Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DALAM banyak kesempatan ketika membeli barang sering ada ungkapan yang mengingatkan “Jangan lihat casing atau sisi luarnya, tapi periksa dulu isinya”. Ungkapan yang sejatinya sangat tepat untuk menggambarkan praktik politik dalam beberapa hajatan politik beberapa tahun terakhir.
Terutama jika melihat praktik dan perilaku aktor serta partai politik di beberapa kontestasi demokrasi belakangan, sangat jelas terlihat praktik yang menonjolkan “selubung luar”, yang didominasi dengan model berpakaian, gaya komunikasi, agama atau keyakinan sebagai profiling untuk menarik simpati dan emosi masyarakat.
Sehingga perilaku politik seperti tidak berbeda dengan tayangan sinetron yang mudah berubah peran, gaya, ekspresi, sesuai dengan dengan kebutuhan yang ingin ditampilkan dihadapan media cetak, elektronik, dan online untuk membangun opini masyarakat terhadap partai atau pribadi yang bersangkutan, layaknya bunglon yang selalu berubah menyesuaikan lokasi dan situasi.
Praktik politik dan demokrasi yang sangat menonjolkan kekuatan pada pencitraan mengakibatkan minusnya praktik politik dan demokrasi yang memperdebatkan, mempertarungkan atau mengadu visi, misi, gagasan dan program sebagai amunisi.
Kalaupun ada perdebatan yang terjadi tidak lebih dari kritik terhadap situasi dan kepemimpinan yang ada untuk mendukung kepemimpinan lainnya, tanpa memberikan tawaran solusi kongkret yang layak diperdebatkan hingga dilaksanakan.
Sehingga mengesankan panggung politik dan demokrasi seolah hanya panggung pertunjukan yang menguras emosi dan menarik simpati tanpa substansi, terutama bagaimana mewujudkan amanat konstitusi yang berlandaskan nilai keadaban, pemberdayaan, keadilan dan kemanusiaan.
BACA JUGA: Runtuhnya Moralitas Sebuah Bangsa
Karena, sejatinya demokrasi adalah perangkat dari politik atau usaha yang dilakukan oleh setiap orang untuk mewujudkan kebaikan bersama dengan standar etika, moral dan integritas yang berisikan perdebatan visi, misi, program atau konsepsi pada arah kebijakan, tata kelola dan partisipasi.
Disinilah perlu dipahami bahwa demokrasi merupakan panggung pertarungan gagasan, visi, misi hingga program kerja yang tergambar menjadi suatu konsepsi yang diperdebatkan, dikritisi hingga beradu argumentasi untuk bisa saling mengadopsi, mengispirasi dan beraspirasi dalam membangun kualitas demokrasi.
Demokrasi Tanpa Konsepsi
Melihat kesibukan partai politik dan aktor politik yang seperti sudah bersiap menuju perhelatan Pemilu serentak pada 2024, sejauh ini belum ada yang menjelaskan atau menawarkan konsepsi setelah berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, gubernur, bupati dan wali kota yang akan diperebutkan pada Pemilu 2024.
Walaupun beberapa kampanye dan safari politik terselubung dalam berbagai kegiatan sudah ada yang melakukannya, tapi sayangnya belum ada partai politik atau calon yang mampu atau berani menjelaskan dan memberikan sebuah konsepsi sebagai pokok argumentasi dan diskusi kepada masyarakat.
Konsepsi yang seharusnya menjadi dasar untuk menghitung komitmen partai dan calon pemimpin sebagai lukisan pemikiran yang jelas tentang perencanaan dan pelaksanaan program ketika menjalankan pemerintahan saat terpilih, seolah sengaja tidak dihadirkan kedalam ruang publik.
Seperti dalam beberapa perhelatan pemilihan umum masyarakat sangat jarang dapat menemukan kontestasi pertarungan konsepsi atau gagasan, hingga solusi setiap permasalahan, namun justru dijebak dengan tampilan partai dan calon yang mengarah pada penggalangan sentimen suku, agama dan ras dan pesona personal calon eksekutif dan legislatif.
Sehingga kontestasi demokrasi akhirnya gagal menjadi ruang yang mempertemukan pertarungan gagasan atau konsepsi, gagal menjadi panggung partisipasi dan asiprasi bagi masyarakat, dan gagal menguji kemampuan partai politik dalam mengakomodir, berkompromi hingga bernegoisasi tentang gagasan dan kebijakan hingga calon pemimpin untuk mencapai amanat konstitusi.
Justru yang tetap mengemuka adalah praktik politik pencitraan personal, kelompok dan partai dalam selubung pendekatan sentiment emosional pemilih untuk membutakan mata para pemilih sebagai objek pendulangan suara.
Bahkan tidak jarang proses pemilihan calon pemimpin dari tingkat nasional hingga lokal terjadi dengan fleksibilitas yang sangat longgar, apakah dalam hal koalisi dan oposisi atau apapun namanya, seolah tidak lebih dari hanya pertemuan titik kepentingan antar elit partai.
Partai dan calon seolah tidak memiliki basis ideologi atau pemikiran yang konsisten sebagai garis strategi dan jalan politiknya, karena justru sering terlihat tidak relevan dalam jalinan kerjasama yang dibangun, baik dari rekam jejak atau track record dengan basis pemikiran yang sering digaungkan atau disemboyankan.
Padahal proses rekrutmen calon eksekutif dan legislatif dalam Pemilu seharusnya adalah ruang utama dari tanggungjawab tugas dan fungsi partai politik, sehingga penentuan kredibilitas, kapabilitas dan kualitas partai politik pada basis pemikiran atau ideologinya dapat terlihat secara nyata ketika memberikan calon yang akan dipilih masyarakat.
Dalam banyak kesempatan partai politik sangat sering terlihat menggunakan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan calon eksekutif atau legislatif yaitu kemampuan ekonomi (sumbangan ke partai berupa uang saksi dan lainnya), koneksi keluarga atau bisnis dan popularitas.
Faktor yang sering tanpa penjelasan yang lengkap dari sudut rekam jejak standart etika, moralitas, integritas, pemikiran dan karya sebelumnya yang membuat calon bersangkutan layak dipilih untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sesuai dengan basis pemikiran partai.
Faktor popularitas dan koneksitas yang sering digunakankan pada akhirnya sering mengabaikan persoalan kapasitas dan kapabilitas, disinilah sering membuat pemilih dihadapkan pada memilih “ kucing dalam karung “.
Karena kaburnya penjelasan dan rekam jejak calon yang akan diberikan dari segi etika, moralitas, integritas dan gagasan hingga prestasi yang dimiliki dalam memperjuangankan konsepsi pemikirannya, tanpa rekam jejak tentunya akan sangat sulit untuk mengukur stadart etika, moralitas hingga integritas.
Jika melihat perkembangan menjelang Pemilu 2024 sepertinya tradisi politik pencitraan dan kritik tanpa solusi serta isi akan tetap berlangsung, karena hampir semua partai dan calon yang diajukan lebih mengutamakan casing atau selubung luar dalam menarik simpati dan empati masyarakat.
Kritik dan masukan dari masyarakat selaku pemberi mandat kepada partai politik sebagai pemilik tugas dan fungsi rekrutmen pejabat publik, terkait persoalan kapasitas, kapabilitas dan integritas calon eksekutif dan legislatif seperti terabaikan hingga kini meskipun sudah berulangkali disuarakan.
Beragam kritik terkait standart mutu dan kualitas calon pejabat publik dari masyarakat seharusnya menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan bagi partai politik, karena sesungguhnya kinerja para eksekutif dan legislatif yang terpilihlah, menjadi cermin konsistensi basis pemikiran atau ideologi partai politik.
Karena dalam UU Nomor 2/2008, pasal 10, ayat 1, menjelaskan bahwa peran partai politik adalah meningkatkan, memperjuangkan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat yang kemudian dituangkan dalam program-program konkret yang dapat terlaksana.
Konsepsi Sebagai Pondasi Demokrasi
Proses penentuan calon eksekutif dan legislatif untuk mengikuti Pemilu mungkin tinggal menunggu waktu pengajuan dan penetapan, karena pengesahan partai politik untuk mengikuti Pemilu telah ditetapkan.
Salah satu yang patut ditunggu adalah penawaran konsepsi atau gagasan 17 Partai Politik yang akan mengikuti Pemilu, terutama penjelasan arah kebijakan, strategi penggerakan komponen negara dan demokrasi, serta fokus pembangunan untuk masa pemerintahan 2024 – 2029.
Dari pertarungan konsepsi 17 partai politik dan calon yang diajukan kepada masyarakat maka akan terlihat kualitas integritas, kualitas dan otoritas partai politik, sebagai karakter dan perilaku etis yang bersifat moral dan personal.
Integritas sebagai cermin dari satunya pikiran, perkataan dan perbuatan, keteguhan dalam menjalankan komitmen, konsisten menjalankan prinsip, serta keberanian untuk memikul tanggung jawab akan terlihat kualitas dan otoritas partai politik.
Dari konsepsi juga akan terlihat kapabilitas, yang merupakan gabungan dari motivasi, pengetahuan dan keterampilan partai dan calon eksekutif dan legislatif untuk menjelaskan solusi, strategi dan pilihan kebijakan akan mengukur kualitas dan rekam jejaknya.
Konsepsi juga mencerminkan manajerial otoritas, yang merupakan kewenangan partai politik secara formal untuk menggerakkan calon eksekutif dan legislatif, yakni menggunakan otoritas yang dimiliki sebagai alat yang efektif untuk menerapkan, memilih, melaksanakan program dan mencalonkan pelaksana untuk mewujudkan konsepsi pemikiran.
Maka harapan panggung demokrasi dalam Pemilu 2024 adalah berisikan pertarungan konsepsi antar partai dan calon yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam pertarungan suku, agama, ras dan iming - iming uang.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]