Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
AGAKNYA kini kita bisa bernafas sedikit lega dengan telah berakhirnya masa pandemi Covid-19. Walau begitu, ibarat keluar dari kandang singa masuk ke mulut buaya, kita kembali digegerkan dengan suatu problema baru, fenomena Mr Hu (#SellerAsingBunuhUMKM) yang sempat trending di jagat maya Twitter pada Februari 2021, seolah menegaskan ancaman persaingan usaha domestik kian nyata. Terlebih, Indonesia merupakan target market e-commerce terbesar se-Asia Tenggara. Akankah UMKM kita tetap dapat bertahan?
Per 2021, nilai transaksi bruto atau gross marchandise value (GMV) e-commerce Indonesia mencapai US$ 40,1 miliar atau setara Rp 573 triliun. Namun, ada kabar kurang sedap. Shopee, perusahaan venture building yang bermarkas pusat di Singapura, memimpin posisi puncak pasar digital kita, membukukan GMV sebesar US$ 14,2 miliar dengan pangsa pasar 40 persen. Angka ini meningkat pesat sebesar 91 persen dari tahun sebelumnya. Sementara Tokopedia, e-commerce karya anak bangsa itu, harus puas berada pada peringkat ke-2 dengan pangsa pasar 35 persen dan GMV US$ 14 miliar. Peringkat ke-3 kembali dikuasai Lazada yang saham mayoritasnya dikuasai Alibaba (Cina) dengan pangsa pasar 7 persen dan GMV US$ 4,5 miliar.
Survei We Are Social menemukan 88,1 persen atau 129 juta masyarakat Indonesia merupakan target market e-commerce. Sayangnya, Bank Indonesia (BI) mendapati hanya 12,5 persen UMKM domestik yang mampu bertahan selama masa pandemi. Sisanya harus mengambil langkah mundur dengan cara mem-PHK pekerja dan menurunkan produksi, atau mengambil rencana terburuk dengan menutup usahanya. Padahal UMKM menyerap 97 persen tenaga kerja nasional.
Perilaku predatory pracing (praktik jual rugi) merupakan momok yang paling ditakuti para pelaku usaha domestik khususnya di e-commerce. Usaha asing acap kali memakai skema crosborder trade (perdagangan lintas batas) memungkinkan para penjual luar negeri bertransaksi langsung dengan pembeli. Hal ini menguntungkan, sebab mereka tidak dikenakan bea dan cukai. Sehingga memangkas ongkos transportasi, sehingga mampu mematok harga yang jauh lebih rendah dari harga pasaran. Disisi lain praktik pre-emptive merger, dimana perusahaan besar mengakuisisi perusahaan-baru (start-up) semakin sering terjadi. Alhasil kreasi dan inovasi bagi suatu produk terbarukan sulit berkembang. Jika terus dibiarkan, daya saing UMKM kita akan lesu dan terancam mati.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) didirikan atas dasar kekhawatiran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dilanggar di pasar domestik. Layaknya wasit, KPPU bukan hanya berhak memberikan peringatan dan sanksi, upaya jemput bola untuk mengantisipasi penyelewangan pun kerap dilakukan KPPU. Misalnya, ketika menyambangi kedutaan Jepang pada 18 April 2022, dengan agenda mendorong kedutaan Jepang agar para pelaku usahanya mentaati aturan hukum persaingan usaha Indonesia. Tidak hanya rulling class, kini KPPU pun melebarkan sayapnya dengan melibatkan peran pemuda. KPPU kian aktif dalam dunia kampus dengan mensosialisasikan hukum persaingan usaha dan isu-isu persaingan usaha yang berkembang.
Namun agaknya langkah ini dapat di optimalkan dengan melakukannya secara merata di kampus-kampus di seluruh Indonesia atau melibatkan peran organisasi kepemudaan. KPPU dapat mengambil langkah sebagai programmer dalam menciptakan diskusi yang ilmiah dan kompleks, serta topik-topik yang berkembang terkait dengan persaingan usaha dalam dunia digital. Ketika KPPU mampu melukiskan efek laten dari persaingan usaha, tentunya akan memancing minat para pemuda agar sadar esensi dari persaingan usaha yang sehat, terlebih karena definisi persaingan usaha yang masih rumpang tertuang dalam UU 5/1999.
KPPU merupakan lembaga negara komplementer (state auxiliary organ), sehingga KPPU diharuskan berakselerasi guna mewujudkan misinya. Akselerasi peran KPPU penting, sebab urgensi pelaku usaha lokal di e-commerce domestik yang kian sedikit. Agar KPPU semakin mantap sebagai berrier, maka KPPU harus “GAUL” dalam mengahadapi era persaingan usaha e-commerce. Apa itu GAUL? GAUL merupakan singkatan dari Gagah, Aktif, Ulet dan Luwes.
Penulis membayangkan Pierlugi Collina (Kojak), tokoh yang paling pas merepresentasikan wasit “GAUL” dalam memimpin suatu pertandingan. Gagah dengan ketegasan dan kharismanya, ia mampu membuat nyali pemain paling sangar pun ciut. Sebab, Collina kokoh dengan keputusannya. Aktif, Collina sangat bugar karena pola hidupnya yang sangat disiplin. Sepanjang kariernya Collina memimpin 349 pertandingan, mendapat 6 penghargaan dari FIFA sebagai wasit terbaik dan dinobatkan sebagai wasit sepakbola terbaik sepanjang masa oleh France Football.
Collina merupakan Themis (dewi keadilan) bagi para pemain underdog. Ia merupakan tipe wasit yang dapat memberikan keseimbangan, tidak segan-segan memperingatkan pemain yang berlaku tidak sopan, rasis atau bahkan mengulur-ulur waktu. Disamping "keganasannya", Collina juga terkadang berperan sebagai seorang “penyemangat”.
Penulis kira inilah hal yang paling penting untuk digarisbawahi, kala itu pertandingan final Liga Champions 1999 yang mempertemukan Bayern Munchen dan Menchester United (MU). MU sempat unggul 2 gol, Collina tampak di lapangan memberikan semangat kepada para pemain Bayern.
Para pelaku usaha asing memiliki kekuatan modal dominan, sehingga pelanggaran akan semakin sering terjadi. Sementara UMKM kita berada pada posisi underdog. Karena alasan tersebut KPPU harus berprinsip GAUL, yaitu gagah, KPPU harus tegas menyikapi para pelaku usaha yang diskriminatif, terlebih para pelaku usaha yang coba-coba mengancam dan tidak patuh pada KPPU . Kedua, aktif, KPPU harus mampu sebagai katalisator ketaatan para pelaku usaha. Seperti yang sudah penulis singgung di atas, upaya KPPU dengan jemput bola, dengan mendorong kedutaan Jepang untuk memaksa para pelaku usahanya taat merupakan langkah strategis dan harus lebih masif dilaksanakan. Pun di saat yang sama KPPU harus berperan sebagai advokator bagi pegiat usaha, khususnya para wirasahawan muda yang melek digital. Tentu ini akan sangat menunjang efektivitas kelembagaan KPPU dalam menghadirkan ekosistem persaingan usaha yang sehat.
Ketiga, ulet, menyadarkan ketaatan persaingan usaha tidak mudah dan berat apalagi ketika KPPU dihadapkan dengan intervensi dan keburaman perkara. Seperti Collina, kecintaan pemain, menajer dan supporter kepadanya bukan dibentuk sehari-dua hari, namun puluhan tahun, sebagai sebuah lembaga yang tergolong muda, KPPU masih memiliki sejumlah PR besar untuk menarik trust masyarakat. Kepercayaan adalah soal konsistensi dan kejujuran. Jika KPPU tetap berprinsip untuk mendukung persaingan usaha yang sehat bagi pasar domestik, niscaya masyarakat akan mengapresiasi eksistensi dari kelembagaan KPPU.
Dan terakhir, dan tak kalah pentingnya, luwes. KPPU harus mampu sebagai oase di tengah kelesuan para pelaku usaha domestik. Menyontek sikap Collina lagi, ia mampu menumbuhkan ketaatan dan semangat bagi para pemain. Oleh karena itu KPPU sebagai wasit harus GAUL merepresentasikan semangat dunia usaha dan kemitraan yang sehat.
====
Penulis Mahasiswa Ilmu Politik FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]