Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perbedaan harga yang cukup tinggi antara BBM jenis Pertalite dengan Pertamax, membuat SPBU mini atau yang disebut Pertashop, 'mati suri'. Karena itu pemerintah diminta serius memperhatikan keberlangsungan usaha Pertashop. Hal itu disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Hendrik H Sitompul, kepada wartawan, Sabtu (11/06/2022).
Menurut Hendrik, fakta bahwa Pertashop 'mati suri', diterima dirinya dari pengusaha Pertashop. Bahkan pengusaha Pertashop akan segera menemui Menteri BUMN, Erick Thohir.
"Pemerintah saya pikir harus kerja serius, memberi perhatian ke Pertashop. Ini bukan soal kepentingan pengusaha semata, tetapi kepastian distribusi BBM yang cepat dan tepat sasaran bagi masyarakat," ujar Hendrik.
Lebih lanjut dijelaskan Hendrik, Pertashop yang menjual BBM nonsubsidi khususnya jenis Pertalite itu, "ngadat" karena tak bisa mengimbangi ritme penjualan Pertalite. "Iya karena itu tadi, Pertalite jauh lebih murah," jelasnya.
Ia menyebutkan Pertalite saat ini mencapai harga Rp 7.650 per liter, sementara harga Pertamax sudah naik dengan harga Rp 12.500 per liter. "Di situasi begini mereka ditinggalkan, apalagi mereka membangun Pertashop dengan kredit ke bank. Bahkan, di saat ini banyak yang tidak bisa membayar cicilan ke bank. Banyak pertanyaan ke saya p
Pertalite kapan naik atau Pertamax dapat turun lagi," jelas Hendrik.
Karena itu, sambung Hendrik, pemerintah diminta segera merespon permasalahan tersebut. "Mengingat sepinya konsumen Pertashop telah menyebabkan kredit pelaku usaha kepada Bank turut macet dan berpotensi asetnya disita," ujarnya.
Selain itu, politisi Partai Demokrat itu mengingatkan sangat perlu adanya pengawasan terhadap penyaluran gas PSO dan BBM Subsidi serta mendapat gambaran seperti apa struktur pengawasan.
"Kami sangat membutuhkan pengawasan terhadap penyaluran gas PSO dan BBM Subsidi. Saya kira perlu kita sama sama diberi gambaran seperti apa struktur pengawasan," kata Hendrik Sitompul.
Komisi VII, lanjut Hendrik, perlu melihat titik mana yang perlu pendampingan, apakah ada perwakilan di wilayah serta perlu diberi ruang untuk pengawasan agar optimal.
"Supaya kita sama-sama melihat titik mana yang perlu pendampingan. Apakah memang ada perwakilan di wilayah wilayah dan kita perlu koordinasi. Kita tidak melakukan pengawasan hanya dengan Pertamina saja, tetapi juga dengan Dirjen Migas dan BPH Migas. Komisi VII perlu diberi ruang untuk bersama-sama melakukan pengawasan agar optimal berjalan, termasuk dengan perwakilan-perwakilan di daerah," jelas Hendrik lagi.