Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SAYA akan membuka dengan sebuah cerita. Ini cerita nyata. Jadi, katakanlah ini sebagai kesaksian. Namanya Indah. Lengkapnya, Indah Tamara Nainggolan. Ia sekolah di SMA Negeri 1 Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Ia siswa pendiam. Jadi, kelihatan tak mencolok. Namun, ia orang yang cekatan. Kebetulan, saya guru bahasa Indonesia di kelasnya selama 3 tahun. Ia berada di kelas unggulan.
Ketika kelas X, ia menjadi juara I olimpiade matematika se-Humbang Hasundutan. Ini menjadi bukti bahwa ia siswa potensial. Tahun lalu, ia kehilangan ayahnya. Pada posisi saat itu, ayahnya benar-benar tulang punggung. Sebab, ibunya dalam keadaan sakit. Ketika tahun ini ia mencoba masuk ke Universitas Prasetya Mulya, saya meledeknya. Kurang lebih saya berkata begini: masa seorang Indah mimpinya sebatas Universitas Prasetya Mulya?
Saya tak sedang pada posisi merendahkan universitas swasta tersebut. Toh, universitas ini sudah mentereng. Banyak penggemarnya. Bahkan, mereka juga punya misi mulia dengan memberikan beasiswa penuh kepada calon mahasiswa terseleksi. Jadi, sudah jelas, saya tak sedang pada posisi untuk menganggap enteng pada universitas swasta tersebut. Bukan di situ poin saya. Poin saya sederhana: Indah Tamara Nainggolan bisa lebih tinggi.
Namun, kala itu, ia berkata: Pak, saya tak punya uang. Saya merinding mendengarnya. Kemudian, ia bercerita, kakaknya tahun lalu mendapatkan beasiswa penuh ke UPH. Tetapi, karena keterbatasan uang, kakaknya batal kuliah. Saya kemudian tersadar bahwa beasiswa penuh ternyata bukan menjadi jaminan. Sebab, masih akan banyak biaya tak terduga lainnya. Itulah yang terjadi pada kakaknya Indah Tamara Nainggolan.
Saya tak pernah mengajar di kelas kakaknya. Hanya, kata beberapa guru, kakaknya bahkan lebih pintar. Dari sana saya mengerti, yang berpotensi belum tentu punya jalan menuju kesuksesan. Karena itu, perlu bantuan jalan bagi mereka. Inilah yang dibaca oleh kepala sekolah kami, Ricardo Silalahi. Ia membuka jalan supaya siswa berpotensi terjembatani untuk melanjutkan kuliahnya. Sebab, di luar sana, masih banyak orang yang peduli.
Hanya, kepedulian itu belum bisa tersalurkan. Bapak Kepala Sekolah kami merancang jembatan baru. Ia mengundang teman-temannya dari Tarutung. Ada pendeta, ada tokoh pendidikan, dan sebagainya. Singkat cerita, dari jembatan itu, Indah Tamara Nainggolan punya ayah angkat baru. Ialah Pendeta Donald Sinaga yang kini jadi kandidat doktor. Ia memberikan laptop kepada Indah. Ia juga mengundang Indah ke Tarutung.
Kebaikan ternyata menular. Dan, memang, sikap alami manusia adalah bersikap baik. Kita hanya perlu menjembatani. Karena itu, selain Pendeta Donald Sinaga, ada lagi tokoh lain yang turut membantu. Ada R.E.Nainggolan. Masih juga ada dari Dr. Erikson Sianipar, Kepala Yayasan Bisukma. Kesemuanya dari Tarutung. Dari sana saya paham, pada dasarnya manusia bersikap baik dan bersikap ikhlas. Kita hanya perlu jembatan untuk mempertemukannya.
BACA JUGA: Menyoal Fleksibilitas Dana BOS
Saya jadi teringat kisahnya dimulai darimana. Kebetulan, pada 14 April lalu, sekolah kita mengadakan pemberangkatan pada siswa. Temanya pemberangkatan. Karena itu, orang tua siswa turut dipanggil. Sayang, karena tepat hari pekan di hari Jumat, orang tua yang hadir sangat sedikit. Walau begitu, orang tua sangat peduli pada masa depan anaknya. Mereka juga peduli pada kemajuan pendidikan. Mungkin, jembatan itulah yang belum ada.
Buktinya, ketika pada acara itu, salah seorang dari orang tua, yaitu Parulian Simamora memberikan sumbangsih sebesar Rp5 juta rupiah pada sekolah. Masih ada juga sumbangan lainnya. Sumbangan itu sudah sangat besar. Itu menjadi bukti bahwa pada dasarnya, kepedulian kita masih tinggi terhadap kemajuan, apalagi dari ranah pendidikan. Dan, saya sangat yakin, semua orang tua pada dasarnya rindu pada kemajuan. Karena itu, mereka tak jarang mengeluarkan biaya yang banyak.
Saat ini, sekolah unggulan berlabel plus selalu dipuja-puja. Ada, misalnya, sekolah Unggul Del. Tapi, perlu diketahui, orang tua rela merogoh uangnya hingga ratusan juta demi kemajuan pendidikan anaknya untuk sampai pada kualitas itu. Saya pikir, hal serupa juga ada pada orangtua, terutama pada masyarakat, yaitu kepedulian pada kemajuan pendidikan. Hanya saja, jembatan itu yang perlu dibangun. Setelah itu, kebaikan akan datang mengalir begitu saja.
Ada contoh menarik. Kepala sekolah kami bercerita bahwa di tempat asalnya, alumni dari sekolahnya menawarkan berbagai aneka fasilitas dalam bentuk dana CSR. Saya jadi berpikiran, mengapa kebaikan korporasi melalui dana CSR, misalnya, tak disalurkan saja pada sekolah-sekolah yang membutuhkan dan yang punya ambisi untuk kemajuan? Bukankah dengan demikian, maka jembatan-jembatan kemajuan akan tercipta?
Bukankah dengan begitu, alumni akan peduli pada almamaternya, orangtua peduli pada sekolah anaknya, masyarakat peduli pada lingkungannya? Kita hanya perlu jembatan. Namanya jembatan kepedulian. Dengan jembatan itu, kita bisa membangun masyarakat melalui sekolah. Akan tak ada lagi siswa potensial yang justru menangis karena tak punya sarana untuk melanjutkan cita-citanya. Semua siswa akan ceria menatap masa depan.
Maksud saya, sekolah memang saat ini tak boleh lagi berhenti sebatas mengajar. Sekolah harus membantu untuk membangun jembatan-jembatan mulia. Jembatan itu, bisa berupa bantuan dana dari masyarakat, orang tua, terutama dari orang yang peduli pada pendidikan. Sebab, yakinlah, hanya dengan kepedulian seperti ini kita bisa bangkit bersama untuk mengangkat kualitas pendidikan. Dengan bantuan seminimal itu, kita bisa bangga bahwa ternyata kita adalah orang baik yang dipersatukan dalam satu misi mulia: membangun jembatan untuk masa depan penerus bangsa kita.
Sebab, kebaikan tak pernah sia-sia. Kebaikan itu seperti penyakit menular. Izinkan saya kutip satu kalimat dari Indah Tamara Nainggolan di sini: saya bertekad suatu saat nanti akan membantu "indah-indah" yang lain. Inilah harapan Indah sebagai bukti bahwa kebaikan itu menular. Artinya, di tengah kebaikan kita, ingatlah bahwa saat itu juga ada banyak penerima kebaikan yang berambisi untuk membalasnya di kemudian hari.
Intinya, menurut saya, sebaik-baiknya sekolah salah satunya dinilai dari kemampuannya membangun jembatan. Sebaik-baiknya orang tua dan masyarakat juga dinilai salah satu dari kepedulian dan kepercayaan untuk sama-sama membangun jembatan itu. Dengan itu, kita semakin pantas untuk berharap bahwa di kemudian hari kelak, ada ratusan orang yang berjuang untuk membalaskan kebaikan kita. Sebab, bukankah kebaikan itu cepat menular?
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]