Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022 mencapai 5,01%. Di waktu yang sama angka inflasi untuk April 2022 juga dirilis, angkanya 3,47%. Di balik ekonomi dalam negeri yang tumbuh 5% tersebut, ada inflasi yang bakal menghantui masyarakat.
Meski pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, pemerintah diminta untuk benar-benar bersiaga mencermati tren inflasi yang disebut 'menggila'. Sebab inflasi yang menanjak bisa menekan daya beli masyarakat yang ekonominya belum pulih benar dari dampak pandemi Covid-19.
"Kementerian Perdagangan harus menjalankan kebijakan pengaturan penyediaan barang dengan baik, dengan treatment yang pas untuk mengantisipasi harga yang semakin melonjak agar tidak membebani rakyat. Jangan sampai tak optimalnya pengelolaan kebijakan minyak goreng oleh Kemendag terulang lagi," Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam, Rabu (11/5/2022).
Ia mengatakan, sejak beberapa waktu lalu pihaknya sudah mengingatkan bahwa Ramadan dan Lebaran tahun ini menjadi batu ujian bagaimana pemerintah mengelola inflasi. Sebab, pada periode Ramadan dan Lebaran tahun lalu, situasi ekonomi jauh berbeda dibanding 2022.
"Makanya sejak tahun lalu ketika rapat dengan kementerian, kami sampaikan, tidak istimewa kalau pamer keberhasilan pengelolaan inflasi Ramadan-Lebaran 2021 karena daya beli belum pulih. Nah 2022 ekonomi mulai pulih, ditambah gejolak pasokan, maka ini tantangan, seharusnya sudah diantisipasi sejak lama kalau kerja analisa datanya berjalan baik," ujarnya.
Mufti mencatat, inflasi pada bulan Ramadan 2021 (April 2021) cukup rendah yaitu 0,13%. Sedangkan inflasi pada saat Lebaran 2021 (Mei 2021) sebesar 0,32%. "Nah, tahun ini, bulan Maret belum apa-apa inflasi sudah 0,66%. Dan terbukti April menggila 0,95%," jelas mantan ketua HIPMI Jatim itu.
Dia memaparkan, fluktuasi harga ada sebabnya, sehingga seharusnya bisa menjadi alat prediksi. Tugas kementerian terkait, terutama Kemendag, untuk memastikan suplai berjalan optimal sehingga meminimalisasi potensi gejolak harga.
"Penyebab gejolak harga kan bisa dipetakan. Misalnya, gangguan cuaca di negara sentra pangan. Kemudian dampak memanasnya geopolitik dunia. Maka sebenarnya bisa dilakukan analisis data, oh komoditas A bahaya ini, maka solusinya seperti apa," jelasnya.
"Kami melihat ada kelambanan dalam merespons dinamika tersebut, sehingga kebijakan atau treatment baru terbit ketika harga sudah melambung. Masalahnya, kebijakan itu pun tidak terkontrol dengan baik, sehingga gejolak berlarut-larut seperti dalam kasus minyak goreng," imbuh Mufti.
Mufti meminta pemerintah, khususnya Kemendag, untuk belajar betul dari kasus minyak goreng di mana berbagai aturan ternyata tidak berdampak di lapangann karena lemahnya pengawasan dan kurang mampunya Kemendag dalam melakukan orkestrasi kebijakan.
"Negara harus lebih kuat dengan membangun komunikasi stakeholder yang baik. Ketika ada gejolak harga, panggil. Negara berhak dong panggil pelaku usaha. Ada juga diatur di UU Perdagangan, ketika gejolak harga, pemerintah lakukan stabilisasi termasuk dengan menerapkan kebijakan-kebijakan tertentu bagi pelaku usaha," paparnya.
Mufti menambahkan, saat ini menjadi momen penuh dilema bagi pemerintah. Kenaikan harga komoditas di pasar global bisa menguntungkan penerimaan negara, tetapi di sisi lain akan berimbas ke harga pangan dan energi yang mengerek inflasi.
Dilema kebijakan yang muncul adalah harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi dengan mengerek suku bunga acuan Bank Indonesia demi menekan inflasi.
"Tetapi perlu diingat bahwa sebagian besar masalah inflasi saat ini didorong soal pasokan/penawaran yang terganggu dan harga energi yang diatur pemerintah. Jadi pemerintah dan otoritas moneter harus cermat dalam memadukan kebijakan yang bisa menjaga inflasi sekaligus terus menumbuhkan perekonomian," tutupnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS Bhima Yudhistira mengingatkan untuk tidak terlena. Pasalnya, tantangan ekonomi ke depan jauh lebih berat.
"Tantangan ekonomi ke depan jauh lebih kompleks dan berisiko hambat pemulihan ekonomi," katanya kepada detikcom.
Bhima menjelaskan harga komoditas yang naik berdampak ke surplus neraca dagang sehingga mempengaruhi pencapaian pada kuartal I-2022. Namun jika tidak diantisipasi, harga komoditas yang naik akan berimbas ke inflasi pangan maupun energi.
"Kenaikan suku bunga secara global akan dorong perbankan sesuaikan bunga pinjaman. Cost of fund yang naik akan tekan modal kerja pengusaha maupun pinjaman konsumsi," tambah Bhima.(dtf)