Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sejujurnya, saya masih sangat sedih jika harus mengulang kisah cinta Soren Kierkegaard, filsuf eksistensialisme terkenal dari Denmark di abad ke-19 yang banyak dipengaruhi theolog Lutheran. Dari tulisan-tulisan Kierkegaard, tampak jelas bahwa hati Kierkegaard sebenarnya telah menjadi milik Regina Olsen. Wanita Denmark pujaan hatinya. Saya ingat cerita waktu Regina Olsen, dengan sengaja mengundang Kierkegaard ke rumahnya untuk dapat memiliki waktu bersama. Lantas, Kierkegaard hadir dan meminta wanita itu untuk memainkan piano di hadapannya.
Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1837-an. Menurut pengakuan Kierkegaard, untuk kali pertama dia menikmati musik yang baru kali pertama di dengarkannya secara langsung. Benarkah demikian? Jelas tidak! Kierkegaard sebenarnya hanya ingin menyaksikan Regina Olsen. Satu-satunya perempuan yang ada di hati Kierkegaard bernyanyi dengan iringan piano. Tentu Kierkegaard menikmati setiap detik kebersamaan mereka pada saat itu.
Beberapa tahun setelah kisah ini, sekitar tahun 1840-an, hubungan mereka berjalan semakin serius. Hingga akhirnya, Kierkegaard remi menjadikan Regina Olsen sebagai tunangannya. Entah apa yang dipikirkan Kierkegaard waktu itu, beberapa bulan setelah pertunangan tampak Kierkegaard mulai ragu untuk melanjutkan hubungannya. Namun demikian, Regina Olsen jelas masih sangat dicintai oleh Kierkegaard. Sampai, sekitar bulan Agustus 1941 akhirnya Kierkegaard membatalkan rencana pernikahan mereka berdua.
Regina Olsen tidak terima dengan keputusan itu. Berulang kali dia datang menemui Kierkegaard, lelaki yang juga dicintainya. Namun naas, Kierkegaard berulang kali tidak ada di rumah. Mungkin saja Kierkegaard hanya bersembunyi di rumah, dengan derai air mata, Kierkegaard juga mendengarkan amarah dan tangisan Olsen atas keputusan sepihak dari Kierkegaard. Tidak menyerah sampai di situ, Regina Olsen juga mengirimi Kierkegaard surat, berisikan keinginannya untuk mendampingi Kierkegaard sekalipun dalam keadaan sakit (melankolia/depresi) yang dialami Kierkegaard. Namun, Kierkegaard tetap menolak keinginan Regina Olsen dengan perasaan luka di hatinya. Apakah Kierkegaard masih mencintai Olsen? Tentu! Hanya wanita itu yang selalu ada di pikiran Kierkegaard.
Bahkan, sampai ayah Regina Olsen datang menemui Kierkegaard, untuk mengubah pemikiran Kierkegaard namun Kierkegaard bersikeras membatalkan rencana pernikahannya. Alhasil, beberapa waktu berselang justru dengan air mata, Kierkegaard menyaksikan wanita yang dicintainya Regina Olsen menikah dengan lelaki lain bernama Johan Frederik Schlegel (1817–1896), seorang pegawai negeri terkemuka. Tinggallah Kierkegaard seorang diri. Kenangan-kenangan tentang Olsen jelas terpatri dengan tajam di dalam hati Kierkegaard. Hatinya perih, tersayat menyaksikan Olsen telah bahagia bersama lelaki lain.
BACA JUGA: Tegangan Manusia, Humor Kambing dan Etika Pejabat Publik
Salahkan Kierkegaard? Entahlah. Namun tampaknya, Kierkegaard memang menyadari bahwa dirinya tak layak menikah. Dia kerapkali mengalami melankolia atau depresi yang terkadang dapat muncul seketika. Justru karena cinta Kierkegaard kepada Olsen, sehingga dirinya tidak ingin merepotkan wanita pujaan hatinya itu kelak jikalau pernikahan mereka terjadi. Justru karena cintanya kepada Olsen, membuat wanita itu pergi bahagia dengan lelaki lain. Saya yakin, perasaan Kierkegaard sangat menderita waktu itu. Di satu sisi dia mencintai Olsen, sementara di sisi lainnya dia tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.
Paling tidak, Kierkegaard sadar bahwa waktu hidupnya memang tidak lama di dunia ini. Kierkegaard memang memiliki kepekaan spiritual yang cukup tajam. Dia merasa terdapat panggilan penting yang harus dikerjakannya sebelum ajal menjemput. Benar saja! Paling tidak, ada sekitar 10-13 karya tulis terkenal karyanya sendiri, yang hingga kini mempengaruhi cabang filsafat. Kemudian menempatkannya sebagai Bapak eksistensialisme dunia.
Hingga kini, pemikirannya banyak mempengaruhi berbagai literatur akademis dan merubah cara berfikir orang kebanyakan untuk menjadi diri yang sesungguhnya dan berkenan di hadapan Tuhan. Ya, begitulah kisah Kierkegaard. Agaknya hati ini sulit menerima keputusan Kierkegaard terhadap wanita yang sebenarnya dicintainya itu. Hingga akhir hayatnya, Kierkegaard meninggal di usia yang masih sangat muda sekitar 40-an tahun dan tidak pernah menikahi wanita lain, sebab hanya nama Regina Olsen yang terukir di hatinya.
Mengingat peristiwa yang dialami Kierkegaard ini, saya jadi teringat dengan diskusi yang saya lakukan dengan sekelompok mahasiswa di dalam kelompok kecil bernama Aditha Elzahra. Di dalam diskusi, saya menyampaikan bahwa agaknya, kita perlu hati-hati memahami cinta. Apa itu cinta? Karena definisi yang kita pahami akan cinta, tentu akan mempengaruhi keputusan kita di dalam menyikapi berbagai gejolak yang akan dialami oleh tubuh sebagai respon akan perasaan cinta itu sendiri.
Tentu jika melihat perspektif Kristen, cinta atau kasih bukanlah seperti apa yang ditawarkan dunia saat ini. Kenalan, ngobrol, merasa nyambung dikit langsung “tidur”. Ini jelas bukan cinta! Ini nafsu! Cinta juga bukan seperti yang terdapat di dalam film romansa, pegang-pegangan, cium-cium lalu “tidur”. Hanya sekali lihat paras, tinggal pilih deh mana yang kelihatan gagah atau rupawan maka kita cinta. Atau yang banyak uang, punya mobil dimana-mana, atau motor keren lalu dengan seenaknya kita menyerahkan tubuh kita untuk dinikmati orang itu. G*blok! Ini bukan cinta. Ini nafsu. Ini dosa.
Di dalam perspektif Kisten, Allah adalah kasih. Tuhan adalah cinta itu sendiri dan Tuhan itu kudus. Suci. Benar. Maka cinta yang sesungguhnya, haruslah membawa kita semakin dekat pada Tuhan yang adalah kudus, suci dan segala atribut kemuliaan itu sendiri.
Agaknya, Kierkegaard ada benarnya. Dia berhasil mencapai itu, dengan beberapa karya eksistensialismenya. Menjadi diri dengan bergerak semakin baik, semakin berkembang dan terus bergerak maju sesuai panggilan Tuhan. Paling tidak, itulah warisan pemikiran Kierkegaard yang dapat kita nikmati. Namun demikian, tetap saja, kasih itu adalah proses belajar. Belajar mencintai dari ketidak idealan, bergerak menuju kearah yang lebih baik.
Eum, saya memang masih kurang sependapat dengan keputusan Kierkegaard. Karena, manusia pun perlu belajar mencintai sesuatu yang tidak ideal. Kita tidak hanya mencintai tapi belajar merelakan diri untuk dicintai. Kadang teramat mudah merelakan diri dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki sendiri, untuk kemudian merelakan diri dicintai orang lain.
Namun, relakah kita membiarkan diri kita dicintai dengan berbagai kekurangannya? Tentu maksud dari pernyataan ini bukan untuk kompromi, namun untuk bergerak progresif kedepan sesuai eksistensialisme Kierkegaard secara bersama-sama, antara “kamu” dengan “dia” atau antara “aku” dengan “kamu”. Sebagai satu tubuh yang saling tolong menolong.
Sehingga, seharusya, kasih itu tidak hanya belajar mencintai namun juga belajar merelakan diri untuk dicintai agar dapat bergerak bersama menuju kekudusan/panggilan Tuhan di dalam berbagai peran yang akan dikerjakan. Paling tidak, pemikiran ini muncul dari pengalaman Kierkegaard sendiri.
Satu catatan penting, dari keputusan Soren Kierkegaard untuk merelakan wanita yang dicintainya pergi, justru karena cintanya pada wanita itu. Wanita bernama Regina Olsen. Suatau pengalaman tragis yang akhirnya dapat dinikmati demi kebaikan banyak orang. Semoga!
====
Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP USU, Senang Belajar Filsafat.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]