Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Harga bahan bakar minyak (BBM) di Amerika Serikat (AS) mencapai rata-rata lebih dari US$ 5 atau Rp 72.500 (kurs Rp 14.500) per galon pada Sabtu (11/6) waktu setempat. Satu galon setara dengan 3,78 liter.
Ketika musim panas, harga BBM di AS selalau lebih mahal karena meningkatnya permintaan. Namun, kenaikan ini yang tertinggi dalam 14 tahun terakhir.
Kenaikan harga BBM di AS sebagian besar disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi Barat yang membuat harga energi meningkat.
Menurut AAA, harga rata-rata nasional BBM di AS adalah US$ 5, naik 60 sen dibandingkan bulan lalu. Setahun yang lalu, BBM dijual US$ 3,08 per galon.
Di beberapa negara bagian, harga BBM ada yang dipatok US$ 4 per galon. Namun, California, jadi salah satu negara bagian yang paling mahal, yakni melebihi US$ 6 per galon.
Pakar energi memperkirakan setiap kenaikan harga BBM membuat orang AS mengeluarkan biaya tambahan sebesar US$ 4 juta atau Rp 58 miliar per hari.
"Rata-rata konsumen akan membayar US$ 450 per bulan untuk kebutuhan bahan bakar mereka," kata Kepala Analisis Energi Global Oil Price Information Service, Tom Kloza dikutip dari The New York Times, Senin (13/6/2022).
Perang di Ukraina memiliki efek paling jelas pada harga BBM karena sanksi terhadap Rusia telah menarik lebih dari satu juta barel minyak dari pasar global.
Selain itu, tidak adanya kapasitas yang cukup untuk menyuling minyak menjadi bensin, solar, dan bahan bakar jet juga jadi sebab naiknya harga BBM. Perusahaan minyak menutup beberapa kilang dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama pandemi ketika permintaan anjlok. Beberapa kilang baru akan dibuka atau diperluas tahun depan.
Para analis mengatakan permintaan BBM yang tinggi membebani pasokan yang terbatas dan mendorong harga menjadi lebih tinggi karena masyarakat melakukan perjalanan setelah beberapa kali gelombang varian COVID-19.
Harga BBM yang tinggi merupakan masalah besar bagi Presiden AS Joe Biden. Banyak pakar politik percaya Demokrat bisa menderita kerugian dalam pemilihan November karena masyarakat marah dan frustrasi.(dtf)