Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Meningkatnya kasus COVID-19 di Beijing memicu saham global dan harga minyak turun pada perdagangan hari Senin kemarin. Muncul kekhawatiran ibu kota Cina itu akan bergabung dengan Shanghai dan kota besar lainnya dalam melakukan kebijakan lockdown.
Indeks saham China Shanghai Composite (SHCOMP) turun 5,1%, ditutup pada level terendah selama 22 bulan. Ini adalah hari terburuk untuk indeks saham tersebut sejak 3 Februari 2020. Kala itu saham juga anjlok ketika wabah virus Corona pertama kali menyerang Cina dan mengguncang pasar modal.
Di sisi lain, indeks Hang Seng Hong Kong (HSI) ikut turun 3,7%. Sementara itu, Nikkei Jepang (N225) turun 1,9% dan Kospi Korea Selatan (KOSPI) turun 1,7%.
Saham di Eropa juga ikut-ikutan melemah tajam pada hari Senin. FTSE 100 (UKX) turun 2,1% di Inggris, sementara DAX (DAX) Jerman turun 1,5%. CAC 40 (CAC40) di Prancis turun 2,2%, terlepas dari kelegaan pasar pada kemenangan pemilihan Presiden Emmanuel Macron.
Penurunan di pasar Asia dan Eropa terjadi setelah sesi suram pada hari Jumat untuk saham AS. Kala itu, Dow turun sekitar 980 poin, atau 2,8% mengikuti komentar tentang kemungkinan kenaikan suku bunga agresif dari ketua Federal Reserve Jerome Powell. Sementara itu, S&P; 500 dan Nasdaq masing-masing turun lebih dari 2,5%.
Kekhawatiran tentang memburuknya situasi COVID-19 di Cina menambah momentum penurunan. Pada hari Senin, Dow berjangka turun 305 poin, atau 0,9%, sementara berjangka di S&P; 500 dan Nasdaq keduanya turun 1%.
Beijing, ibu kota Cina dengan 21 juta penduduk, memulai pengetatan kegiatan sosial selama akhir pekan. Otoritas setempat menutup kegiatan-kegiatan di kompleks perumahan. Hal itu meningkatkan kekhawatiran pembatasan yang lebih ketat dapat segera diterapkan sejalan dengan kota-kota Cina lainnya.
"Meskipun beberapa bagian Cina telah berada di bawah pembatasan lebih lama dari Shanghai, kedatangan Omicron di Beijing akan menjadi perkembangan yang tidak menyenangkan," tulis Jeffrey Halley, ahli strategi pasar senior untuk Oanda, pada hari Senin.
Menurutnya, Cina adalah ekonomi terbesar kedua di dunia dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan hidup dengan virus.
"Dengan mengingat hal itu, kemungkinan katup tekanan akan menjadi gangguan pada mesin ekspor Cina, dan penurunan kepercayaan konsumen," ujar Halley.
Harga minyak juga jatuh pada hari Senin karena kekhawatiran tentang kenaikan suku bunga AS yang lebih cepat dan juga sentimen perlambatan Cina.
Harga minyak berjangka lokal di AS dan minyak mentah Brent yang menjadi patokan internasional, keduanya turun lebih dari 4%.
"Tampaknya Cina adalah gajah di dalam ruangan dan pasar merasa bahwa perlambatan pertumbuhan Cina dapat secara material mengubah persamaan penawaran atau permintaan di pasar internasional," kata Halley.
Tekanan untuk menahan wabah COVID-19 di Beijing datang ketika kasus terus berkembang di Shanghai. Kebijakan lockdown di Shanghai telah memaksa banyak pabrik untuk menangguhkan produksi dan memperburuk penundaan pengiriman.
Hal ini akan memberikan kejutan serta ancaman besar bagi ekonomi secara luas dan menempatkan lebih banyak tekanan pada rantai pasokan global.(dtf)