Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Harga minyak masih terus melonjak karena perang Rusia-Ukraina, ditambah lagi dengan sanksi dari negara Barat yang membatasi impor minyak Rusia.
Sanksi tersebut membuat negara-negara Barat lari mengimpor minyak ke Arab Saudi, namun pasokannya tidak cukup jika harus melayani semua langganan yang sebelumnya mengimpor dari Rusia.
Terbukti dari salah satu perusahaan minyak yang berasal dari Dubai, Arab Saudi yaitu Aramco yang berada di bawah tekanan akibat negara Barat yang meminta banyak pasokan minyak di saat harganya sedang melonjak.
Aramco mengatakan bahwa pihaknya berencana meningkatkan pasokan minyak secara bertahap. Namun saat diminta keterangan lebih lanjut, CEO Aramco Amin Nasser menjawab masih tetap memproduksi sesuai dengan aturan dari Kementerian Energi Arab Saudi.
Meski begitu, Aramco tetap berkomitmen akan meningkatkan Capital Expenditure atau CapEx (belanja modal) menjadi US$ 40-50 miliar (Rp 573-717 triliun) pada tahun ini, karena laba yang didapat mencapai dua kali lipat jika dibandingkan pada tahun 2021.
Selain Aramco, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia lainnya yaitu ExxonMobil (XOM) diperkirakan akan memperoleh laba hampir US$33 miliar (Rp 471,9 triliun) untuk tahun 2022.
Melihat kejadian dimana beberapa perusahaan minyak mendapatkan peningkatan keuntungan lebih dari biasanya, pemerintahan Amerika Serikat (AS) - Inggris berencana menambah tarif pajak bagi transaksi minyak mentah ini.
Democratic Supporter di Washington, Amerika Serikat berpendapat bahwa pajak itulah satu-satunya cara yang adil untuk membantu orang yang tidak mampu agar bisa mengemudi atau menghangatkan rumah mereka.
"Kita perlu mengekang pencatutan oleh Big Oil dan memberikan bantuan kepada orang Amerika di pompa bensin - yang dimulai dengan memastikan perusahaan-perusahaan ini membayar harga ketika mereka mencongkel harga," kata Senator AS Elizabeth Warren.(dtf)