Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEJAK Sabtu, 3 September 2022, pemerintah resmi mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam rilis yang langsung disampaikan Arifin Tasrif, Menteri ESDM, diumumkan bahwa kenaikan 3 jenis BBM, yaitu pertalite, solar, dan pertamax. Harga pertalite dinaikkan dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000. Sedangkan solar subsidi naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800. Pertamax nonsubsidi dinaikkan harganya dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Beragam tanggapan dari masyarakat pun bermunculan atas kebijakan pemerintah tersebut. Adalah hal yang wajar bila ada pro dan kontra menyikapi kenaikan harga. Sebelum membahas tentang kebijakan pemerintah tersebut, kita ingin membahas beberapa hal yang seharusnya mendapatkan perhatian penting dari pemerintah maupun masyarakat, bahkan sebelum dihadapkan pada kondisi sekarang ini.
Pemerintah melalui Perpres 98/2022 telah menetapkan anggaran subsidi dan subsidi bahan bakar dan energi sebesar Rp. 502,4 triliun, meski anggaran ini juga menuai pro dan kontra antara pemerintah dengan beberapa oknum legislatif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dalam rapat kerja bersama DPR pada tanggal 26 Agustus 2022 bahwa kuota solar yang dialokasikan 15,1 juta kiloliter, hingga Juli 2022 konsumsinya sudah menyentuh angka 9,88 juta kiloliter.
Sedangkan untuk kuota pertalite dari yang dialokasikan sebesar 23 juta kiloliter hingga akhir Juli konsumsinya sudah menyentuh angka 16,4 juta kiloliter. Di mana tren pemakaian pertalite sebesar 2,4 juta kiloliter/ bulan. Artinya jika tren ini terus berjalan, maka subsidi yang dianggarkan hanya akan bertahan sampai akhir bulan September.
Dengan kondisi ini, menurut Sri Mulyani, pemerintah membutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp198 triliun untuk bertahan sampai akhir tahun, jika memilih untuk tidak menaikan harga BBM.
Dari beberapa fakta di atas, mata kita terbuka melihat kondisi hari ini. Ada dua pilihan yang tersedia, yaitu menambah anggaran subsidi sebesar Rp 198 triliun (utang) atau menaikkan harga BBM. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan mendasar terkait kondisi hari ini. Pertama, dengan tren konsumsi BBM subsidi sebesar 2,4 juta kiloliter per bulan, tidakkah kondisi sekarang ini seharusnya sudah dapat dibaca sejak beberapa bulan lalu?
Yang kedua, Menteri Sri Mulyani menyatakan bahwa masih banyak masyarakat yang terbilang mampu namun menerima manfaat dari subsidi ini, bahkan digunakan untuk kegiatan industri. Yang artinya subsidi BBM ini tidak tepat sasaran sebagaimana mestinya. Lantas, bagaimana pengawasan terhadap penyaluran subsidi BBM selama ini oleh pemerintah? Dan yang ketiga, kebijakan pemerintah hari ini apakah merupakan solusi atau malapetaka bagi masyarakat?
Kondisi hari ini menjadi rapor merah terhadap tingkat pengawasan pemerintah. Pemerintah gagal dalam mengendalikan penggunaan subsidi BBM, bahkan yang lebih fatal lagi BBM subsidi tidak tepat sasaran.
Kondisi hari ini bukan lah kondisi force majure, ini adalah efek domino dari tidak optimalnya pemerintah melakukan pengawasan penyaluran subsidi BBM. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. Tentu kebijakan tersebut telah melalui kajian dan analisis yang amat panjang. Namun justru kebijakan ini lah yang menjadi kisruh di tataran masyarakat hari ini.
Kenaikan harga BBM di tengah kondisi ekonomi yang sedang berusaha bangkit pasca pandemi COVID-19 adalah keputusan yang sangat jelas akan memicu inflasi. Daya beli dari masyarakat akan menurun sementara harga bahan bahan pokok diperkirakan akan menaik. Bagaimana tidak, BBM menjadi kebutuhan primer dalam kegiatan produksi maupun distribusi di pasar, sehingga ketika harga BBM dinaikan maka otomatis harga kebutuhan pasar pun akan demikian.
Perlu disadari bahwa ketika inflasi naik maka otomatis kesejahteraan rakyat akan menurun. Stabilitas ekonomi tidak akan ada artinya jika kesejahteraan rakyat merosot. Maka sebenarnya kita akan dihadapan pada masalah baru ketika BBM dinaikan, ini yang seharus nya menjadi perhatian bersama, bahwa kebijakan yang diambil pemerintah kali ini memunculkan keresahan yang baru.
Jika melihat keadaan saat ini, seakan-akan pemerintah ingin menjaga stabilitas ekonomi, tetapi meletakkan beban yang berat kepada rakyat. Kita tidak boleh alergi fakta, bahwa memang kondisi saat ini tercipta karena fungsi dan kinerja pemerintah yang tidak berjalan dengan baik, di mana kebijakan yang dikeluarkan justru membebani rakyat. Lantas, jika efek domino dari kebijakan ini adalah kontraksi besar pada perekonomian rakyat, siapa yang akan bertanggung jawab?
Pengawasan terhadap penyaluran subsidi BBM yang lemah adalah akar dari permasalahan ini. Peningkatan pengawasan terhadap penyaluran subsidi BBM seharus nya sudah dilakukan sejak jauh jauh hari, tapi faktanya pemerintah baru mengambil tindakan ketika konsumsi subsidi BBM sudah lebih dari 50% yang dianggarkan.
Penekanan agar subsidi BBM dapat sampai ke tangan yang tepat harusnya menjadi fokus pemerintah untuk keluar dari kondisi rumit saat ini. Menaikan harga BBM belum bisa dikatakan menjadi solusi,karena keputusan tersebut melahirkan potensi munculnya masalah baru, yakni inflasi. Hajat hidup orang banyak dipertaruhkan dalam keputusan pemerintah kali ini.
====
Penulis Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Medan (UNIMED)
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]