Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemerintah diminta untuk membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Keberadaan PP tersebut dipandang dapat menyusahkan nelayan. Padahal usaha penangkapan ikan di laut berisiko tinggi. Hal ini juga yang membuat tidak ada BUMN yang terjun ke bisnis ini.
Pengamat sosial, Rudy Herawady SH, dalam keterangannya, Rabu (22/3/2023) mengatakan, adanya PP tersebut dapat menjadi beban, khususnya biaya yang harus dikeluarkan nelayan.
Hal ini disebabkan dalam PP No 11 Tahun 2023 tersebut, nelayan dikenakan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terhadap hasil tangkapannya setiap kali melaut.
"Untuk kapal dengan ukuran 60 GT ke atas, pungutan PNBP yang dikenakan sebesar 10% dari penghasilan setelah nelayan membongkar ikan tersebut. Sedangkan untuk kapal dengan ukuran 60 GT ke bawah dengan pungutan PNBP sebesar 5%," jelasnya.
Hal ini, ujar Rudy Herawady, berbeda dengan aturan sebelumnya dimana pungutan PNBP hanya dikenakan satu kali saja, yaitu saat mengurus izin SIUP dan SIPI kapal ikan.
"Hal ini dapat menjadi beban bagi nelayan. Terlebih usaha penangkapan ikan ini berisiko tinggi. Belum tentu hasil tangkapan dapat menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Banyak faktor yang menentukan," jelasnya.
Rudy Herawady SH mencontohkan, untuk kapal dengan bobot 30 GT membutuhkan biaya sebesar Rp 40 juta hingga Rp 50 juta untuk sekali melaut. Biaya itu untuk membeli BBM dan akomodasi nelayan selama melaut.
"Sedangkan hasil tangkapan ikan nelayan banyak faktor yang menentukan. Selain volume hasil tangkapannya, faktor gelombang laut, banyaknya es yang dibutuhkan dan kualitas ikan saat tiba di dermaga, juga menentukan penghasilan nelayan tersebut," jelasnya.
Rudy Herawady mengatakan, nelayan menerapkan sistem bagi hasil atas penghasilan yang diperoleh. Para nelayan tersebut tidak memiliki gaji bulanan yang tetap.
"Karena itulah, usaha penangkapan ikan ini merupakan usaha yang berisiko tinggi. Belum tentu biaya yang dikeluarkan nelayan sebanding dengan penghasilan yang diterima. Terbukti tidak ada BUMN yang berani terjun ke lini usaha penangkapan ikan. Yang ada hanya usaha jual beli ikan," tuturnya.
Rudy Herawady mengatakan, disisi lain, kondisi kapal nelayan Indonesia umumnya terbuat dari kayu, berbeda dengan kapal nelayan di Jepang atau Eropa yang umumnya terbuat dari besi atau baja. Sehingga daya tahan kapal nelayan Indonesia berbeda dengan kapal nelayan Jepang atau Eropa tersebut.
"Karena itu, saya minta agar pemerintah membatalkan PP No 11/2023 tersebut. Aturan ini saya lihat akan memberatkan nelayan, menambah biaya nelayan, dan juga bisa mengurangi penghasilan mereka," ujarnya.