Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pandemi COVID-19 saat ini sudah mulai mereda. Namun ancaman baru muncul yaitu dari ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Perang ini membuat banyak negara, termasuk Indonesia terancam krisis pangan dan energi. Sebenarnya apakah Indonesia mampu untuk menghadapi dua tantangan tersebut?
Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengungkapkan jika saat ini Indonesia memiliki fondasi yang belum cukup kuat untuk menghadapi tantangan itu. Faisal menganalogikan ekonomi Indonesia ibarat kondisi tubuh yang belum memiliki cukup darah dan jantung yang lemah.
"Nah dalam ekonomi sektor keuangan itu jantungnya. Karena faktor keuangan itu gampang merembes ke berbagai tempat. Kalau kita lihat sektor keuangan kita masih lemah dari kondisi sebelum krisis, dari kemampuannya menyalurkan kredit," kata dia dalam acara Blak-blakan detikcom, Rabu (10/8/2022).
Dia mengungkapkan kondisi sektor keuangan Indonesia saat ini belum lebih baik dibandingkan sebelum krisis 98. Saat itu penyaluran kredit bisa mencapai 68% terhadap produk domestik bruto (PDB). Tapi sekarang hanya sekitar 40%. Kondisi ini disebut masih jauh.
Menurut dia, jika jantung bermasalah maka akan mudah terkena penyakit. Faisal kembali mengibaratkan jika tubuh terserang darah tinggi seperti suku bunga dan inflasi adalah suhu tubuhnya.
"Nah kalau kita lihat suku bunga kita acuannya 3,5%. Sudah sejak tahun lalu tidak pernah naik. Nah sementara Indonesia ini terbuka, uang bebas keluar masuk. Hampir semua negara sudah menaikkan kalau kita tidak menaikkan sampai seberapa jauh contohnya seperti kemarin itu terjadi Capital Outflow ya? Bukan pelarian modal sih, arus keluar aja. Arus keluar uang itu besar sekali di pasar saham," jelas dia.
Faisal menambahkan memang ada kenaikan ekspor namun rupiah terus mengalami pelemahan. Dia menyebut ketika Jokowi pertama kali menjabat sebagai Presiden, dolar AS berada di posisi Rp 11 ribu. Nah hal ini mencerminkan tren pelemahan.
Hal ini karena hasil ekspor yang kembali ke Indonesia sedikit. Kebanyakan hanya parkir dan kembali ke Singapura. "Nah kemudian oleh karena itu darah kita belum cukup. Sudah darah belum cukup, jantung lemah, kan dilihat oleh luar ya udah Indonesia ini untungnya di Indonesia makin kecil bukan rugi ya, untungnya makin kecil untungnya kalau saya taruh di luar," ujar dia.
Menurut Faisal hal ini hanya tinggal menunggu waktu saja akan terjadi ancaman akibat penguatan nilai dolar AS terhadap hampir semua mata uang. "Nah orang kan nanya 'kan Amerika resesi, Amerika perang, Amerika butuh uang banyak, kok mata uangnya menguat? Nah orang tidak paham the power of US Dollar itu ya 60% dalam perdagangan dunia walaupun dia hampir disusul oleh China PDB-nya tapi penguasaan finansialnya masih cukup kuat," kata dia.
Selanjutnya adalah inflasi yang terus menerus mengalami kenaikan. Memang tak cuma Indonesia seluruh negara juga menghadapi masalah inflasi ini yang rata-rata 8%-9% di negara maju. Sedangkan Indonesia hanya di kisaran 4,94%.
"Tapi tergolong rendah dibandingkan yang lain. Apa Indonesia hebat? Ya tidak, karena semua ditahan, hampir semua ditahan. Jadi minyak ditahan, muncul masalah disini penyelundupan, ilegal segala macam ditekan di sini muncul di sana," jelasnya.
Hal ini menurutnya terjadi karena akar masalah tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Menurutnya, jika hal ini terus dibiarkan, maka buah dari ancaman ketidakpastian dunia hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Tinggal menunggu waktu saja adu kuat. Pak Jokowi sendiri mengakui kalau kita tidak naikkan ini subisidinya Rp 502 triliun kata Pak Jokowi." kata Faisal.(dtf)