Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae meminta bank memperkuat tata kelola dan manajemen risiko. Sebab saat ini, perbankan global sedang mengalami tekanan yang disebabkan oleh sejumlah faktor.
Hal tersebut diungkapkan olehnya saat Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae telah menghadiri pertemuan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) di Hong Kong, beberapa waktu lalu.
"Pentingnya perbankan untuk kembali pada praktek-praktek perbankan yang sehat dengan menjaga keseimbangan manajemen aset dan kewajiban, rasio modal yang memadai serta ketersediaan likuiditas pada rentang yang aman," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (28/3/2023).
Ia mengatakan BCBS menilai kondisi makro ekonomi global saat ini sedang dalam tataran yang sangat dinamis. Di mana pergerakan inflasi global sedang meningkat akibat disrupsi rantai pasok komoditas dan energi yang telah direspon melalui kenaikan suku bunga di berbagai yurisdiksi.
Menurutnya, kondisi tersebut akan menekan pertumbuhan ekonomi global. Perubahan kondisi makro yang cepat bisa memberi tekanan pada industri keuangan, khususnya perbankan.
Belum lagi penutupan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat pada dasarnya dipicu masalah teknis individu bank terkait mismatch asset & liabilities management yang tidak di-cover dengan ketersediaan likuiditas. Serta modal yang memadai telah memicu permasalahan psikologis dengan turunnya kepercayaan pada institusi keuangan.
"Dampaknya, penurunan kepercayaan tersebut telah memberi efek rambatan pada beberapa bank lain dan menyebar lintas yurisdiksi," tuturnya.
BCBS menegaskan perlu kerja sama antara otoritas untuk bertindak cepat dalam menghadapi permasalahan bank dalam rangka menjaga kestabilan sistem keuangan global.
"Kerentanan yang saat ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia," ungkapnya.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudential yang tetap di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 25,93 persen dan sekitar 85 persen komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti (Tier 1 capital; CET 1).
Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52 persen dan Eropa sebesar 16,13 persen. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 232,22 persen dan 134,58 persen.
"Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43 persen dan 123,20 persen serta perbankan di Eropa sebesar 152,39 persen dan 120,21 persen," ungkapnya.
Belajar dari kegagalan Silicon Valley Bank, pentingnya kecukupan rasio modal dan ketersediaan likuiditas yang memadai. Biaya modal serta ketersediaan likuiditas dalam jumlah yang cukup memang dianggap mahal dan tidak efisien.
Ia menjelaskan BCBS turut mengingatkan bahwa keterbatasan modal dan likuiditas akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar apabila industri perbankan gagal dalam mengantisipasi pergerakan/gejolak makroekonomi global dan gagal dalam menjaga kepercayaan masyarakat.
"Biaya ekonomi dan sosialnya akan sangat besar dan jauh lebih mahal terlebih apabila hal tersebut memicu efek rambatan (spillover effect) secara global. Kasus kegagalan SVB atau Lehman Brother sebelumnya telah memberi pelajaran yang sangat berharga," katanya.
Sejalan dengan arahan BCBS, Dian meminta agar perbankan Indonesia terus memperkuat penerapan tata kelola, manajemen risiko, dan prinsip kehati-hatian. Adapun prinsip kehati-hatian dengan cara melakukan stress testing, pemantauan terhadap portofolio aset, liabilitas bank termasuk risiko konsentrasi pada pinjaman, dan pendanaan.
"Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga," ungkapnya.
Selanjutnya dalam menyikapi kasus SVB dan efek rambatannya, meski dampaknya minimal pada industri perbankan Indonesia, kepada perbankan agar prinsip-prinsip dasar kehati-hatian terus menjadi perhatian," sambungnya.
Menurutnya, rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi harus tetap dijaga. Praktek-praktek excessive risk taking behaviour yang spekulatif harus dihindari. Selain itu, untuk menguji ketahanan perbankan, secara regular perbankan diminta melakukan stress test pada berbagai skenario.
Ia menekankan dinamika global dan kebijakan makroprudensial yang cepat perlu terus diantisipasi dengan seksama. Tensi geopolitik global dan volatilitas kondisi pasar masih akan terus terjadi dengan berbagai dinamikanya. Sepanjang prinsip kehati-hatian dan praktek perbankan yang sehat terus dijaga, perbankan Indonesia akan tetap resilien dan akan terus bertumbuh dengan sehat sebagaimana kondisi saat ini.
"OJK akan terus memperkuat koordinasi antara otoritas terutama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna memastikan stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga," tutup Dian.(dtf)