Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
FENOMENA karyawan kontrak semakin meluas pasca omnibus law disahkan. UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mendorong banyak perusahaan mengganti karyawan tetapnya dengan mempekerjakan karyawan kontrak. Apakah kedudukan hukum karyawan semakin membaik pasca UU ini disahkan?
Sebelum UU No 11/ 2020 berlaku, karyawan kontrak diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU ini, karyawan kontrak bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, yang hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu saja.
Adapun jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang akan selesai dalam waku tertentu menurut Pasal 59 ayat (1) UU No 13/2003, adalah :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan bar, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dengan demikian karyawan kontrak diperbolehkan mengerjakan suatu pekerjaan tertentu dalam tempo paling lama 3 tahun, dimana perjanjian kerjanya dapat diadakan untuk paling 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk janga waktu paling lama 1 tahun.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat tersebut maka demi hukum menjadi karyawan tetap/berubah menjadi perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Demikian juga setelah karyawan bekerja bekerja 3 tahun dan masih akan dipekerjakan lagi, maka demi hukum wajib diangkat menjadi karyawan tetap.
Adanya pembatasan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu paling lama 3 tahun ini memberikan peluang adanya peningkatan kerja dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Dalam praktik, kenaikan status ini sangat menyenangkan bagi karyawan kontrak karena diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini memberikan jaminan pekerjaan yang berkelanjutan sampai pensiun dapat dirasakan.
Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu sesuai dengan jangka waktu yang diatur dengan sendirinya akan mengakhiri hak dan kewajiban tanpa konsekuensi adanya uang pesangon ataupun uang pisah (uang kompensasi).
Tetapi apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, maka pihak yang mengakhiri diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. (Pasal 62 UU No. 13 / 2003).
Ketentuan pembayaran ganti rugi ini menjadi kekuatan bagi pekerja/ buruh, sehingga terhindar dari tindakan sewenang-wenang oleh pengusaha. Sebaliknya, pengusaha menjadi berhati-hati dalam memutuskan perjanjian kerja bagi karyawan kontrak sampai dengan berakhirnya jangka waktu kerja yang disepakati. Dapat dikatakan Pasal 62 UU No 13 / 2003 ini merupakan ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan hukum bagi karyawan kontrak.
Karyawan Kontrak Dalam UU Cipta Kerja
Diberlakukannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus law) telah mencabut ketentuan dalam UU No 13/ 2003. Namun demikian UU No 11/2020 tidak banyak mengatur tentang karyawan kontrak. Lebih terperinci pengaturan kontrak kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
UU Ketenagakerjaan yang baru ini mengatur perubahan yang cukup drastis tentang karyawan kontrak. Jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu bagi karyawan kontrak yang sebelumnya paling lama berlangsung 3 tahun, dalam ketentuan PP 35/2021 diubah menjadi paling lama 5 tahun (Pasal 6), yang kemudian dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan untuk paling lama 5 tahun (Pasal 8).
Dengan demikian jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu diperbolehkan berlangsung selama 10 tahun. Kemudian tidak ada kepastian hukum dalam UU No 11/2020 Jo PP No. 35/2021, apakah setelah jangka waktu 10 tahun berakhir masih dapat diperpanjang kemudian, atau apakah jika setelah 10 tahun bekerja dan masih dipekerjakan kembali ada kewajiban untuk mengangkat demi hukum karyawan kontrak menjadi karyawan tetap.
Hal ini berbeda dengan ketentuan lama, jika kontrak 3 tahun berakhir dan karyawan masih dipekerjakan terdapat kepastian hukum bagi karyawan kontrak diangkat menjadi karyawan tetap. Tidak adanya kepastian ini dalam UU No. 11/2020 Jo PP No.35/2021 memberikan peluang untuk membuat jangka waktu yang tidak terbatas bagi perjanjian kerja waktu tertentu.
Perubahan lain adalah tentang hilangnya hak atas ganti rugi sebesar upah sisa kontrak bila salah satu pihak memutuskan perjanjian kerja secara sepihak (melanggar hukum). Ganti rugi digantikan dengan pemberian uang kompensasi yang diberikan pada saat berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana diatur pada Pasal 15 dan Pasal 16 PP No. 35/2021. Uang kompensasi diberikan bagi karyawan yang memiliki masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus-menerus, yang diberikan pada saat selesainya jangka waktu perjanjian kerja sebelum dilakukan perpanjangan dengan besaran :
a. PKWT selama 12 bulan terus-menerus diberikan 1 bulan upah.
b. PKWTselama 1 bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan dihitung secara proporsional dengan perhitungan : masa kerja/12 x 1 bulan upah.
c. PKWT selama lebih dari 12 bulan dihitung secara proporsional dengan perhitungan : masa kerja/12 x 1 bulan upah.
Legalisasi Perusahaan Alih Daya sebagai Pengelola Karyawan (Kontrak)
Ketentuan baru dalam UU No 11/2021 Jo PP No. 35/2021 adalah legalisasi perusahaan alih daya dalam mengelola karyawan kontrak. Sebelumnya perusahaan alih daya hanya diizinkan mengelola pekerjaan outsourcing yaitu pekerjaan yang bersifat penunjang yang tidak berhubungan dengan produksi. Ketentuan Pasal 18 PP No 35/2021 menegaskan telah melegalisasi hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/ buruh yang dipekerjakan didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Dengan adanya legalisasi atas perusahaan alih daya ini, perlindungan pekerja/ buruh baik tentang upah, kesejahteraan, syarat kerja dan perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab dari perusahaan alih daya (Pasal 18 ayat 3 PP No. 35/2021). Perusahaan pemilik pekerjaan dibebaskan dari tanggung jawab perlindungan pekerja/ buruh, sehingga tidak dapat lagi dituntut tanggung jawabnya dalam perselisihan yang timbul.
Legalisasi perusahaan alih daya mengubah pengertian hubungan kerja yang selama ini dikenal adalah antara suatu perusahaan dengan karyawan, berubah menjadi hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan karyawan.
Adanya ketentuan ini telah menimbulkan fenomena di lapangan, dimana perusahaan-perusahaan yang lazim membuat hubungan kerja secara langsung dengan karyawan kontrak/ karyawan tetap, mengubahnya dengan menyerahkan pengelolaan karyawan baik karyawan kontrak atau karyawan tetap kepada perusahaan alih daya.
Dengan demikian karyawan tidak memiliki hubungan hukum lagi dengan perusahaan pemilik pekerjaan tetapi secara hukum hanya dengan perusahaan alih daya.
====
Penulis Ketua Firma Hukum Sentra Keadilan di Medan dan Dosen PTS di STIH Graha Kirana Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]