Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Delegasi Australia dari Anggota Pengadilan Administratif Negara Bagian Australia Barat, Bertus de Villers memaparkan pengaruh pengadilan dalam proses transformatif suatu negara. Ia menyebut, peradilan dapat menghembuskan kehidupan ke dalam teks konstitusi.
"Pengadilan dapat membuat pelangi dari cetak hitam. Pengadilan dapat membiarkan kata-kata, sementara konstitusi berbicara dengan menyelesaikan perselisihan berdasarkan temuan fakta, penerapan hukum yang relevan, dan pelaksanaan diskresi. Itu bisa mengisi kesenjangan dalam kebijakan," ujar Bertus.
Hal itu disampaikan dalam kuliah singkat Internasional (Short Course) Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC). Diskusi itu merupakan rangkaian kegiatan pertemuan MK sedunia di Bali, 5-7 Oktober 2022. Menurut Bertus, pengadilan bertanggung jawab, berdasarkan fakta-fakta dan pengajuan di hadapannya, untuk menyatakan hukum tanah yang menjadi tanggung jawabnya.
"Pengadilan tidak dapat menulis konstitusi, tetapi dapat menghidupkannya. Kemampuan peradilan yang memberi kehidupan berlaku untuk demokrasi yang sudah lama mapan, muda, dan baru muncul," ujar Bertus.
Selain itu, Bertus mengatakan, terdapat dinamika yang mempengaruhi hasil penalaran lembaga peradilan sangat kompleks, beragam, dan dipengaruhi oleh isu-isu sosial saat ini.
"Dalam putusan Marbury vs Madison, Mahkamah Agung Amerika Serikat memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai konstitusionalisme (Marbury 1803). Dalam Brown the Education Board of Topeka, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam keputusan yang paling singkat menjungkirbalikkan dogma 'separate but equal' dan menetapkan Amerika Serikat (dan akibatnya banyak negara lain) pada jalur hak-hak sipil dan kesetaraan (Kasus Brown 1954). Putusan-putusan ini, yang muncul dari konstitusi tertulis tertua, adalah contoh konstitusionalisme transformative yang patut dicontoh," sebut Bertus.
Selain itu, Bertus mengatakan ketentuan konstitusi seharusnya digunakan oleh pengadilan untuk secara aktif menangani masalah-masalah esensial yang menyebabkan ketidaksetaraan dalam masyarakat tertentu, misalnya, melalui pengakuan sosial ekonomi. hak; hak minoritas dan masyarakat adat; atau hak lingkungan. Menurut Bertus, konsep pengadilan transformatif telah dijelaskan sebagai berikut oleh Mahkamah Agung Kenya, tetapi dalam melakukannya pengadilan telah menekankan nilai-nilai yang mungkin juga terkait dengan liberalisme tradisional (misalnya keadilan sosial, kesetaraan, devolusi, hak asasi manusia, supremasi hukum dan kebebasan dan demokrasi).
Kemudian Bertus menyebut, menggambarkan konstitusionalisme transformatif lebih mudah daripada mendefinisikannya. Sementara apa yang dimaksud dengan konstitusionalisme transformatif tetap ambigu, telah dikemukakan bahwa perbedaan esensial antara konstitusionalisme transformatif dan liberalisme tradisional adalah bahwa yang terakhir mengejar kesetaraan formal, sementara yang pertama mengejar kesetaraan substansial.
"Tidak mengherankan bahwa konstitusionalisme transformatif telah 'menerima cukup banyak kritik' karena menginginkan keterlibatan yang lebih besar dari pengadilan dalam prioritas kebijakan dan bahkan alokasi anggaran. Mengejar agenda sendiri dapat membawa pengadilan dalam konflik dengan organ pemerintah lainnya; sementara diperbudak oleh teks konstitusi dapat mengikis kredibilitas publik dan legitimasi pengadilan. Dalam setiap studi kasus di bawah mahkamah tertinggi berhasil mempertahankan tali pusar konstitusi yang menghubungkannya dengan bangsa itu, menjunjung tinggi dan menghormati pemisahan kekuasaan dan hal itu perlu ditaati konstitusi di mana ia melayani namun ia berhasil mengubah arah bangsa," ucapnya.
Peran dan kemampuan transformatif pengadilan semakin dalam dan berlapis-lapis dibandingkan dengan usia konstitusi di mana pengadilan berfungsi. Peran transformatif peradilan dapat muncul dari proses demokratisasi; mengakhiri perang saudara; pemberantasan ketimpangan sosial ekonomi; pengakuan atas etno-minoritas dan hak-hak masyarakat adat; akomodasi pluralitas masyarakat; memastikan perlakuan yang sama bagi semua individu; meletakkan kontur hubungan antar pemerintah federal-negara bagian; menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional seperti pemisahan kekuasaan, atau mengakui pentingnya isu-isu lingkungan.
"Sementara konstitusionalisme transformatif sering disebut dalam literatur dalam konteks hak-hak sosial-ekonomi, ujian sebenarnya bagi konstitusionalisme transformatif adalah apakah pengadilan menangani masalah-masalah yang relevan dengan masyarakat tertentu dan apakah penilaian tersebut menimbulkan perubahan praktis dalam masyarakat," bebernya.
Dalam diskusi itu, mantan hakim MK I Dewa Gede Palguna menyatakan dalam banyak kasus pelanggaran terhadap hak konstitusional pada umumnya dan prinsip keadilan sosial pada khususnya, terjadi bukan karena adanya undang-undang yang inkonstitusional tetapi karena tindakan atau kelalaian pejabat publik sedemikian rupa sehingga melanggar hak konstitusional warga negara yang bersumber dari asas tersebut. Di beberapa negara kasus tersebut dapat dibawa ke mahkamah konstitusi dalam bentuk pengaduan konstitusional.
"Sayangnya Mahkamah Konstitusi Indonesia belum memiliki kompetensi untuk mengadili kasus-kasus tersebut," kata Palguna.
Kongres Kelima World Congres of Constitutional Justice (WCCJ) menjadi forum internasional dengan level tertinggi untuk badan peradilan konstitusi mengingat sampai dengan tahun 2022 ini, tercatat 119 negara menjadi anggota WCCJ. Di samping menjadi forum diskusi, tukar pikiran, berbagi pengalaman dan praktik terbaik di antara anggota WCCJ, Kongres ini merupakan salah satu upaya MKRI untuk meningkatkan kualitas putusan, sekaligus kesempatan untuk semakin meneguhkan kedudukan Indonesia sebagai negara hukum demokratis berdasarkan ideologi Pancasila.(dtc)