Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kebijakan pemerintah yang telah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan akan menaikkannya lagi di tahun 2022 ini, dinilai tidak tepat. Hal itu pun ditentang sejumlah akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU). Kebijakan itu dinilai terlalu prematur dan tidak tepat. Demikian ditegaskan Tim Penelaah Tarif Cukai Rokok (PTCR) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB USU) di Kampus USU, Rabu (19/1/2022).
"Setiap kebijakan seharusnya mempertimbangkan dampak yang akan timbul akibat kebijakan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan tarif cukai rokok yang eksesif itu justru kontraproduktif terhadap industri hasil tembakau (IHT)," kata Ketua Tim PTCR Coki Ahmad Syahwi.
Dijelaskan Coki, saat ini kondisi perekonomian mengalami kontraksi ekstrim yang tergambar pada menurunnya pendapatan pelaku usaha dan masyarakat. Bahkan sumbangan sektor-sektor ekonomi produktif belum memberikan kontribusi terbaiknya sebagaimana sebelum masa pandemi covid-19. "Semestinya perekonomian yang menurun harus didorong dengan kenaikan kapasitas produksi barang, termasuk terhadap IHT," tegas Coki.
Mengutip data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sambung Coki, realisasi produksi rokok terus bergerak meningkat sebesar 5,03% dari Januari hingga Agustus 2021. Sedangkan Kementerian Keuangan mengkonfirmasi dalam periode yang sama, realisasi produksi rokok mencapai sebanyak 208,6 miliar batang rokok atau tumbuh 6.2%.
Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan periode Januari hingga Agustus 2020 dengan produksi sebanyak 196,3 miliar batang rokok.
Kenaikan produksi itu, sambung Coki, diharapkan akan membentuk sikap optimis meskipun sebenarnya kenaikan tarif cukai rokok sudah pernah terjadi tahun 2020 23 persen dan 2021 sebesar 12,5 persen. Keadaan tersebut ditambah dengan kenaikan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen.
"Kenaikan CHT dan HJE tersebut membuat himpitan beban para pengusaha rokok makin berat. Dengan demikian, kebijakan menaikkan kembali CHT belum tepat untuk diterapkan karena lingkungan usaha dan perekonomian secara makro sedang berada pada tahap pemulihan. Kebijakan menaikkan CHT juga menunjukkan minimnya sense of crisis terhadap industri yang terdampak situasi covid-19 sekarang ini," tegas Coki
Seharusnya kebijakan menaikkan CHT, sambung Coki, mempertimbangkan beberapa hal. Apalagi perusahaan produsen rokok saat ini menghadapi tantangan berat yakni dengan kehadiran rokok ilegal. Sementara preferensi untuk merokok masih cukup tinggi. Alhasil konsumen jadinya mengkonsumsi rokok ilegal.
"Lagipula industri hasil tembakau (IHT) menyerap tenaga kerja yang cukup besar yang 60 persen bekerja di SKT. Kenaikan CHT yang berturut-turut sejak rahun 2020 bukan kebijakan produktif dan kreatif. Kegiatan ikutan pada IHT mengalami penurunan, seperti kertas, cengkeh, produksi petani tembakau, pedagang eceran, transportasi, dan kegiatan teknis lainnya," tegas Coki.
Hal lain, kata Coki, ada diskriminasi terhadap kebijakan yang diberlakukan antara sigaret kretek tangan (SKT) sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Karenanya dari hasil kajiannya, Tim PTCR menyimpulkan sebagai berikut.
1. Belum saatnya kenaikan tarif CHT diberlakukan kembali, terutama di masa pandemi karena dikhawatirkan akan menekan kinerja industri
2. Kenaikan tarif CHT harusnya mempertimbangkan keberlangsungan produksi dan industri rokok
3. Kenaikan tarif CHT justru akan menciptakan kehilangan pekerjaan bagi profesi yang berkaitan dengannya
4. Produsen lokal akan berkurang drastis akibat masuknya perusahaan asing dan barang impor
5.Kenaikan tarif CHT akan berpotensi pasar rokok dikuasai perusahaan asing
6. Kenaikan CHT dikhawatirkan justru akan meningkatkan peredaran rokok ilegal
7. Peredaran rokok ilegal yang semakin massif luput dari pengawasan pemerintah.