Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Insan perfilman di Medan dan Aceh tengah harap-harap cemas. Mereka merasa, semakin ke sini, iklim perfilman semakin tak guyub.
Selain berhadapan dengan raksasa kapital, perspektif perfilman di masyarakat juga dirasa semakin terkristalisasi. Dari amatan mereka, penerimaan masyarakat terhadap sebuah film, saat ini lebih dibentuk oleh market, dan sering menomorduakan kualitas. Unsur-unsur sinematografis yang selama ini menjadi panduan menjadi kabur.
Iklimnya semakin runyam manakala campur tangan pemerintah, khususnya dalam hal regulasi dinilai lemah. Secara industri film tumbuh subur, tapi di sisi lain menimbulkan gab di kalangan komunitas.
Hal itu terungkap dalam diskusi di Lake Toba Film Festival (LTFF) 6.0 di Creativ Hub Samosir, Pantai Indah Situngkir, Desa Situngkir, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara (Sumut), Jumat malam (18/8/2023).
LTFF 6.0 sendiri berlangsung 18-20 Agustus 2023. Kegiatan ini diinisiasi Rumah Karya Indonesia (RKI) bersama komunitas film, Kemendikbud dan Disbudpar Samosir.
"Modal moral saja tidak cukup. Tapi bagaimana kita bersama-sama juga mengejar ekonomi. Karena faktanya film yang bagus pun kita garap, belum tentu masyarakat menerima. Sementara saat produksi, kita lebih sering swadaya dana, karena urusan moral. Padahal kenyataannya kita kalah sama frame pasar yang dibentuk kapital," kata salah seorang sineas Andi Hutagalung.
Andi yang belum lama ini menerima anugerah seni dari Pemko Medan, menyayangkan besarnya potensi yang dimiliki Sumut, tetapi justru digarap industri film dari luar Sumut. Hal itu dinilainya bukan karena ketidakmampuan sineas Sumut, namun karena keterbatasan yang ada, terutama dari segi dana.
Pengamat film dr Daniel Irawan mengatakan, film-film yang digarap sineas Sumut, terutama yang mengangkat tema lokalitas harusnya memiliki tempat tersendiri. Sayangnya masyarakat perfilman saat ini juga cenderung telah dibentuk para kapital.
"Maka, peluang untuk masuk dunia industri, film kita masih sulit, meski dalam festival-festival internasional, kita banyak yang menang," tandasnya.
Pegiat Komunitas Mata Guru di Samosir, Dian Manik menambahkan, pegiat film di Sumut perlu menguatkan jaringan dan kerja-kerja sinematografi yang profesional. Instrumen dalam dunia film harus ditata, sehingga komunitas tidak merasa sendiri dan masing-masing yang terlibat dalam sebuah produksi bekerja sesuai job desk.
"Saya lihat lingkarannya juga perlu diperkuat, sehingga terbangun satu sistem. Kemudian jaringan antar komunitas jangan sampai putus dan harus bekerjasama membangun itu," kata Dian.
Sebelumnya, Direktur LTFF 6.0 Angga Haganta mengatakan, kegiatan ini merupakan media silahturahmi bagi para insan perfilman sekaligus wadah untuk saling mengapresiasi karya masing-masing. Semangatnya memperkuat jaringan, secara khusus untuk menggali kekayaan lokal Sumut dalam bentuk media film
"Kami berterimakasih kepada Kemendikbud, Pemerintah Kabupaten Samosir dan masyarakat, khususnya yang ada di Pantai Indah Situngkir ini. Mudah-mudahan acara ini memberikan manfaat dan energi positif untuk memajukan dunia perfilman kita khususnya di Sumatera Utara," kata Angga.
Hari pertama LTFF 6.0 ditandai dengan pemutaran sejumlah film pendek dari berbagai genre. Antara lain film Penusur Sira (dokumenter ritus keselamatan masyarakat Dokan, Karo) Mejaguran, The Deadly Love. Tampak masyarakat setempat menikmati film yang ditayangkan, sebagian di antaranya masih berusia anak-anak.