Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Rusia memperoleh US$ 97 miliar atau Rp 1.421 triliun (kurs Rp 14.659) dari ekspor minyak dan gas selama 100 hari pertama invasi ke Ukraina (24 Februari-3 Juni 2022). Hal itu berdasarkan laporan Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Finlandia.
Nilai itu turun sejak Maret karena banyak negara menghindari perdagangan dengan Rusia sebagai bentuk sanksi, tetapi jumlahnya masih tinggi. Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), dan Inggris termasuk yang telah berjanji memutus impor dari Rusia.
Menurut laporan itu, kenyataannya UE mengambil 61% dari ekspor bahan bakar fosil Rusia dengan nilai US$ 59 miliar. Secara keseluruhan ekspor minyak dan gas Rusia turun, pendapatan dari penjualan energi juga turun dari puncaknya lebih dari US$ 1 miliar per hari pada Maret.
Dikutip dari BBC, Selasa (14/6/2022), pendapatan itu disebut masih melebihi biaya perang di Ukraina selama 100 hari pertama. CREA memperkirakan Rusia menghabiskan sekitar US$ 876 juta per hari untuk invasi Ukraina.
Diberitakan sebelumnya, UE berencana menghentikan sebagian besar impor minyak Rusia. UE akan mengurangi gas dari Rusia hingga dua per tiga tahun ini, namun sejauh ini belum ada kesepakatan larangan langsung.
Sementara itu, AS telah mendeklarasikan larangan penuh atas impor minyak, gas, dan batu bara Rusia. Inggris akan menghapus impor minyak Rusia pada akhir tahun ini.
Laporan CREA mengatakan embargo minyak yang direncanakan UE memiliki dampak signifikan. Pihaknya memperingatkan bahwa sejumlah besar minyak mentah Rusia dikirim ke India, yang meningkatkan pangsa total ekspor dari sekitar 1% sebelum invasi Ukraina menjadi 18% pada Mei.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa ketika Rusia mencari pasar baru untuk minyak, sebagian besar diangkut dengan kapal dan sebagian besar kapal yang digunakan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Eropa dan AS.
Selain India, negara-negara lain yang meningkatkan impor bahan bakar Rusia di antaranya Prancis, China, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi. Hal itu membuktikan bahwa penjualan energi masih berlaku untuk mendanai perang di Ukraina.(dtf)