Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEBUAH excavator atau alat berat beko terlihat sedang meratakan jalan penghubung dua kabupaten di tepi Danau Toba, yaitu antara Samosir dan Humbang Hasundutan (Humbahas). Sekilas pengerjaan jalan ini menampilkan majunya pembangunan infrastruktur. Betul, namun perlu kita lihat lebih jeli ke dalam seperti apa rupa proses yang berlangsung itu.
Jalan ini berada tepat di Sosor Pea dan Onan Singarngar dengan panjang sekitar 5 kilometer. Topografinya berkelok dan menanjak. Tidak terlalu curam. Tidak juga menyeramkan. Justru ketika melintasi kelokan jalanan ini keindahan Danau Toba terhampar lapang di pandangan. Sesuatu yang sangat kami bangga-banggakan sebagai orang kampung situ.
Jalan provinsi ini dibuka pada 1996 di penghujung masa orde baru. Waktu itu saya masih ingat betul bagaimana riang gembiranya kami di kampung menyambut pembukaan jalan. Para perantau pun ikut senang, bangga berkendara saat pulang Natal dan Tahun Baru. Ya, 26 tahun lalu jalan ini dibuka rasanya sudah seperti berkat tersendiri bagi kami.
Oya sebelum lebih jauh, jalan ini secara administrasi terletak di Desa Janjiraja yang persis bertemu di pinggang bukit antara Janjiraja dan Tipang. Lebih luas dari soal administrasi, jalan ini adalah kepentingan bersama antara Janjiraja dan Holbung yang bersebelahan langsung. Dan sebenarnya Janjiraja Holbung adalah satu kesatuan, kecuali urusan administrasi negara yang terbagi ke dua desa.
Sampai di situ jelas ya. Sekarang mari kita membuka cerita sebenarnya di balik pengerjaan jalan yang saya sebutkan di awal. Jalan yang usianya jika diibaratkan ke manusia, itu sudah dewasa, namun sayangnya selama 26 tahun pulalah ia tak pernah diaspal. Begitu dibuka tahun 1996, maka sampai sekarang seolah tutup bukulah sentuhan akhirnya (finishing), yaitu pengaspalan.
Apa sebab? Hanya Tuhanlah dan pengambil kebijakan yang paham. Tapi memang ada riwayat perpindahan administrasi yang terjadi di sana. Saat jalan dibuka, kami, sebagaimana umumnya daerah-daerah lain masih berkabupaten Tapanuli Utara. Lantas mulailah musim pemekaran daerah, di mana Kabupaten Toba Samosir (yang kini jadi Kabupaten Toba) berdiri pada 9 Maret 1999, mekar dari Kabupaten Tapanuli Utara. Janjiraja Holbung ikut Tobasa.
Tak berhenti di situ, dengan alasan memperlancar pembangunan atau pemerataan pembangunan atau mempercepat pembangunan atau macamlah sebutannya, Samosir memekarkan diri dari Toba. Tahun 2004, Kabupaten Samosir mekar sampai hari ini di mana Janjiraja Holbung masuk dalam administrasi ini.
Perkembangan demi perkembangan terjadi di sekeliling Danau Toba. Jalan lingkar Danau Toba kemudian berada langsung di bawah tanggung jawab pemerintah provinsi per tahun 2018. Dampaknya, jalan yang sedang kita bahas ini masuk dalam rancangan demi rancangan pengganggaran Pemprovsu. Namanya rancangan bukanlah sesuatu yang pasti. Demikianlah rancangan ini berulang-ulang dari masa ke masa.
Barangkali karena jalan ini sudah berada dalam proporsi Pemprov, lantas Pemkab sibuk mengurusi yang lain. Apakah keganjilan ini dapat dimaklumi atau tidak, silakan dinilai. Anehnya, ketika mau pilkada para calon bupati tak lupa mengambil hati masyarakat Janjiraja Holbung dengan mengunjungi sampai menjanjikan pembangunan yang kami nantikan. Itu artinya apa?
Berarti urusan jalan ini sekalipun menjadi tanggung jawab Pemprov, bupati tidak bisa terlepas begitu saja. Apes, begitu sang calon bupati terpilih menjadi bupati, agendanya pun berfokus dan berpindah entah ke mana.
Seperti apa sih kondisi jalan ini? Jalan berkelok yang menghubungkan simpul kabupaten di tepi danau ini telah berubah menjadi paritan air hujan yang membelah badan jalan. Ditambah materialnya yang berupa tanah merah semakin memperparah kondisi jalan. Jangankan roda empat, roda dua saja tunggang langgang melintasinya. Gerimis saja bisa sangat membahayakan pengendara. Roda dua misalnya jika tergelincir bisa terbang ke jurang yang mengintip nyawa.
Tidak jarang truk pun sering terjebak. Bahkan terguling bak bersalto, roda menghadap langit. Mobil lainnya juga tak jarang tertahan dan harus digotong-royongkan warga agar dapat keluar, yang lantas membuat si sopir tak ingin kembali melintasinya.
Lantas segenting apa jalan ini? Jarak pendek yang hanya lima kilometer sangat penting dan mendesak bagi warga Janjiraja Holbung. Kami ingin segera bisa terkoneksi setiap saat dengan siapa saja yang bisa menukarkan komoditi pencaharian kami menjadi sumber ekonomi yang tinggal di kampung. Urusan anak-anak yang bersekolah ke SMA bahkan perguruan tinggi menjadi sangat signifikan terhadap kebutuhan infrastruktur jalan yang bagus.
BACA JUGA: Simarboru: Urai Konflik dengan Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat
Lagipula jalan ini penting sekali untuk daya dukung pariwisata. Presiden Jokowi sudah menentukan Danau Toba sebagai salah satu daerah tujuan wisata super prioritas. Yang dimaksud Danau Toba adalah keseluruhan kawasan danau raksasa itu, bukan hanya di Tomok, Si Bea Bea, Parapat, dan sebagainya.
Janjiraja Holbung adalah salah satu kawasan penyangga Danau Toba. Perlakuan terhadap kampung penyangga harusnya menjadi satu perhatian khusus yang ditempatkan pemerintah, khususnya pemkab. Belum lagi sebagai kampung yang berbatasan dengan kabupaten tetangga seharusnya Pemkab Samosir dapat mendukung kebutuhan di kampung indah yang penuh pesona ini.
Permintaan pengaspalan saya kira tidak ada yang aneh di situ apalagi berlebihan. Bukankah pembangunan memang sudah tangung jawab bersama yang dalam hal ini otoritasnya dipegang oleh pemerintah terdekat yaitu pemkab? Atau jika ada anggapan yang mengerdilkan kontribusi pajak dari Janjiraja Holbung untuk PAD, saya kira itu juga adalah anggapan licik yang tak sehat. Pemkab Samosir seharusnya menunjukkan tanggung jawabnya dalam memeratakan pembangunan di daerahnya.
Dalam kondisi bertahun-tahun mengharap lirikan pemerintah akan perbaikan jalan, tapi tak berwujud pasti, langkah nyata akhirnya diambil oleh masyarakat Janjiraja Holbung. Kami bangkit bergerak secara mandiri. Kami menunjukkan kalau pemerintah terkait di sini lemah, maka kami bisa. Jika pemerintah terkait tidak bergigi atau fokus mengurusi diri sendiri, kami bisa.
Sudah puluhan tahun menunggu tanggung jawab pemerintah, namun tak ada kepastian. Rakyat yang membayar pajak meminta pembangunan seolah dianggap mengemis. Saya kira dengan swadaya warga dan perantau, ini menunjukkan bahwa warga jauh lebih berdaya daripada pemerintah.
====
Penulis adalah putra Holbung.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]