Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Fatwa salam lintas agama yang ditetapkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia menuai komentar dari sejumlah pihak. Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Arif Fahrudin menjelaskan soal proporsionalitas toleransi di balik fatwa salam lintas agama tersebut.
"Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan atau sinkretisme atau talfiq al-adyan, sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," kata Arif seperti dikutip dari situs MUI, Minggu (2/6/2024).
Arif merupakan anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII. Dia memberikan penjelasan bahwa keputusan dalam fatwa salam lintas agama juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.
Dia mencontohkan, jika dalam suatu wilayah di mana populasi umat Islam tidak dominan sehingga secara budaya mereka tidak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan, adanya kekhawatiran umat Islam dinilai tidak proaktif memperkuat kerukunan antar umat beragama. Dengan begitu, ujar dia, umat Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar'i atau udzur syar'i untuk tidak menghindari tradisi toleransi tersebut selama tidak diniatkan sebagai bentuk amaliah ibadah dan akidah.
Demikian halnya, lanjut Arif, dengan muslim yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat publik saat menyampaikan sambutannya di acara pemerintahan. Fatwa Ijtima Ulama MUI menganjurkan agar pejabat seyogyanya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.
"Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i atau udzur syar'i dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, " ujarnya.
Secara praktik kebudayaan, menurut Arif, masyarakat Indonesia terutama umat Islam sudah menjalankan dengan sangat baik praktik beragama tanpa terjebak pada sinkretisme beragama. Menurut dia, bukti bahwa antarumat beragama saling memaklumi, saling menyadari, dan saling mendukung mana wilayah akidah dan muamalah sosial.
"Sesungguhnya yang disampaikan dari forum ini adalah pentingnya menjaga moderasi beragama dengan memposisikan toleransi antar umat beragama dalam proporsinya yaitu saling menghormati, saling menghargai, dan saling memperkuat kerukunan tanpa terjebak ke dalam praktik ekstremisme yang sempit dan toleransi yang melewati batas akidah dan syariah," pungkasnya.
Pernyataan PBNU
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan pihaknya belum pernah melakukan kajian mendalam terkait fatwa salam lintas agama. PBNU juga tidak memberikan mandat kepada siapa pun untuk menyampaikan pandangan soal salam lintas agama.
"PBNU belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan NU mengenai salam lintas agama," ujar Katib 'Aam PBNU KH Akhmad Said Asrori dalam keterangan, dikutip Antara, Minggu (2/6).
"PBNU tidak menugaskan dan memberikan mandat kepada siapa pun untuk berbicara atau menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama," tuturnya.
Dia mengatakan pembahasan atau kajian mengenai salam lintas agama selain dari hasil Ijtima Ulama, juga pernah dilaksanakan Pengurus Wilayah NU (PWNU) Provinsi Jawa Timur. Kajian tersebut dilakukan melalui forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada tahun 2019.
Pada saat itu, kesimpulan Bahtsul Masail PWNU yakni pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat 'Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh' atau diikuti ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan seterusnya.
"Namun, dalam kondisi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," ucap Akhmad.
Hasil Ijtima Ulama
Sebelumnya, hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII tentang hukum salam lintas agama itu disampaikan dalam keterangan tertulis dari Ketua SC yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh. Ijtima Ulama menyatakan pengucapan salam lintas agama bukan toleransi yang dibenarkan.
"Penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan," demikian salah satu poin keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia seperti diterima, Kamis (30/5).
Dalam hasil ijtima ulama tersebut, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah. Karena itu, pengucapan salam harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
"Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram," demikian poin lanjutan panduan yang dikeluarkan ijtima ulama. dtc