Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ahli hukum pidana dari Universitas Katolik (Unika) Santo Thomas Medan, Dr Berlian Simarmata pada sidang lanjutan perkara permohonan praperadilan (prapid) atas nama Lindung Pitua Hasiholan Sihombing selaku Direktur PT Dinamala Mitra Lestari (DLM), memberi pendapat menohok ke jaksa penyidik pada Kejati Sumut (termohon).
Sebab kata ahli, di hadapan hakim tunggal Nurmiati dan tim kuasa hukum termohon, Tumpal Hasibuan dan Erik Sarumaha, bila tersangka tidak pernah menerima surat dari BPKP, kejaksaan maupun dari Dinas PUPR, maka secara pemahaman bahwa surat itu belum bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka.
"Kalau surat itu belum dijadikan sebagai salah satu alat bukti menetapkan seseorang jadi tersangka, berarti dia (ahli dari BPKP-red) diperiksa sebelum pemohon prapid ditetapkan sebagai tersangka. Kalau toh dipaksakan digunakan sebagai dasar menetapkan seseorang sebagai tersangka, menurut saya itu tidak ada lagi logikanya dan itu tidak sah," tegas Berlian Simarmata dalam sidang prapid perkara itu di Ruang Cakra 3 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (20/9/2023) petang.
Diketahui, Lindung Pitua Hasiholan Sihombing ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2023, sementara pada Agustus 2023 penyidik baru meminta keterangan ahli kalau ia telah merugikan keuangan negara senilai Rp466.437.818 terkait pekerjaan Jalan Silangit-Muara, Kabupaten Tapanuli Utara (Taput).
Menurut ahli, yang berhak menyatakan atau mendeclare kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016. Institusi lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat dan seterusnya, boleh melakukan penghitungan tapi tidak berhak mendeclare kerugian keuangan negara.
Sementara diketahui pemohon selaku rekanan telah mempertanggungjawabkan pekerjaan, sudah diserahterimakan pekerjaan hingga termasuk pemeliharaan pekerjaan pada 5 tahun, sehingga saksi ahli menilai pekerjaan proyek dasar hukumnya adalah hukum keperdataan karena adanya perjanjian para pihak.
"Sebelum seseorang dijadikan tersangka harus ada perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dimaksud juga harus dilihat apakah administrasi, perdata atau ranah pidana. Bila misalnya pekerjaan telah berjalan, maka itu ranah hukum administrasi," jelasnya.
Masih kata saksi ahli lagi, kalau misalnya ditemukan perbuatan melawan hukum ada kerugian keuangan negara, maka harus diselesaikan dulu berdasarkan undang undang yang menjadi dasar hukumnya, yakni Undang Undang Konstruksi Jalan, oleh karenanya diselesaikan dulu permasalahan administrasinya.
"Artinya, antara pemberi pekerjaan dengan penerima pekerjaan. Antara Pejabat Pembuat Komitmen dan kontraktor (pemohon prapid) Kalau terjadi misalnya kerugian keuangan negara atau kelebihan pembayaran uang negara maka harus diberi waktu kepada kontraktor untuk menyelesaikan kelebihan bayar itu. Penerapan hukum pidana merupakan upaya terakhir," tegasnya.
Sementara, usai persidangan, kuasa hukum pemohon Prapid, Kamaruddin Simanjuntak didampingi Poltak Silitonga mengatakan, kliennya dinilai telah dikriminalisasi.
"Bila memang ada kekurangan dalam pengerjaan proyek Jalan Silangit-Muara, ada waktu selama 60 hari diberikan kepada rekanan untuk menyelesaikan kewajibannya. Namun hal itu tidak diberikan kepada klien kami. Itu namanya kriminalisasi atau pesanan dalam tanda kutip," tegas Kamaruddin.
Poltak Silitonga menambahkan, klien mereka sejatinya taat hukum. Ketika disebutkan ada kerugian keuangan negara, bahkan klien mereka menanyakan penyidik (termohon prapid).
"Mana suratnya? Di mana kerugiannya? Biar Saya bayar. Kalau cuma ngomong-ngomong doang disuruh bayar kan kurang tepat. Jangan-jangan nanti jadi suap," pungkas Poltak.