Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama PP Aisyiyah komit untuk mengambil peran dalam upaya pencegahan stunting dan gizi buruk di Indonesia melalui edukasi gizi untuk kader PP Aisyiyah serta sosialisasi langsung ke masyarakat sebagai upaya peningkatan literasi gizi keluarga. Selain itu, dilakukan juga penggalian data dan informasi pola konsumsi masyarakat melalui survei dan wawancara langsung, dimana hasil dari kegiatan ini menjadi laporan dan rekomendasi penanganan stunting di masa mendatang.
Untuk diketahui, Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021, menunjukkan lima provinsi absolut dengan jumlah balita kerdil tertinggi yaitu Jawa Barat sebanyak 1.055.608 anak, Jawa Timur 653.218 anak,Jawa Tengah 543.963 anak, Banten sebanyak 294.862 anak, dan Sumatra Utara (Sumut) sebanyak 383.403 anak. Sementara untuk Provinsi dalam skala prevalensi yang memiliki angka balita kerdil tertinggi di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur 37,8%, Sulawesi Barat 33,8%, Aceh 33,2%, Nusa Tenggara Barat 31,4%, Sulawesi Tenggara 30,2%, Kalimantan Selatan 30%, Kalimantan Barat 29,8%.
Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat, mengatakan, YAICI merupakan lembaga mandiri yang didirikan sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan dan lingkungan di Indonesia. Di bidang kesehatan, YAICI memilih fokus pada persoalan gizi dan anak.
"Karena YAICI berniat membantu Pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting di Indonesia. Sejauh ini, data di atas kertas berbeda dengan fakta di lapangan. Bahkan, ada Pemkab yang mengklaim 'zero' stunting. Tapi setelah kami survei ke lapangan, faktanya berbeda," katanya, pada Media Briefing, di Seis Cafe & Public Space, Jalan Sei Silau, Medan, Minggu (19/6/2022).
Arif mengatakan, selain stunting, Indonesia masih memikul beban ganda masalah gizi yaitu banyak penduduk yang mengalami kekurangan gizi mikro, gizi makro dan gizi lebih. Padahal, modal dasar menuju Indonesia Emas 2045 adalah prevalensi stunting harus di bawah 14% dari saat ini 24%.
Menurut Arif, penyebab stunting dipicu tiga hal yakni pola konsumsi makanan terutama terkait asupan gula, pola asuh dan anitasi. Soal asupan gula menjadi perhatian penting karena ini juga menjadi masalah yang banyak masyarakat belum tahu. Hal itu juga yang membuat YAICI selalu mengangkat isu soal susu kental manis (SKM) yang banyak dianggap sebagai susu. Padahal, SKM bukan susu tapi sebagai bahan tambahan dalam makanan/toping. Karena itu, SKM tidak boleh dijadikan minuman susu untuk anak karena kandungan gulanya 50% per sachet.
Dijelaskan Arif, pemahaman keluarga di Indonesia terkait SKM yang menganggapnya sebagai susu hingga dikonsumsi layaknya susu bubuk, juga memberikan dampak pada angka stunting di Indonesia. Justru hal ini mengakibatkan banyak anak diabetes. Karena banyak anak kelebihan asupan gula. Padahal, jika anak mengkonsumsi susu dengan benar, maka tumbuh-nya juga akan bagus. Padahal, di Indonesia, tingkat konsumsi susu hanya berkisar 16,62 kg/kapita dan terendah di Asia Pasifik.
"Stunting adalah gagal tumbuh anak. Pendek. Meski tidak semua anak yang gagal tumbuh itu pendek. Tapi semua stunting pasti pendek dan akan bodoh karena otaknya tidak berkembang. Tentu ini bukan hal yang mudah. Karena pencegahan stunting itu hanya bisa dilakukan sampai umur dua tahun. Jika lebih, mungkin tubuhnya masih bisa tumbuh tinggi tapi tidak dengan otaknya. Karena otaknya justru memgecil," kata Arif.
YAICI akan tetap concern soal SKM ini agar stunting bisa dicegah. Meski memang ini bukan pekerjaan mudah karena banyak juga dipengaruhi perilaku masyarakat. Sayangnya, pemerintah belum punya program khusus bagaimana mengubah perilaku masyarakat. Hal itu menjadi tantangan karena tingkat literasi masyarakat Indonesia akan gizi berada di posisi 60 dari 61 negara.
"Ini juga yang membuat konsumsi SKM sebagai minuman susu pada anak tinggi. Tentu kita berharap perilaku masyarakat bisa diubah, terutama ibu-ibu. Karena jika itu bisa, maka akan bisa mengubah mindset masyarakat dan pencegahan stunting bisa sesuai target," katanya.
Ketua Bidang Advokasi YAICI, Yuli Supriati, mengatakan, untuk stunting di Sumut kini berkisar 25,8% turun dari sebelumnya 30%. Di Sumut sent, ada Pemkab yang mengaku zero stunting tapi ketika YAICI survei ke lapangan, di satu lingkungan saja menemukan empat anak stunting.
"Jadi kami pergi survei ke Stabat dan bertemu anak-anak di dua lingkungan. Temuan kita, Anak-anak disana asupan gula tinggi dan badannya juga tidak tumbuh. Umur dua tahun, tingginya hanya 80 cm yang harusnya sudah 100-an cm. Kami juga menemukan fakta, jika ibu-ibu disana mayoritas tidak membawa anaknya untuk imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya. Alasannya habis disuntik demam. Itu yang membuat ibu-ibu disana," katanya.
Selain itu, ditemukan juga fakta anak-anak tidak mendapatkan ASI. Alasannya, anak-anak mereka tidak ada yang bisa minum susu karena mencret. Ibu-ibu itu tidak menggantinya dengan SKM tapi air putih yang dicampur gula. Setiap hari, satu anak bisa mengkonsumsi 16 botol dengan asupan gula sekitar 1-2 sendok/botol.
"Pemahaman mereka benar-benar keliru soal susu dan asupan gula. Ini memang sangat dipengaruhi rendahnya tingkat literasi soal gizi. Karena itu, YAICI bersama kader PP Aisyiyah terus berkomitmen memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat. Selain memberikan edukasi bahaya SKM, kader juga harus menyampaikan hal-hal untuk pencegahan stunting. Merubah perilaku masyarakat lebih penting memang. Ini menjadi ujung tombak keberhasilan pencegahan stunting," pungkas Yuli.