Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Salah seorang komisioner terpilih KPID Sumatera Utara (Sumut) periode 2021-2024 dari kelompok petahana, M Syahrir, menampik pernyataan yang mengatakan ia dan rekannya Ramses Simanullang terancam terlibat tindak pidana korupsi (Ttipikor) terkait penggunaan anggaran sekaitan perpanjangan jabatan keduanya di komisi itu. Seperti diberitakan sebelumnya, penggunaan dana senilai Rp 3,6 miliar itu disebut ilegal, karena surat perpanjangan jabatan itu dipertanyakan keabsahannya.
"Tidak benar itu, kami disebut terlibat penggunaan dana ilegal, karena terkait perpanjangan jabatan itu, semua sudah diatur dalam Peraturan Komisioner Penyiaran Indonesia (PKPI)," kata Syahrir saat dikonfirmasi, Senin (4/4/2022)
Dikatakan Syahrir, perpanjangan jabatan mereka hingga 2021 (yang tadinya berakhir 2019) telah diatur dalam PKPI. Ada mekanisme yang diatur di PKPI jika pemilihan belum dilaksanakan.
"Pada Bab V Pasal 27 ayat 5 PKPI disebutkan jangka waktu perpanjangan masa jabatan anggota KPI pusat atau KPI daerah sebagaimana disebutkan pada ayat (4) pasal ini adalah sampai terpilihnya anggota KPI pusat atau KPI daerah masa jabatan berikutnya," terang Syahrir
Sebelumnya pada ayat 4 pasal 27 itu, lanjut Syahrir disebutkan, apabila proses pemilihan KPI pusat atau KPI daerah tidak selesai pada waktunya untuk menghindari kekosongan anggota KPI masa jabatan berikutnya, KPI pusat meminta DPR RI untuk menyampaikan surat kepada presiden, dan KPI daerah meminta DPRD Sumut menyampaikan surat kepada gubernur untuk memperpanjang masa jabatan.
"Jadi surat Sekda itu memang bukan SK tapi adalah jawaban atas pertanyaan mengapa tidak dilakukannya pemilihan. Saya menilai polemik pemilihan KPID periode 2021-2024 telah diekstraksi. Diundurnya pemilihan sampai dua tahun itu, mungkin karena pandemi dan refokusing anggaran. Jadi kami tidak ujug-ujug begitu saja melanjutkan jabatan, karena memang sudah diatur dalam PKPI," terang Syahrir.
BACA JUGA: 2 Calon Petahana KPID Sumut Terancam Terjerat Tipikor Rp 3,6 M
Sebelumnya disebutkan Laporan Akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Perwakilan Sumatra Utara (Sumut) atas kisruh seleksi komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut 2021-2024 menjadi ancaman bagi dua petahana KPID Sumut 2016-2019 yakni Muhammad Syahrir dan Ramses Simanullang. Keduanya terancam terjerat tindak pidana korupsi (tipikor) karena penggunaan anggaran negara sebesar Rp3,6 miliar secara ilegal.
Kuasa hukum 8 calon komisioner KPID 2021-2024, Ranto Sibarani SH menegaskan bahwa pihaknya akan fokus mempersoalkan penggunaan anggaran yang tidak sah tersebut segera masuk ke tahap penyelidikan tipikor di Ditkrimsus Polda Sumut.
“Pak Edy Simatupang dari Lingkar Indonesia sebagai pihak pelapor sudah dipanggil penyidik Ditkrimsus Polda Sumut minggu lalu. Tapi karena beliau kurang sehat, dalam minggu ini dijadwalkan kembali,” katanya, Senin (4/4/2022) pagi.
Lanjut Ranto, LAHP Ombudsman juga diperkuat oleh pernyataan Plt Sekda Provsu Afiffi Lubis yang secara tertulis menyatakan bahwa surat yang diklaim sebagai SK itu adalah bukan SK Perpanjangan KPID Sumut 2016-2019.
“Surat itu hanya surat balasan, bukan SK Perpanjangan. Itu jelas tertulis dalam surat balasan Plt Sekda Provsu terhadap somasi 8 calon komisioner KPID Sumut 2021-2004 kepada Gubsu Edy Rahmayadi. Akibat hukum yang paling fatal dari ketidakabsahan SK Perpanjangan itu adalah pengunaan anggaran Rp3,6 miliar secara ilegal,” tegas Ranto.
Terkait LHP Ombudsman, Ranto mengaku sudah berdiskusi panjang dengan Asisten Ahli Ombudsman Perwakilan Sumut James Marihot Panggabean dalam acara podcast yang membahas Kisruh Seleksi KPID Sumut 2021-2024.
Dia menyebutkan prosedur penyidikan dan penelitian yang dilakukan Ombudsman Perwakilan Sumut sangat teliti dan prosedural.
Para pihak diundang dan dimintai keterangan, dokumen terkait seleksi diminta ke Komisi A DPRD Sumut untuk diperiksa dan dipelajari, sampai meminta konfirmasi dan legal opinion dari pakar hukum tata negara dan administrasi negara dari Universitas Airlangga Prof Dr Tati Sumiyati.
Pilihan meminta legal opinion ke Universitas Airlangga itu, ujar Ranto, agar objektif dan menghindari distorsi jika pandangan yang sama diminta dari pakar-pakar hukum di Sumut.
“Saya kagum tim Ombudsman bekerja sangat teliti, prosedural, dan profesional. Ombudsman itu lembaga negara, jelas sekali kredibilitasnya sebagai mediator yang dibiayai negara. Di atas segalanya mereka bekerja atas nama keadilan untuk rakyat. Terlalu picik dan kerdil jika melihat Ombudsman bisa disetir oleh pihak-pihak tertentu,” katanya.
Ranto mengatakan semua pihak harus menghormati LAHP Ombudsman terkait kisruh seleksi KPID 2021-2024, terutama soal ketidakabsahan SK Perpanjangan KPID 2016-2019 yang dipertegas oleh surat Plt Sekda Afifi Lubis menjawab somasi 8 calon komisioner.
“Jangan hanya karena membela seseorang, kredibilitas kelembagaan media yang sakral itu dipertaruhkan. Musuh bersama negara itu korupsi. Media juga gencar membongkar kasus-kasus korupsi. SK Perpanjangan KPID 2016-2019 yang maladministrasi itu konsekuensi hukumnya menghabiskan anggaran negara secara tidak sah, dan itu nyata-nyata tindak pidana korupsi,” ujar Ranto.
Lembaga seindependen apapun, kata Ranto, harus tunduk dan hormat pada hasil pemeriksaaan kelembagaan negara yang diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukannya.
“Jika ada pengurus sebuah kelembagaan yang terindikasi melakukan korupsi harusnya diingatkan dan dikeluarkan sementara dari kelembagaan itu sampai masalahnya klir secara hukum. Bukan malah dibela secara berjamaah dan menyalahkan lembaga negara yang memeriksa. Itu respons yang sangat buruk dan memalukan di depan rakyat,” katanya.
Ranto mengingatkan kelembagaan media dan LSM memikul tanggungjawab yang jauh lebih besar dalam merespons kasus-kasus korupsi.
“Media dan LSM itu ‘watchdog’ negara, terutama dalam mencegah perilaku korupsi. Jika misalnya ada bagian dari ‘watchdog” itu yang terindikasi korupsi, seharusnya mereka lebih galak karena tindakan itu mempermalukan korps. Lha, ini kok dibela ramai-ramai, terus ‘watchdog’-nya ada dimana? Kok orangnya malah dibela dan disembunyikan di ketiak lembaga?” tukas Advokat yang juga mantan Aktivis dan Tenaga Ahli Komisi A DPRD Sumut 2015-2019 tersebut.
Terkait lapor-melapor, lanjut Ranto, semua warga negara berhak untuk melapor jika ada indikasi ketidakadilan.
Jika ada pihak-pihak yang mendorong mau laporkan Ombudsman Perwakilan Sumut ke Ombudman Pusat karena tidak puas atas LHAP juga sah-sah saja.
"Melaporkan lembaga yang sudah bekerja profesional dan kredibel itu sebenarnya akan merugikan pihak pelapor sendiri," ujar Ranto mengingatkan.
8 penggugat calon komisioner ini ungkap Ranto, juga punya hak melapor ke lembaga vertikal karena elit lembaga lokal malah ikut membela pengurusnya yang diduga terjerat tindak pidana korupsi.
“Semua kan punya hak dan akses. Kalau ada yang ancam main atas, yang lain kan bisa main atas juga. Kita juga bisa melapor ke KPK nanti jika bukti-bukti sudah dikumpulkan. Jangan pongah lah, santai saja," tukasnya.
Ranto minta semua pihak menghormati proses penyelesaian kisruh seleksi KPID secara santun dan taat asas karena masalah hukum yang bisa dilebarkan dari LHAP Ombudsman bisa jadi bola liar yang menghantam ke berbagai arah.
"Tak akan selesai pakai perang opini atau psywar dengan memperalat kelembagaan profesi. Jangan kita jerumuskan kehormatan lembaga profesi karena nafsu jabatan. Itu sama saja menghancurkan nama baik profesi itu sendiri. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Mari tegakkan kebenaran dan keadilan, bukan salah-benar mati-matian bela kawan. Itu bukan sikap organisatoris yang visioner,” pungkasnya.