Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
"MEMBACA bukan suatu hal yang sulit,” ujar seorang seniorku.
"Ahhh, masak? So, mengapa banyak orang yang tidak suka membaca? Kenapa mereka lebih suka main gadget, jalan-jalan dan menghabiskan waktu buat nongkrong?" tanyaku.
Lantas ia menjawab," Itu karena kamu belum mencoba. Coba cari tau apa beda dirimu dengan siswa lain?"
"Yang benar saja seorang mahasiswa tak suka membaca, mau jadi siswa tape-tape?" ucap dia dengan nada terkesan nyindir.
Aku terdiam dan kehabisan kata-kata dengan ungkapan itu. Lantas hal itu terbesit dalam pikiranku sampai merasuki tempurung kepalaku. Sudahkah aku membaca hari ini? Sudah berapa banyak buku yang kubaca?
Aku teringat dengan ucapan guruku sewaktu SMA “semakin banyak yang kamu tahu maka semakin banyak pula yang tidak kamu tahu”. Intinya kita di pacu untuk lebih mencari tau dengan cara membaca dan belajar. Mungkin situasi seperti itulah yang nyata terjadi di kehidupan mahasiswa saat ini. Ada anggapan membaca adalah suatu hal yang tidak ada gunanya.
Menurut survei UNESCO 2012, minat baca orang Indonesia hanya 0.0001 persen. Artinya, di antara 1.000 warga negara Indonesia hanya satu orang yang serius membaca (Kompas 9 April 2018). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2012 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat 60 dengan skor 396 dari total 65 peserta negara untuk kategori membaca.
Perkembangan Zaman
Tuntutan Kurikulum Merdeka Mengajar membuat guru harus lebih kreatif dan mandiri dalam mengajar. Menurut hemat penulis, gaya hidup sangat berkaitan dengan menurunnya minat membaca mahasiswa. Kini gaya hidup sudah menjadi sahabat sejati manusia karena akan selalu menjadi bagian dalam keseharian. Adapun kegiatan yang meliputi gaya hidup antara lain health, fashion, food, transport, mobile phone dan lain-lain. Gaya hidup telah merasuki semua golongan, tak terkecuali siswa.
Kita tidak dapat menolak perubahan dan perkembangan zaman saat ini, bagaimanapun gaya hidup sudah mendarah daging. Dahulu orang tidak terlalu mementingkan gaya hidup, mereka lebih mementingkan kebutuhan pokok tetapi sekarang berbeda keadaannya. Kehidupan manusia zaman sekarang banyak yang tidak sesuai sebagaimana mestinya seorang yang memiliki intelektual. Instansi pendidikan yang seharusnya dijadikan tempat menuntut ilmu malah sudah mulai bergeser fungsinya, bukan sebagai ajang pamer kepandaian atau ide-ide kreatif.
BACA JUGA: Realita dan Pemberdayaan Pemuda
Membaca adalah suatu kegiatan yang membosankan menurut kebanyakan orang. Anak zaman sekarang, saat ini yang disibukkan dengan perkembangan zaman, seperti bermain gadget, nongkrong, jalan-jalan sudah mulai mengesampingkan membaca. Berangkat dari pengalaman saya sendiri saat memasuki ruang kelas semua siswa sibuk dengan gadget mereka dan menunduk sambil bermain handphone. Bahkan ketika guru mengajar masih ada siswa/siswi yang sibuk bermain game, inilah realita saat ini, sangat ironis bukan? Penulis melihat tuntutan zaman menjadikan kita menjadi manusia yang lebih berorientasi ke arah praktis.
Hal itu tidak terlepas dari iklan yang ikut andil dalam mengampanyekan terkait dengan gaya hidup dan sangat jarang menyampanyekan ajakan untuk membaca. Sehingga banyak ditemukan mahasiswa yang konsumtif, kehidupan di kampus semakin tidak jelas. Seharusnya prestasi lebih diutamakan dibandingkan dengan gaya hidup.
Padahal, jika kita lihat kebanyakan mahasiswa berasal dari desa, yang menjunjung tinggi nilai, kekeluargaan, adat istiadat dan budaya, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak dari desa sudah tertanam jiwa bermasyarakat yang sehat, memiliki rasa sosial yang tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat. Namun, pada saat melanjutkan perguruan tinggi nilai-nilai itu seakan hilang.
Hal ini disebabkan mahasiswa tidak mampu menyaring dan menyeleksi lingkunganya, serta menyebabkan mereka lebih memilih meniru ketimbang mengembangkan potensi mereka dan tidak menjadi diri sendiri. Sehingga menyebabkan terjadinya akulturasi sosial budaya. Akibatnya pengaruh buruk yang lebih banyak berpengaruh. Hal ini mengancam mental anak bangsa.
Mahasiswa yang merupakan golongan muda yang seharusnya mengisi waktunya dengan membaca buku, menambah pengetahuan, keterampilan, dan keahlian, serta mengisi kegiatan mereka dengan kegiatan positif. Sehingga akan memiliki orientasi ke masa depan sebagai manusia yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Siswa masa kini cenderung ke arah westernisasi atau proses peniruan budaya barat yang menurut mahasiswa lebih ‘oke’ dibanding budaya sendiri.
Dengan menempatkan gaya hidup di urutan pertama, dikhawatirkan akan merusak kepribadian seorang sebagai generasi pelurus bangsa, yang seharusnya mampu bersikap kritis dalam menyikapi berbagai hal. Padahal yang menjadi harapan kita adalah menghasilkan putra-putri bangsa yang cerdas dan mampu berfikir kritis. Milan Kundera novelis asal Ceko pernah mengatakan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan buku-bukunya maka pastilah bangsa itu akan musnah.
====
Penulis guru Sosiologi SMA Nusantara Tigalingga dan Alumni Sosiologi USU, Aktif di KDAS dan DWC.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]