Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PROSES tahapan untuk pelaksanaan Pemilu serentak 2024 telah berjalan dengan harapan akan menjadi peretas untuk mencapai beberapa agenda reformasi yang belum berjalan sebagaimana mestinya.
Pemilu sebagai media demokrasi yang seharusnya berkorelasi dengan perkembangan budaya politik yang baik, tentunya sangat membutuhkan akuntabilitas dan integritas politik untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, sebagaimana amanat UUD 1945.
Belajar dari 5 pelaksanaan Pemilu pasca reformasi dengan berbagai perubahan sistem dan mekanisme penyelenggaraan untuk mewujudkan lahirnya rasa jujur dan adil, justru seperti mengarah pada proyeksi demokrasi seperti pasar yang penuh dengan keriuhan, keributan dengan berbagai teatrikal untuk menarik perhatian publik.
Seolah demokrasi menjadi pasar yang berisi berbagai pamflet, spanduk, baliho hingga iklan berserta seluruh simbol dan atribut baik secara kelembagaan atau personal, karena berbagai ruang publik, sudut kota, dan jalanan berubah menjadi ruang pengenalan aktor politik tanpa tahu mutu dan kualitasnya.
Termasuk media massa seolah menjadi alat kampanye partai politik yang dimiliki atau terafialisi dengan pimpinan partai politik atau jaringannya, karena lebih sering menayangkan acara atau berita partai politik daripada sebagai pilar demokrasi atau memberikan pendidikan politik dengan menyuguhkan keseimbangan informasi.
Budaya Politik Uang dan Pembusukaan Demokrasi
Syarat utama kemajuan demokrasi adalah kemajuan budaya politik ke arah yang lebih baik, bukan sebatas aturan mengatur ruang formil seperti terselenggaranya pemilu sebagai sarana pergantian kekuasaan secara berkala.
Karena cermin utama dari kemajuan demokrasi adalah kualitas praktek budaya sportifitas, integritas dan akuntabilitas seluruh aktor dan penyelenggara, untuk melahirkan harmonisasi keadilan dan kebijaksanaan, sehingga menciptakan kebersamaan yang tidak hanya bertujuan aku, kamu, kami dan kita, tapi tujuannya adalah untuk semua warga.
Namun sayangnya 25 tahun reformasi saat ini justru mengingatkan akan resiko proses pembusukan demokrasi (democratic decay) yang bisa bercirikan, seperti massifnya nepotisme politik yang seolah menguasai sistem dan kultur politik, sehingga sangat sulit mengharapkan terjadinya proses check and balances.
Kuatnya budaya korupsi dengan semakin menyatunya antara kekuatan ekonomi dan politik yang sangat jelas terlihat dalam komposisi aktor yang berada di ruang pengambil kebijakan seperti ekseklutif dan legislative sehingga menjelaskan proses pembentukan oligarki politik dan ekonomi.
Pemilu langsung dengan sistim multi partai dan proposional terbuka pada akhirnya mendorong kompetisi internal partai dan antara partai politik, dari saling serang ide menjadi serangan personal, hingga saling serang jumlah uang bagi pemilih, sehingga praktek demokrasi dalam Pemilu seolah menjadi pasar bebas yang berbiaya tinggi.
Dari praktek politik uang inilah pintu masuk penguasaan komposisi penguasaan ruang pengambil kebijakan kemudian sangat mudah dikuasai penyatuan kepentingan kekuatan ekonomi dan politik yang akhirnya membuat proses pembusukaan demokrasi berlangsung secara massif.
Karena proses pergantian kekuasaan secara berkala dalam Pemilu tidak lagi didominasi keterpanggilan pemilih untuk memilih yang terbaik dari faktor latar belakang, rekam jejak, integritas, dedikasi dan gagasan, tetapi dari jumlah uang atau alat bayar lainnya sebagai faktor dominan untuk memilih seseorang, sehingga calon yang menggunakan uang jauh lebih berpeluang terpilih daripada calon yang tidak menggunakan uang.
Masifnya praktek politik uang pada akhirnya membuat para aktor politik harus menghitung keuangannya untuk ikut dalam arena Pemilu, sehingga menjadi hal yang lumrah kemudian menjalin kerjasama dengan para aktor ekonomi yang memiliki uang banyak untuk membiayai keikutsertaannya dalam pemilu dengan berbagai konsesinya.
Pada titik inilah kemudian prores terbentuknya oligarki dimana kebijakan publik tidak lagi mempertimbangkan tujuan bersama seluruh warga, tetapi pada tujuan dan diatur oleh aku, kamu, kami dan kita atau kasarnya kebijakan yang lahir hanya oleh, dari dan untuk segelintir orang.
Fenomena oligarki kemudian akan terindetifikasi sebagai budaya korupsi yang terlihat dari pengaruh politik transaksional terutama politik uang yang sangat tinggi dalam proses Pemilu yang ditawarkan kepada pemilih melalui tim sukses aktor peserta sebagai calon legislatif atau eksekutif.
Sehingga secara prosedural proses Pemilu dengan sistim multipartai dan proposional terbuka sudah berjalan sangat demokratis, tetapi secara budaya dan substasi tujuan justru demokrasi menuju jalan pembusukan.
Akibat dari pemilih sebagai representasi pemilik kedaulatan yang bisa dikatakan “sudah dibayar“ untuk memilih dan media massa yang sudah terkooptasi partai, maka akan mempersulit tindakan kontrol sosial, yang berimplikasi pada ruang politik tidak lagi menjadi ruang asipirasi masyarakat karena pihak pemilih, media dan aktor terpilih sudah tidak memenuhi kredibilitas moral.
BACA JUGA: Ketimpangan Ekonomi dan Politik Uang
Tidak terpenuhinya kredibilitas moral adalah dampak langsung dari pembusukaan demokrasi yang sangat memungkinkan terjadinya negara gagal akibat kebijakan publik lebih menjadi sarana penyatuan kepentingan bagi aktor politik dan aktor ekonomi.
Ketika pengambil kebijakan jauh dari kepentingan seluruh warga, maka akan menyebabkan rendahnya jaminan hak dan keamanan untuk semua warga negara, kegagalan memenuhi kebutuhan rakyat, korupsi dilakukan lembaga – lembaga demokrasi dan hukum, bermunculannya konflik horizontal akibat akses ekonomi, dan akhirnya akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perangkat negara, yang merupakan ciri negara gagal.
Mencegah Pembusukan Demokrasi
Dari gambaran situasi diatas seharusnya melahirkan kesadaran kolektif masyarakat bahwa ibu dari korupsi adalah akibat dari proses keterpilihan pemimpin atau wakil rakyat yang berbiaya tinggi dimana salah satunya adalah menyuap pemilih untuk memilih.
Karena perilaku penerimaan praktik politik uang saat proses pemilihan akan menyebabkan calon yang terpilih akan berusaha untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan, sehingga dapat disimpulkan salah satu penyebab tingginya praktek korupsi adalah akibat praktek jual beli suara pemilih.
Maka sangat penting untuk masyarakat pemilih menghindari praktek jual beli suara atau menerima suap untuk memilih dalam seluruh proses pemilihan dalam Pemilu serentak 2024, dan partai politik yang berfungsi melakukan seleksi, pemilihan serta menetapkan calon untuk menjadi peserta yang dipilih secara tegas melarang praktek politik uang.
Karena Pasal 515 UU 7/2017 tentang Pemilu, politik uang merupakan perbuatan yang dilarang, dan menjelaskan bahwa setiap orang yang memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya agar pemilih tak menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 Juta.
Jika budaya politik uang sebagai akar korupsi dapat dihilangkan, maka kemungkinan penyelenggaran demokrasi membuka ruang partisipasi dan kontrol sosial akan semakin membaik, karena semua pihak dapat menjaga kredibilitas moralnya.
Kredibilitas moral yang jauh dari politik uang dan transaksional karena bertumpu pada pilihan dan keterpilihan yang bersandar pada kualitas moral, integritas, akuntabilitas, rekam jejak dan gagasan calon, yang cepat atau lambat akan memperbaiki kualitas demokrasi, budaya dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]