Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Dairi. Memperingati hari Anti Tambang (Hatam) ke-16 yang jatuh pada tanggal 29 Mei 2922 mendatang, Aliansi Non Governmental Organisation (NGO), Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), Petrasa serta Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyelenggarakan webinar kilas balik kejahatan tambang di Indonesia dengan tema “Tambang untuk Siapa?”.
Kegiatan webinar dilaksankan di aula pertemuan Pesada, Jalan Empat Lima, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, Rabu (25/5/2022)
Koordinator pengorganisasian dari YDPK, Monica Siregar, mengatakan, webinar yang dilaksankan agar masyarakat semakin terbekali akan hal penting yang ditimbulkan dari dampak tambang ke depan, khususnya warga Dairi yang saat ini sedang dalam perjuangan menolak kehadiran tambang PT DPM (Dairi Prima Mineral.
"Sekaligus menjalin solidaritas dengan desa/daerah lain yang juga berjuang melawan kehadiran perusahaan ekstraktif," kata Monica Kamis (26/5/2022) kepada medanbisnisdaily.com.
Kegiatan ini merupakan sebuah diskusi yang mengedukasi masyarakat sekitar tambang, maupun rakyat Dairi untuk paham akan dampak tambang ketika beroperasi di suatu daerah.
Webinar ini menghadirkan narasumber dari beberapa masyarakat korban tambang di berbagai wilayah, yakni Wawoni, Wadas, Kendeng, Mandailing Natal dan Dairi.
Semua kesaksian dari warga terdampak menyampaikan, bahwa tidak adanya keterbukaan informasi terkait penambangan di awal. Pihak perusahaan melakukan politik pecah belah , masyarakat yang pro dikarenakan sudah ada iming-iming dari pihak perusahaan.
"Hak veto warga dihilangkan dan kerap sekali pemerintah masa bodoh terhadap perjuangan rakyat. Ini menjadikan rakyat tidak bisa berharap banyak dari pemerintah untuk memberikan solusi bagi dampak maupun risiko yang ditimbulkan akibat kehadiran tambang," terangnya.
Kerap kali pemerintah mengatakan penambangan adalah salah satu pembangunan yang menunjang proyek strategis nasional untuk kepentingan umum.
Padahal kepentingan umum itu harus berasaskan beberapa prinsip, yaitu mensejahterakan masyarakat, meningkatkan pendapatan ekonomi daerah, dan tidak untuk mencari laba.
Ini sangat berbanding terbalik dimana industri penambangan mencari keuntungan yang diperoleh oleh segelintir orang dan bukan untuk kesejahteraan rakyat dan justru menimbulkan daya rusak atas lingkungan.
"Hal yang perlu dilakukan bersama oleh warga adalah bagaimana masyarakat secara bersama mempersempit perluasan ekstraktif itu sendiri, karena terlalu banyak risiko dan biaya yang dikorbankan dari industry ekstraktif," jelasnya.
Disebutkannya, menghargai dan peduli mengelola tambang harus tunduk terhadap mekanisme pengelolaan yang benar dan sesuai standard keamanan berbasiskan lingkungan.
Namun, faktanya keberadaan tambang bukan membawa berkah positif bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan pemerintah, akan tetapi memicu konflik baik secara vertical maupun horizontal, misalnya kasus di Wadas, Wawoni, Kendeng, Mandailing Natal (Madina) dan lainnya.
Keberadaan tambang menjadi monster yang menakutkan jika dieksploitasi. Pemerintah sering sekali menempatkan sektor penambangan sebagai proyek kepentingan umum dan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian.
"Kita ketahui bahwa proyek kepentingan umum adalah untuk memenuhi kebutuhan, meningkatkan kesejahteraan, bersifat pelayanan publik dan tidak untuk mencari laba," sebutnya.
"Tapi dalam implementasinya penetapan sebuah pembangunan lewat sektor penambangan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan dunia usaha (korporat) dan politik," sambungnya.