Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Isu potensi keluarnya investor lama PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) ketika lock up period atau periode penguncian saham berakhir pada 30 November 2022, menjadi perhatian investor akhir-akhir ini.
Pihak manajemen GOTO pun buka suara terkait hal tersebut. Mengacu pada keterbukaan informasi yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin 24 Oktober 2022, pihak GOTO saat ini sedang menjajaki kemungkinan melakukan penawaran sekunder (secondary offering) terkoordinasi atas saham GOTO yang dimiliki pemegang saham pra-IPO.
Istilah secondary offering yang dimaksud berbeda dengan penerbitan saham baru baik lewat mekanisme rights issue (dengan hak memesan efek) maupun private placement (tanpa hak memesan efek). Namun aksi perusahaan ini mengacu pada proses 'matchmaking' atau memfasilitasi antara para pemegang saham pra-IPO dan para investor baru di pasar negosiasi sehingga dimaksudkan tidak merusak harga di bursa saham.
Sekretaris Perusahaan GoTo RA Koesoemohadiani menegaskan bahwa perseroan tidak akan menerbitkan saham baru sehingga tidak ada efek dilusi.
Apabila terjadi perpindahan saham antara pemegang saham pra-IPO dengan investor baru, perusahaan juga tidak akan menerima dana dari transaksi tersebut.
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Farras Farhan menjelaskan bahwa dalam dunia startup, yang mengandalkan berbagai seri putaran pendanaan untuk meningkatkan economic of scale dari bisnisnya, keluar masuknya investor adalah hal lumrah.
"Kita harus paham, bahwa investor startup ini biasanya adalah venture capital (pemodal ventura), mereka bekerja layaknya fund manager seperti reksa dana tetapi agak sedikit berbeda dengan dengan manajer investasi reksa dana umumnya, terutama dari horizon investasi dan cara kerja," kata Farras dalam keterangan tertulis, Rabu (26/10/2022).
"Venture capital ini biasanya mereka juga melakukan penggalangan dana, tetapi tidak seperti reksa dana umum yang kita kenal bisa menggalang dana dari siapa saja. Mereka biasanya menggalang dana dari investor yang cenderung sophisticated atau ultra high net worth individual. Secara sederhana bisa dikatakan orang dengan uang yang banyak dan sudah memahami investasi," sambungnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, antara venture capital dan investornya juga terikat kontrak yang biasanya memiliki time-frame investasi 5-7 tahun bahkan 10 tahun. Jadi apabila uang yang diperoleh sudah diinvestasikan ke startup sudah sampai 5-7 tahun, mereka akan menjual sahamnya dan mengembalikan uang tersebut ke investor atau pemodalnya.
"Itu sudah biasa terjadi di dunia startup, sudah jadi hal yang lumrah karena mereka sudah terikat kontrak dengan pemberi modal, tinggal nanti mereka akan jual itu [saham] ke investor baru yang biasanya memiliki koridor dan cara investasi sendiri yang siap untuk menampung saham tersebut," tambahnya.
Farras juga memberi contoh apabila ada pemodal ventura menyuntik modal ke suatu startup di putaran pendanaan seri A misalnya, saat valuasi startup masih di kisaran jutaan dolar AS. Valuasi startup tersebut kini sudah unicorn (di atas US$ 1 miliar) dan horizon investasi mereka sudah terpenuhi dalam 5 tahun. Maka, langkah selanjutnya, mereka akan keluar.
"Jualnya ke siapa? Jualnya ke investor lain yang orientasinya jangka panjang seperti dana investasi negara [sovereign wealth fund] atau bahkan investor strategis lain yang bisa mendapatkan sinergi bisnis dengan startup tersebut, jadi bukan berarti mereka jual dan ditinggalkan begitu saja," ujarnya.
Para pemodal ventura tersebut keluar juga tidak selalu dalam kondisi rugi (cut loss). "Bayangkan saja jika mereka masuk ketika valuasinya masih jutaan dolar, dalam 5-10 tahun startup tersebut sudah menyandang status unicorn atau decacorn [di atas US$ 10 miliar], jadi keuntungan mereka juga sudah berlipat ganda," jelasnya.
Selain karena untung, kata Farras, mereka juga terikat kontrak dengan pemodal mereka sebelumnya. Itulah yang menjadi dasar dari exit dari pemodal awal sebelum IPO.
Senada dengan Farras, Maximilianus Nico Demus, Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo juga menambahkan, biasanya di fase seperti itu yang berpotensi masuk juga investor strategis yang mencari peluang untuk sinergi bisnis dengan startup tersebut. Dalam hal ini startup justru mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah dari bisnisnya.(dtf)