Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Doloksanggul. Maeka Br. Manullang (86), pengrajin anyaman baion warga Desa Matiti, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, terlihat asyik menganyam baion di ruangan tengah rumahnya. Sudah berpuluh tahun ia menekuni usaha ini. Ada pasang surut dunia usaha yang ia jalani. Selain ketatnya persaingan dengan produk sejenis berbahan plastik, sulitnya bahan baku juga menjadi kendala.
Usianya memang tak lagi muda, namun tangannya yang terlihat keriput masih lincah menganyam baion menjadi berbagai macam barang kebutuhan rumah tangga.
Biasanya, produk yang dibuat Maeka nantinya akan dijualnya langsung di pasar tradisionil. Tak hanya amak (tikar ukuran besar), lage (tikar ukuran kecil), Maeka juga membuat tandok (tempat beras untuk hajatan) dan oppon (tempat menyimpan padi pada masa panen). Semua produk tersebut berbahan baku baion yang dianyam. Baion (schoenoplectus acutus) adalah species alang - alang raksasa dari family cyperaceae tumbuhan asli dari rawa - rawa air tawar.
Maeka mengakui proses pembuatan berbagai produk kerajinan dengan bahan baion itu memerlukan ketekunan. Untuk membuat amak berukuran dua kali enam saja, butuh waktu satu minggu.
"Prosesnya rumit, belum lagi bahan bakunya sulit dicari. Kalau lagi musim penghujan, baionnya sulit kering, syukur kalau masih ada stok, harus telaten dan sabar,” ujar Maeka saat ditemui medanbisnisdaily.com Minggu (17/7/2022).
Kerajinan anyaman baion, kian tergerus di tengah membludaknya produk sejenis berbahan plastik yang tidak ramah lingkungan. Memang, produk anyaman ini bukan lagi primadona seperti pada masanya ketika itu di tanah batak. Tetapi, bukankah produk berbasis kearifan lokal ini patut dilestarikan?
Berbagai kendala menjadi penyebab surutnya usaha kerajinan ini. Selain produk ayaman baion yang kurang lagi diminati, bahan baku yang sulit didapat akibat populasinya menurun menjadi kendala bagi para pengrajin.
Maeka adalah salah satu dari sepuluh orang pengrajin anyaman baion di Desa Matiti yang bertahan ditengah ketatnya persaingan. Dia mengaku, profesi ini sudah dilakoninya sejak usia belasan tahun.
"Dulu sering dapat pesanan lage (tikar) untuk alas tidur ibu - ibu bersalin, Hasil dari penjualan memang tidak seberapa, tapi harus tetap disyukuri," tuturnya.
Untuk produk kerajinan anyaman baion yang diproduksi oleh Maeka diantaranya amak, lage dan tandok. Dia mematok harga dari kerajinan anyaman baion yang diproduksinya mulai harga Rp 25.000 hingga Rp 1.000.000.
"Tergantung bahan bakunya, kalau jenis baion silogin, itu lebih mahal sebab bahannya susah didapat," tutur ibu dari artis batak Pudan Sitorus ini.
Selain itu, menurut Maeka, untuk jenis baion yang digunakan juga tidak sembarangan.
"Tergantung peruntuknnya, baion silogin biasanya untuk membuat amak karena lebih tahan air, tidak mudah lapuk dan tahan panas. Baion situdu biasanya untuk bahan tandok, sebab jenisnya memiliki karakter sendiri," katanya.
Maeka, Pengrajin anyaman baion di Desa Matiti, Kecamatan Doloksanggul ini, masih bertahan hingga sekarang. Seolah dia enggan tergerus di tengah kembang maraknya produk sejenis berbahan plastik. Meskipun sebagai pekerjaan sambilan, namun masih saja ditekuni sehingga menjadi ikon industri rumahan berbasis kearifan lokal di Humbang Hasundutan.