Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemerintah harus merivisi kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). Hal itu salah satu cara mengatasi kelangkaan minyak goreng (migor) yang terjadi sekarang ini. Demikian dijelaskan anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) Sugianto Makmur saat ditemui di ruang kerjanya, DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Rabu (23/2/2022).
Dikatakan Sugianto, selama ini, eksportir migor diwajibkan menjual di dalam negeri dengan harga eceran tertinggi (HET) Celakanya, untuk pabrik yang sama sekali tidak mengekspor, semua penjualan lokal mereka diwajibkan jual dengan HET juga!
"Ada masalah yang mengintai di balik penetapan yang dilakukan pemerintah tersebut di masa mendatang, bisa mengancam produsen migor, khususnya produsen menengah ke bawah," ujar anggota Komisi B ini.
Menurut Sugianto, kebijakan DPO/DMO bisa menjadi bumerang bagi perusahaan maupun masyarakat, karena dengan memaksa menjual migor sesuai HET, perusahaan akan menanggung kerugian Rp 2.000-Rp 3.000 per kg. Beberapa perusahaan produsen migor sudah melakukan hal itu, dampaknya perusahaan tersebut terpaksa tutup permanen.
"Saya tidak mau pabrik minyak goreng tutup permanen, karena kebijakan pemerintah memaksa menjual migor sesuai HET. Perusahaan mana yang mau jual di bawah harga pokok produksi (HPP) terus menerus. Tidak ada untungnya bagi masyarakat dan negara, bila industri minyak goreng kolaps. Akan menimbulkan masalah baru, pengangguran, berkurangnya devisa, kelangkaan migor dan putusnya rantai ekonomi," tandasnya.
Politisi PDI Perjuangan ini menyarankan, pabrikan menyediakan migor 10% dari total produksi dengan HPP sebagai partisipasi swasta dalam mengatasi krisis. Sepuluh persen migor dikenakan kepada semua pabrik migor dan dikemas dengan merk yang ditentukan pemerintah. Apabila HPP masih di atas HET, pemerintah bisa menggunakan pajak ekspor produk sawit dan turunannya untuk mensubsidi harga migor. Sisanya, dipersilahkan menjual seperti biasa, mau diekspor atau pun domestik dengan harga mereka, sesuai merk masing-masing.
Terkait dugaan penimbunan migor non industri sebanyak 1.100 ton di Deli Serdang, Sugianto menyebutkan, tudingan itu kurang tepat karena itu adalah buffer stok untuk industri migor dengan kapasitas 200-300 ton per hari. Migor dengan jumlah 1.000 ton untuk industri bukan masuk kategori penimbunan. Hal yang biasa menyimpan barang dengan jumlah 7-10 hari produksi. Apabila pabrik menyimpan barang sampai 20.000 ton atau lebih, barulah bisa dituding terjadinya penimbunan.
"Akibat tudingan itu, masyarakat resah, sehingga ikut-ikutan menimbun dengan membeli minyak lebih dari kebutuhan, bahkan tiga-4 kali lipat dari kebutuhan. Saya imbau masyarakat tidak panik dan tidak menimbun minyak goreng di rumah masing-masing, karena tidak mungkin pemerintah membiarkan kondisi ini," tandas Sugianto.