa Pemilu, konflik internal partai, radikalisme, ekstrimisme, separatisme, konflik perbatasan, persoalan upah buruh, tindak korupsi, lemahnya birokrasi, sampai buruknya etika pejabat publik. Seluruhnya menjadi rangkaian cerita suram yang tiada habisnya.
Semua tumpukan masalah ini, jelas menjadi pertanda, adanya tegangan di dalam masyarakat kita. Mulai dari elite sampai masyarakat sipil, tampaknya mengalami tegangan serupa. Filsafat Friedrich Hegel, di dalam bukunya; Wissenschaft der Logik (1812) menjelaskan fenomena yang demikian, ke dalam hukum keniscayaan. Keniscayaan menjadi mungkin, karena potensi berjumpa dengan kondisi. Realita mnjadi mungkin terjadi, karena adanya peluang yang melingkupi para aktor (potensi) yang berpadu dengan keadaan atau realita yang mempengaruhi (kondisi).
Contoh sederhananya, seseorang bisa menjadi presiden karena ada kemampuan personal, dan dukungan publik. Serupa halnya dengan konflik. Pertengkaran muncul, karena ada ego dan variabel-variabel yang memantik api persoalan.
Seorang pejabat publik yang rusak etikanya pun demikian. Ada ego yang terdapat pada dirinya, ditambah adanya keadaan yang memancing/menarik ego. Maka keluarlah sosok asli dari si pejabat publik.
Keadaan ini dijelaskan pula oleh seorang ilmuwan neurosains Jerman, bernama Thomas Metzinger, dalam buku Der Ego-Tunnel (2009).
Metzinger menjelaskan secara lebih rinci, tentang "potensi dan kondisi" melalui pentingnya penempatan presaposisi "saya", dalam meredam atau meledakkan emosi/konflik. Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut; jika "saya" pribadi menganggap diri "saya" sebagai orang yang berkuasa mutlak, namun realitas yang "saya" temui tidak sesuai dengan yang "saya" harapkan, maka "saya" akan marah. Ego akan mendominasi. Namun sebaliknya, jika "saya" menempatkan diri "saya" sejak awal sebagai manusia biasa, yang melayani sesama, maka ketika realita tidak sesuai ekspektasi, mengakibatkan besarnya peluang ego agar bisa diredam, dan respon "saya" akan biasa saja ketika menghadapi masalah. Kira-kira begitulah penjelasan sederhana dari pemaparan Metzinger.
Nah, sebelum tegangan atau konflik terjadi, agaknya kita perlu berpikir ulang, tentang siapa diri kita di antara sesama manusia. Kita adalah penguasa sesama manusia? Atau kita pelayan sesama manusia? Tentukan pilihan masing-masing!
Namun, jika melihat penjelasan dalam kajian theologia, eksistensi manusia adalah sebagai sesama bagi manusia lainnya. Mereka adalah pelayan bagi sesamanya. Sekalipun sebagian kecil dari manusia itu memiliki wewenang untuk berkuasa, namun talenta untuk berkuasa jelas dipergunakan bukan untuk dirinya sendiri, melayani untuk melayani sesama manusia.
Lagipula, dengan menghina seorang manusia, jelas para penghina sesama manusia secara tidak langsung, telah menghina Pencipta dari manusia itu sendiri. Kesadaran atas pemikiran ini, seharusnya, menghasilkan penghormatan yang tinggi terhadap sesama manusia. Bukan malah sebaliknya, justru menghina sesama manusia.
Humor Kambing
Beberapa waktu lalu, di Sumatra Utara, kembali viral suatu peristiwa yang cukup menyedihkan publik. Ketika seorang pejabat publik menjewer telinga seorang pelatih atlit.
Penulis sendiri cukup menyesalkan terjadinya peristiwa itu. Harusnya, di acara formal yang demikian, tak perlu ada "acara jewer telinga" segala. Toh, telinga merupakan ranah privat manusia, yang tentu saja kurang etis kalau disentuh (baca:dijewer) tanpa seizin pemiliknya. Apalagi, telinga yang disentuh adalah milik seorang pelatih atlit yang sudah dewasa usianya.
Dari perspektif komunikasi politik, jelas peristiwa itu sangatlah tidak etis. Si pejabat publik, seharusnya bisa meredam ketegangan, dengan memilih gaya komunikasi politik yang jauh lebih beradab. Salah satu kisah komunikasi politik yang cukup terkenal misalnya, tentang kecerdasan komunikasi H. Agus Salim, dengan komunikasi politik melalui humor kambing miliknya.
Ketika hendak menyampaikan ceramahnya, Haji Agus Salim naik ke atas panggung. Belum sampai ke podium, banyak lawan politiknya yang meneriakkan suara kambing, "Mbek..., mbek...!" Lantaran, janggut putih yang dimiliki Agus Salim sangat mirip dengan kambing.
Tak khawatir dengan tekanan dari lawan politiknya, Agus Salim dengan tegas berkata, "Panitia...! Panitia...! Kenapa ada suara kambing di ruangan ini? Tolong keluarkan binatang itu...!" Semua penonton seketika kaget dan terdiam. Lucu! Ngakak! Hahahaa.. Begitulah kecerdasan komunikasi Agus Salim.
Agaknya, si pejabat publik dalam peristiwa jewer telinga bisa meniru pengalaman Agus Salim. "Hayoo... yang masih punya tangan, boleh dipakai untuk tepuk tangan...!" Dengan berkata demikian, paling tidak suasana lebih lucu. Cair. Bukan malah sebaliknya; menjewer, tegang dan marah-marah.
Humor Politik
Terkait humor politik belakangan ini, tampaknya ada keanehan di era reformasi seperti sekarang. Manusia sekarang, bagi sebagian kalangan terlalu kaku (puritan). Kurang kreatif untuk berguyon di ranah politik. Padahal, di era reformasi seperti saat ini, hal yang demikian sangatlah dimungkinkan.
Dari jurnal penelitian Medan Makna, Vol. 12, No. 2, Edisi Desember 2014 karya Agus Mulia berjudul; Humor dalam Masyarakat Medan, saya sengaja mengutip Humor Lucu tentang politik. Kira-kira, guyonannya seperti ini; Pertama, syukurlah proklamator di Republik Indonesia Soekarno-Hatta, karena kalau Ahmad Dhani, Republik kita bakalan jadi Republik Cinta. Hahahaha.. Guyon ini lucu, cerdas dan menghibur. Lalu.
Kedua, kita beruntung Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, bukan 14 Februari. Karena kalau 14 Februari maka akan banyak warna pink. Hahaha. Intinya, masih banyak guyonan kreatif yang dapat membuka cakrawala berfikir kita soal keindahan berbangsa dan bernegara. Namun perlu diingat, ini hanya guyonan yang saya kutip. Jika tidak percaya, silakan cek sendiri di dalam jurnalnya hahaha.
Terkadang, kita kurang santai sebagai saudara sebangsa setanah air, lagipula, mantan Presiden Indonesia, Gusdur sosok teladan bangsa juga terkenal dengan guyonannya yang cerdas dan menghibur. Inayah Wahid, putri bungsu Gusdur pernah bercerita tentang salah satu humor Gusdur Ayahnya; Alasan Gusdur mengucapkan salam kepada pengunjung, "Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh" bukan karena beliau adalah Kiai, tapi beliau (Gusdur) ingin tahu, ini di acara yang sedang dia ikuti, ada yang datang atau enggak. Maklumlah, penglihatan beliau sudah sangat-sangat berkurang. Hahhaha.. begitulah salah satu lelucon Gusdur menurut putrinya.
Memahami Humor
Manusia butuh tertawa, oleh karenanya, ada baiknya kehidupan juga bisa diselingi dengan tawa. pun demikian di dalam ketegangan politik Indonesia. Humor perlu melebur di dalamnya.
Lagipula, menurut penelitian Universitas Indiana State, USA, 40% imun tubuh meningkat karena tertawa. Namun demikian, tetap guyonan juga perlu memuat etika, norma setempat di dalamnya, agar jangan sampai guyonan atau Humor justru kontra produktif dengan memunculkan amarah pihak tertentu.
Humor pun punya teorinya sendiri, agar muatannya lucu dan mudah diterima publik. Menurut Setiawan (1990) dalam Rahmanadji (2007), paling tidak terdapat 3 teori humor. (1.) Teori keunggulan. Ketika seseorang tiba-tiba mendapati dirinya lebih unggul dibandingkan dengan orang yang berada di hadapannya. Contoh; Ketika melihat orang lain terpeleset, waktu melihat orang lain tanpa sengaja terkena semprot air, ketika melihat orang terpeleset ke kolam dan basah kuyup. Kita pasti sering tertawa, kala berhadapan dengan peristiwa seperti ini.
(2.) Teori ketaksesuaian, perasaan lucu timbul karena berkebalikan dengan yaang diharapkan. Contoh; waktu seseorang mendayung sepeda ehh sepedanya justru bergerak kebelakang bukan kedepan, waktu seseorang memancing, seharusnya ikannya yang ditarik oleh pemancing, ehh justru ikannya yang menarik orang yang sedang memancing. Atau, ketika kail pancing sudah bergerak cepat, kita mengira ikannya sudah dapat ehh justru yang dapat malah sendal jepit. Hahahaa..
(3.) Teori Kelegaan, dimana perasaan lucu timbul, ketika seseorang dengan bebas mengeluarkan emosinya, seakan tidak ada yang memperhatikan. Contoh, seorang anak yang tiba-tiba ingin berubah menjadi ultramen. Guru yang baru masuk kelas, kemudian dengan tiba-tiba berkata, "Hambar semua isi otakku. Hambar." (Kedua pengalaman ini pengalaman pribadi penulis) Hahhaha.. Tapi perlu diingat, semua ada batasannya. Jangan sampai ada pihak-pihak yang tersakiti.
Dari seluruh uraian tersebut di atas, kita bisa menyadari bahwa, Humor juga merupakan sarana meredakan tegangan. Lagi pula, kemampuan untuk tertawa dihadirkan Tuhan kepada manusia, termasuk salah satu cara Pencipta untuk merawat dan memelihara kerukunan manusia.
Pasalnya, manusialah satu-satunya mahluk di bumi yang bisa tertawa. Binatang seperti kuda, monyet atau sipanse hanya bisa nyengir (seperti tersenyum membuka mulut) namun sulit tertawa terbahak-bahak berulang kali seperti manusia. Kemudian, dalam perkembangannya, kebutuhan atas tawa ini dihadirkan dalam kebudayaan manusia lewat pertunjukan seni. Khusus di Indonesia (Zawawi Imron, 2006), seperti; banyolan, dagelan, grup lawak, pantun, teka-teki, karikatur, komik, grafis dan lain sebagainya.
Tentu akan sangat indah, jika tawa bisa dipadukan ke dalam seluruh aspek kemanusiaan. Namun, jangan lupa mengucap kata maaf. Kali saja ada yang tersinggung dengan setiap guyonan yang telah terucap. Berbahagialah orang yang lemah lembut dan rendah hati, melalui kata maaf. Karena merekalah yang akan memiliki bumi. Pejabat publik perlu menjadi teladan terlebih dahulu akan kerendahan hati seperti ini. Karena merekalah wakil rakyat yang sesungguhnya.
Lalu, pertanyaan penting berikutnya, sudahkah kamu tertawa hari ini?
====
Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP USU. Gemar belajar theologi, sejarah dan filsafat.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]