Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Taput. Puluhan tahun, banyak yang beranggapan hanya omong-kosong berharap ada sekolah setingkat SMA di Kecamatan Pangaribuan, Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Nah, harapan itu kini segera menjadi kenyataan, tidak lagi sekadar mimpi. Tahun depan, 200-an siswa lulusan kelas tiga SMP yang ada di pedalaman Tapanuli Utara itu tak lagi harus menempu jarak hingga puluhan kilometer, bahkan hingga ke luar kabupaten untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA.
Kedua tangan Arifin Rudi Nababan diangkat ke atas. Matanya berbinar. Haru syukur tak tertahan saat ia mengabarkan berita gembira kepada warga dari beberapa desa di Kecamatan Pangaribuan bahwa akan segera dibangun SMA negeri di sana.
"Saya memahami betul, pendirian SMA ini adalah tidak gampang. Puji syukur, Pempropsu akan segera membangun, sertifikatnya juga telah terbit di atas lahan 12.100 meter persegi," kata Rudi dengan suara sedikit bergetar.
Di atas kursi plastik di perladangan Pagaran, di lahan bakal lokasi SMA negeri, Ketua DPRD Tapanuli Utara itu duduk. Ia bersama kepala desa dan sejumlah warga Desa Rahutbosi, yang tak sabar menunggu lanjutan ceritanya.
Ya, Senin (15/11/2022) petang itu, agenda rutin seorang wakil rakyat tengah berlangsung, yakni memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya, sekaligus mendampingi tim konsultan rancang bangun dari Dinas Pendidikan Nasional Sumut dit itik pembangunan unit sekolah baru (USB) SMA negeri di Desa Rahutbosi, Kecamatan Pangaribuan
Mendambakan hadirnya SMA negeri adalah jalan panjang berliku masyarakat 10 desa di Kecamatan Pangaribuan itu. Sekian lama, lulus SMPnegeri 2, 4, dan 5 yang ada di Pangaribuan, bila ingin lanjut sekolah, harus mendaftar ke SMA di Tarutung yang merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara dan SMK Siatas Barita. Jarak Pangaribuan-Tarutung dan Siatas Barita lebih 40 kilometer dengan waktu tempuh kendaraan bermotor sekira satu jam.
Sekilas potret kawasan, selain Rahutbosi, masih ada 25 desa lain di Pangaribuan. Pilihan SMA di Tarutung adalah yang terdekat. Tak sedikit warga Pangaribuan terpaksa mengirimkan anak mereka sekolah lebih jauh lagi ke kota tetangga, seperti Siborongborong, Balige, bahkan Kota Medan.
Lobi-lobi
Tersebutlah suatu hari, Gubernur Sumatera Utara berencana mendirikan sejumlah sekolah baru. Pikir Rudi, ini kesempatan yang tak mungkin dilewatkan begitu saja. Mengingat keterbatasan anggaran, butuh upaya ekstra berebut kesempatan tersebut.
Rudi mulai melakukan berbagai cara, mulai dari mendorong mitra kerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) melakukan kajian dan analisa kebutuhan sekolah baru di Pangaribuan, hingga turun langsung mengupayakan ketersediaan lahan.
Sepanjang tahun, hari-hari Rudi sarat akan diskusi. Tak bosan-bosan ia melobi pejabat di Dinas Pendidikan setempat, maupun mengumpulkan para pemangku kepentingan di kecamatan-kecamatan.
Hari-hari itulah ia kerap harus bijak menyikapi pandangan pesimis banyak orang yang meragukan ketersediaan lahan, sebagai syarat mutlak untuk perluasan dan pengembangan pembangunan sekolah.
Sempat pula terjadi salah paham dengan ratusan kepala keluarga keturunan 16 Ompu (nenek moyang) pemilik lahan desa. Belum lagi, lahan yang diperjuangkan untuk membangun sekolah sebenarnya masih produktif ditanami palawija.
Menghadapi persoalan ini, Rudi selalu mengedepankan langkah persuasif. Tak jarang, ia mengunjungi para kepala keluarga keturunan Ompu dari rumah ke rumah hingga larut malam.
Pada saat bersamaan, persiapan berkas mulai dilakukan, terutama terkait nama-nama yang akan menghibahkan tanahnya ke pemerintah.
"Datanya tidak boleh salah, terpaksa harus kita ketik hingga tengah malam, mencocokkan dengan KTP dan Kartu Keluarga," kenang Rudi.
Tak hanya di tingkat kabupaten, para pejabat di provinsi dan Jakarta pun dilobi. Sebutlah antara lain Tuani Lumbantobing, anggota DRPD Sumatera Utara dari Fraksi PDIP. Saat yang bersangkutan reses ke daerah, Rudi membujuk kolega separtainya itu agar mau memperjuangkan proposalnya di tingkat provinsi.
Selanjutnya, Rudi juga intensif berdiskusi dengan ketua partainya di DPC PDIP Tapanuli Utara, yang tak lain adalah Bupati Taput Nikson Nababan. Suatu malam, Rudi meminta Bupati menemaninya bertemu Ketua DPRD Sumatera Utara Baskami Ginting.
"Kau Rudi, ada-ada saja urusanmu. Apakah kau yakin sekolah itu akan terbangun di sana? Yah sudah, kamu ikut ke Medan," begitu kata Bupati yang diingat Rudi.
Tidak berhenti di sana, ia lantas melakukan komunikasi dengan petinggi PDIP di Jakarta. "Melalui ajudan, saya menghubungi Pak Sukur Nababan, Anggota DPR-RI yang merupakan ketua DPP PDIP. Saya minta dukungan, paling tidak mengkomunikasikan dengan Ketua DPRD Sumatera Utara Baskami Ginting, yang juga kader PDIP," ungkapnya.
Meski begitu, sempat masalah teknis di sistem penganggaran menjadi penghalang. Anggaran untuk pembangunan SMA di Rahutbosi belum ditampung di Usulan Perubahan APBD Sumatera Utara Tahun 2022. Beruntung, di injury time, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akhirnya mem-floating anggarannya dengan catatan administrasi status lahan harus jelas, yakni bersertifikat.
Bergegas, Rudi bersama sejumlah teman mengurus sertifikat ke BPN. Suatu pekerjaan yang juga tidak mudah, mengingat batas waktu penganggaran yang tinggal seminggu. Setengah memaksa, ia minta aparat BPN segera mengukur dan melakukan proses penerbitan sertifikat.
Sertifikat terbit, persyaratan terpenuhi. Kini giliran konsultan rancang bangun dari Dinas Pendidikan Sumatera Utara yang turun ke Desa Rahutbosi untuk memetakan titik-titik lokasi pembangunan SMA yang diperkirakan menelan biaya Rp 3 miliar pada tahap pertama, awal 2023.
Dilahirkan
Layaknya seorang wakil rakyat, sudah menjadi tugas Rudi untuk selalu menemui para konstituen. Tak terkecuali masyarakat di desa-desa pedalaman yang memang menjadi basis suaranya.
Pertemuan harus memberi manfaat, sekalipun di luar keahliannya. Semisal, saat ada serangan monyet ke ladang jagung petani, Rudi ikut berjaga di gubuk warga, sembari berdiskusi mencari solusi.
"Kalau petani sudah jengkel, bisa saja menembaki monyet. Itu kan ga betul, karena ada UUD Perlindungan Satwa. Nah, kita cari solusi, sampai akhirnya kita berpikir untuk menanam jambu biji, memberikan makanan di luar kampung, dengan maksud menahan monyet supaya tidak memasuki areal perladangan jagung," kisahnya.
Perhatian pada hal-hal kecil juga kerap dilakoni. Suatu malam, Rudi diketahui berada di Rumah Sakit Umum Tarutung. Bukan ia yang sakit, melainkan sedang mendampingi pasien yang dibawanya dari Kecamatan Garoga. Saat di rumah sakit itu, Rudi tak segan-segan membersihkan lantai dan tempat tidur, hingga membantu si pasien buang air besar. Kelakuan si wakil rakyat, yang tanpa merasa risih membantu pasien ini, sempat membuat para perawat terkejut.
Nah, jauh sebelum menjadi wakil rakyat, Rudi sebenarnya sudah terbiasa berbaur dengan masyarakat dari berbagai kalangan. Ia yang menjadi anggota DPRD dari Daerah Pemilihan Garoga, Pangaribuan dan Sipahutar, ternyata bukanlah asli putra kampung setempat.
Rudi Justru kelahiran Siborongborong. Belum lagi bicara kondisi geopolitik, fakta garis marga Nababan dan Sihombing sangat sedikit di dapilnya.
Namun, Rudi memegang teguh satu filosofi hingga tak ada yang tak mungkin. Ia menyebut dirinya bukan 'dipilih' tetapi 'dilahirkan' menjadi wakil rakyat.
"Kalau dilahirkan akan sulit melupakan, seperti kita terhadap orangtua. Lain kalau dipilih, beragam dimensi menjadi pertimbangan untuk bisa melupakan,” pesan Rudi.
Filosofi itulah yang mendorongnya untuk terus mengabdi, membela, membangun daerah dan rakyat yang diwakilinya.